Selasa, 21 Desember 2010

Ladang Mimpi

Warna kuning bersemburat di langit tanda senja telah tiba. Kudengar lonceng-lonceng surga berdentingan menggema telingaku, kakiku rasa lembab karena rumput yang basah oleh hujan. Ladang ini terasa lenggang, namun indah. Rasanya aku seperti melayang di atas kapas-kapas putih yang lembut, tubuhku juga terasa begitu ringan seperti daun yang melayang-layang terhempas angin.

Itu dia bukan? Yang sedang duduk termenung di bawah pohon yang dirimbuni daun-daun hijau segar. Aku berjalan dengan tubuh yang serasa melayang menghampirinya yang sedang menatap langit jingga. Matahari sedang bersiap untuk membenamkan dirinya di balik gulungan awan dan menyisakan kegelapan di atas sana. Itu dia, yang selalu menceritakan mimpi dan dunia khayalnya kepadaku setiap sore.

“Duduklah di sampingku..” katanya padaku.

Aku menurut, dan duduk di sampingnya. Dia terus menatap langit, tanpa sedikitpun menoleh ke arahku. Ladang ini terlalu sepi tidak seperti biasanya, aku sering melihat rusa-rusa bertanduk yang meminum air dari luapan sungai di seberang sana, juga tikus-tikus yang heboh menyambut malam. Aku tidak mendengar riuh suasana ladang sore ini.

“Bolehkah aku tinggal di sini hingga aku mati?” tanyaku kepadanya. Bukankah tempat indah ini adalah miliknya? Bukankah dia yang merawat binatang dan seisinya setiap pagi? Lihatlah pondokan di ujung sana, pondokan yang terlihat rapuh dengan atap jerami itu penuh kehangatan bukan? Kehangatan yang di simpannya setiap malam melalui lilin-lilin yang meleleh memberikan cahaya redup.

Tawanya tergelak. Kudengar tawa itu begitu renyah, namun matanya sendu. Sendu seperti malam yang haru. “Ini hanya mimpimu nona.” Aku mengernyitkan kening. Bingung. “Lihatlah matahari yang hendak terbenam. Itu palsu. Kau ingat rusa-rusa yang kemarin? Itu juga palsu. Pondokan di ujung sana akan menghilang, jika kau mau meniupnya sekali. Seperti aku yang akan menghilang jika senja ini usai.”

“Tempat ini indah, benarkah ini hanyalah mimpi?”

“Pernahkah kau melihat tempat seindah ini, sebelumnya?”

Aku menggeleng.

“Karena tidak ada keindahan yang sebenarnya di dunia nyata. Setiap keindahan hidupmu selalu menuntut konsekuensi.”

Aku menyukai tempat ini, seperti aku menyukai orang yang duduk di sampingku. “Tapi, bolehkah aku datang ke sini setiap senja? Hanya saat kau ada di sini?”

“Tentu saja, tidak ada yang melarang. Tapi suatu saat, mungkin aku akan hilang.”

“Mengapa?”

“Bukankah semua orang ingin aku menghilang? Dari dunia nyata bahkan dari mimpimu?”

“Tapi aku tidak. Hidup saja di dunia mimpiku, jika tidak di dunia nyata.”

Dia menyeringai. Wajahnya semakin muram, aku mencoba mendekat, namun matahari semakin tenggelam. Sebentar lagi aku akan tersadar dan meninggalkan ladang ini. Juga dia. Sekali lagi dia menatap wajahku, kulihat matanya yang hitam memantulkan siluet wajahku, lalu tangannya melambai dan meninggalkanku menjauh. Kini tampilan itu seperti layar yang di tarik dan di tarik menjauh dari pandanganku.

OooooooO

Well well, meskipun ini rada ga jelas dan ga penting, gapapa sih, gua Cuma pengen menuangkan kembali puisi yang di bacakan oleh mantan gebetan gue *kedip mata*, meskipun ga mirip-mirip amat, secara dengerinnya setengah sadar, dan agak ga sesuai yang di harapkan, gua sekalian mau minta komentar dia kok. Ihihihi

Mantan gebetan, tunjukan bakatmu! Loh salah *jayus* ayo berikan pendapatmu.


2 komentar:

Mantan Gebetan mengatakan...

Wah.. jadi malu nih.. paraphrasingnya bagus bangettttt.. TTTTT.TTTTT oooooo meleleh hati ini...
I Love it! *gaya rianti*
wawawawawawawwawawawawwaa... ga nyangka anda bisa merangkai kata sampe segini indah.. *terharu* :')

Rika P. mengatakan...

keren loh marisaaaaa ^o^
merinding yooow.