Sabtu, 18 Juni 2011

Bangsal Tua


Aku mengingat pohon ini. Aku mengingat bangku taman ini. Aku hanya lupa kenangan apa yang kupunya dengan dua benda ini. Aroma jeruk dan mint yang berbaur, mengingatkanku pada aroma seseorang. Ah entahlah.. aku merasa mulai gila akhir-akhir ini. bangsal putih yang serupa penjara itu rasa-rasanya telah membuatku kehilangan diriku sendiri. Aku segan berbicara dengan orang lain, seperti hal yang sangat buruk telah terjadi padaku, menimbulkan trauma dan halusinasi yang mendadak muncul. Kadang aku merasa bahagia, dan kadang aku merasa sedih. Ya, seperti orang gila. tapi aku tidak gila.



OoooooO

“Danang, gimana rencana kita? Jadi kan, kita membagi-bagikan makanan ke bangsal yang baru dibangun?”

Serius. Kadang aku sangat membenci hidupku yang bekerja di sebuah lembaga sosial, teman-temanku selalu berasa sok pahlawan dengan mengadakan kegiatan untuk menopang kelangsungan panti-panti sosial yang membosankan dan errr, agak mengerikan buatku. Hanya tuntutan moral pekerjaan yang membuatku masih bertahan bergaul dengan mereka, dan dengan terpaksa mengikuti kegiatan sosial yang mereka adakan.

“Yeah..”

“Tidak begitu menghayati pekerjaanmu, ya?”

“Andaikan aku punya pilihan, aku akan segera meninggalkan semua omong kosong ini!”

Beno nyengir mendengar pernyataanku, dari seluruh orang-orang membosankan yang terjebak di tempatku bekerja ini, buatku Beno yang terbaik. Dia asik di ajak hang out dan have fun. Beno memang penakluk wanita, dengan latar belakang keluarga konglomerat, sampai hari ini aku belum mendapat jawaban jelas. Mengapa? Mengapa pekerjaan ini?

“Ayolah kita berangkat saja. Danang, Danang. Seharusnya kau tahu mengapa papamu menahan harta warisannya sebelum kau menunjukan jam terbangmu sebagai pelayan sosial selama lima tahun ini.”

Aku menimpuk Beno dengan kotak biskuit yang ada di dekatku, ya benar. Ayahku, seperti kebanyakan pengusaha lainnya sangat nyentrik. Dia juga sangat perduli dengan kegiatan-kegiatan sosial yang kerap kali di adakan oleh rekan-rekan bisnisnya. Ah orang-orang sok pahlawan akut! Lihat saja tingkahnya, alih-alih memberikan jabatan manajer buatku, dia malah memaksaku bekerja di tempat aneh ini.
OoooooO

Bangsal putih ini terlihat begitu angker, temboknya sudah terdapat retakan di sana-sini menyerupai urat nadi yang mengalirkan darah membuat orang-orang di dalamnya tetap hidup. Orang-orang gila itu terkurung di dalam sel-sel yang telah di siapkan, takut membahayakan para pengunjung. Dengan jijik aku membagikan kotak-kotak makanan satu-persatu untuk mereka. penampilan mereka tidak begitu baik dan sopan untuk menyambut kami. Benar-benar terlihat.. uhh.. gila.

Seorang wanita dengan rambut yang acak-acakan, dan seragam yang sudah compang camping, mendobrak sel itu dan hendak menyerangku. Sialan, aku sudah bilang, orang gila ini mengerikan! Aku ngibrit setelah melemparkan kotak makanan itu ke dalam selnya,

“Brengsek! Laki-laki brengsek!”

 “Dasar orang gila.”

“Dia mantan sekertaris seorang pemilik perusahaan swasta yang besar, dan diperkosa habis-habisan oleh rekan-rekan bisnisnya. Uang mereka berhasil membungkam raungan keluarganya yang histeris, dan menjebloskan gadis itu ke tempat ini.”
OoooooO

Angin fajar berhembus membuatku sedikit menggigil karena cuaca akhir-akhir ini memang sedang dingin-dinginnya. Aku suka pagi hari, aroma embun yang menguar, burung-burung yang sudah siap menjalankan aktifitas, bahkan pohon-pohon yang berderak-derak kesana kemari tertiup angin. Hatiku serasa ringan setiap kali berdiri di atas rumput yang lembut dan menikmati dalam-dalam nuansa pagi.

Aku tidak tahu mengapa melakukan ini, tapi gadis yang kukenal bernama Rani sedang duduk di atas kursi rodanya menemaniku menikmati pagi hari. Dia tidak cukup gila untuk menyerangku lagi. dia duduk tenang dan bungkam, tidak mengucap sepatah katapun.

Kupetik setangkai bunga liar berwarna ungu, yang sering tumbuh di pinggiran jalan, lalu kuberikan bunga itu untuknya. Dia menatapku dingin, lalu mengambil bunga yang kuberikan dan menaruh benda itu di pangkuannya.  Hanya setengah jam yang kupunya untuk bisa menemaninya jalan pagi, itupun setelah aku memohon-mohon dengan susah payah kepada si dokter.

“Aku suka tinggal di sini.” Katanya dengan suara yang lembut. “Aku bukan orang gila.”

“Ya, aku tahu kau tidak gila.” tentu saja, kau tidak merasa gila jika tinggal bersama orang gila!

“Aku tahu gila itu apa..” lalu dia menghela nafas “…Gila itu adalah sebelum aku berada di sini.”

Kutaksir umurnya berkisar dua puluh hingga dua puluh lima tahun. Rambutnya ikal alami, dan berwarna hitam pekat. Matanya begitu jernih, dan selalu terlihat berair, mengingatkanku pada mata ibuku yang sering menangis. Hidungnya bangir, dan bibirnya tipis setiap kali mengulas senyum. Sayangnya, dia jarang tersenyum. Ehm.. padaku. Kadang kala, saat mengamatinya dengan teman-teman sebangsal, dia sering tersenyum dan tertawa terbahak-bahak.

Kuraih tangannya dan kuajak dia duduk bersamaku di bawah pohon angsana yang terlihat tua dan lebat. Rasanya begitu teduh dan menenangkan. Tangan Rani dingin dan pucat, jari-jarinya begitu kurus juga rapuh, membuatku merasa canggung saat menggenggam tangannya, takut tangan itu hancur remuk dalam genggamanku.

Intensitas pertemuanku dengan Rani semakin sering, bangsal itu sudah seperti rumah kedua bagiku. Beno bahkan sempat membuat lelucon bahwa aku berpacaran dengan gadis gila. Aku tidak mengenal Rani sebagai seorang gadis gila. Aku mengenal Rani sebagai gadis dingin yang tidak suka bicara. Dia… seperti langit malam yang pekat buatku. Langit malam yang menyembunyikan pagi dan matahari.

Hingga suatu sore, dia histeris dan meracau tak karuan. Aku hanya menangkap sebaris kalimat ini.. “Mereka akan membunuhku!! Mereka semua akan membunuhku!!” Suster-suster di dalam bangsal menjadi heboh menyiapkan suntikan bius agar Rani menjadi tenang, dan tertidur. Hingga aku meninggalkan sosok pucatnya yang terbaring kaku di atas ranjang. Kata-katanya membuat ngeri. Mereka menganggap itu hanya halusinasi orang gila semata. Tidak, aku tidak merasa begitu.
OooooO

Suatu malam kami duduk berdua di bawah pohon angsana tempat favoritku. Dokter sempat melarangku bertemu Rani dengan alasan, dia masih terlihat labil setelah insiden waktu itu. bagaimanapun, aku selalu berhasil membujuknya, kan? Rani hanya membungkam seperti biasa. Aku merasakan ketenangan yang lain malam ini. ketenangan yang tidak seperti biasanya terjadi di antara kami.

Tangannya meraih tanganku, dan hari ini dia yang menggenggam tanganku. Kucoba memeluk tubuhnya yang semakin ringkih. Harumnya seperti buah-buahan dan gula yang manis. Kadang kala, dia beraroma seperti jeruk dan mint. Dia memiliki berbagai aroma yang menyenangkan buatku.

Sudah dua bulan aku rutin menjenguknya di dalam bangsal ini, hingga rasa-rasanya aku sudah lupa dengan kehidupanku yang biasanya. Rani membuatku tergila-gila. membiusku dengan keheningan yang akhir-akhir ini menjadi nuansa kesenanganku, menyihirku dengan aroma malam yang kadang menenangkan seperti embun pagi. Aku merasa berada di dekat matahari saat kedinginan setiap bersamanya. Wajah yang pucat dan tirus kini menjadi hal pertama yang kuingat setiap pagi.

“Aku akan jadi gila jika kau benar dibunuh..” ucapku pelan, hingga hanya menyerupai bisikan.

Rani menggeleng, “Kau bukan orang gila. Kita bukan orang gila..”

“Sudah larut, pasti si kumis itu sibuk mencarimu. Ayo kembali..”

OooooO
Bangsal terlihat begitu ramai siang ini, tidak seperti biasanya. Entah bagaimana, aku mendapat firasat yang tidak enak. Kakiku berderap masuk menelusuri keramik putih yang sudah menjadi cirri khas tempat yang buatku angker ini. Suster dan Dokter berlalu lalang ke sana-kemari. Kulihat pria-pria berseragam polis berdiri sambil meminta keterangan beberapa suster. Perasaanku semakin gundah. Derap kakiku makin cepat hingga aku setengah berlari, dan aku tahu tempat apa yang kutuju.

Seorang polisI berseragam berdiri di dalam sel Rani yang kini kosong. Tidak, tidak kosong. Sel yang putih itu di nodai oleh darah yang mengering. Baunya anyir dan busuk, menyengatku hingga aku mengernyit jijik. Kenapa? apakah ada yang bunuh diri di dalam sel Rani? Apa Rani di deportasi ke bangsal lain? Iya, pasti Rani di deportasi ke bangsal lain.

Ranjang yang kutahu dipakainya tidur setiap malam kini menyerupai gumpalan kain kecoklatan yang busuk. Begitu menjijikan.


“Rani…” aku berkata lirih. Aku ingin mencari Rani ada di mana. kakiku berbalik dan hendak berlari mencarinya, sebelum seorang suster yang sudah kukenal menghentikan langkahku.

“Rani di mutilasi kemarin malam. Aku hanya melihat…”

Tubuhku mendadak dingin dan kaku. suara suster itu kini hanya berupa dengungan di telingaku, lututku lemas, dan aku terjatuh di atas lantai. Kepalaku kini berputar-putar melihat orang-orang berwajah aneh mengelilingiku dengan pandangan yang ganjil.

OoooO

Sore yang jingga, matahari hendak beristirahat dan menyempil di antara langit yang menguning. Aku terduduk di bangku taman yang rapuh termakan rayap. Hanya tersisa beberapa bongkah kayu agar menopangnya tetap berdiri. Rumput yang basah terselip di antara sandalku, jari-jariku tertusuk oleh ujung-ujungnya yang tajam.

Aku mengingat pohon ini. Aku mengingat bangku taman ini. Aku hanya lupa kenangan apa yang kupunya dengan dua benda ini. Aroma jeruk dan mint yang berbaur, mengingatkanku pada aroma seseorang. Ah entahlah.. aku merasa mulai gila akhir-akhir ini. bangsal putih yang serupa penjara itu rasa-rasanya telah membuatku kehilangan diriku sendiri. Aku segan berbicara dengan orang lain, seperti hal yang sangat buruk telah terjadi padaku, menimbulkan trauma dan halusinasi yang mendadak muncul. Kadang aku merasa bahagia, dan kadang aku merasa sedih. Ya, seperti orang gila. tapi aku tidak gila.

“Danang, sudah cukup waktu jalan-jalanmu, ayo kita kembali.”

Suster cantik ini bernama Mischa, dia selalu hadir dengan seragam yang sama setiap harinya, pakaian kebangsaan para suster yang berwarna putih, dengan suntik bius yang kutahu di sembunyikan di balik kantungnya. Dia selalu perhatian padaku, dia yang selalu mendengarkan ceritaku. Aku tidak segan berbicara dengannya, rasanya setiap bersama dia nyaman seperti  bergelung di dalam pelukan Ibuku. Wanita yang baik.

“Sus, kenapa aku harus selalu kembali ke kamar itu?”

Mischa terdiam.

“Aku tidak gila kan? Aku tidak gila.”

“Kau tahu gila itu apa? Orang-orang di bangsal inilah orang-orang terwaras. Kau pasti bisa mengingat betapa gilanya orang di luaran sana. Membunuh, mencaci, menusuk, menginjak kepala satu sama lainnya.”

“Tapi mereka tidak harus merasakan sakitnya suntikan Si Kumis itu setiap hari.” Kataku, tidak mencoba menyebutkan nama Dokter Rangga yang berkumis tebal. Aku lebih suka memanggilnya si kumis.

“Ya, mereka merasakannya. Bagi kita di sini, itu vitamin. Agar kalian tetap waras…” aku menoleh kebelakang menatap wajah Mischa yang tersenyum, sembari mendorong kursi rodaku. Kami semakin mendekati bangunan itu, bangunan putih yang kupikir di bangun dengan konsep klasik. Atau bangunan ini memang peninggalan Belanda beratus-ratus tahun yang lalu? Tak mengherankan atapnya bocor setiap kali hujan, dan kadang kala keran airnya tidak berfungsi.

Kehangatan teman-teman dari dalam bangsal inilah yang membuatku selalu merasa nyaman. Tawa mereka yang tak beraturan, kediaman yang suka terjadi tiba-tiba, Roni yang sering berkelahi dengan Bejo. Ah mereka seperti anak kecil! Selalu memperebutkan barang apapun yang ada disini. Sambutan tawa mereka yang membahana memenuhi bangsal mengerikan ini yang membuatku merasa di rumah. Ya, aku tidak gila. Aku berada di rumah.

END
aih, ternyata membuat cerpen dibatasi dengan hanya 1500 kata lebih susah daripada gue kudu bikin 6000 kata. betewe, sebetulnya ini hasil kolaborasi gue yang SEHARUSNYA gue publish di kompasiana, dengan Citra Rizcha Maya *serius, lo harus membaca karya diaaa!! klik aja di situ* karena gue ketiduran sampe pagi. DAN kompasiana itu lemod banget waktu gue pengen publish jem 8 malem, jadinya ketelatan gara-gara gue ketiduran nunggu loading. aihssss... gapapa, karena karya ini lumayan aja buat gue, toh masih bisa gue publish di sini..

Jumat, 17 Juni 2011

Kurus? Siapa Takoeeett?!


“Mar badan lo gede ya??”

Kata si Lukas sewaktu di bus, pake noel noel lengan gue yang gedenya seadujubile. Sumpah ya nih orang gak tau sopan santun apa?

Gue sih gak terlalu terganggu dengan ledekan temen-temen mengenai badan gue yang gede. Secara gue pikir ini bisa jadi harga jual dan imej gue yang lucu menggemaskan *najes*. Permasalahannya gue belom cukup pede dengan badan gede, gue masih mengimpi-impikan tubuh sekurus metty yang waktu pake gaun itu seksi banget, ataupun si cungkring jeslyn yang cakep, bahkan lebih baik gue kontet mungil kayak si cete daripada tinggi tapi gede begini.



Kesel punya kesel, ternyata si Lukas nyindir gue di bus kayak begitu dia punya tujuan. Dan ternyata dia punya masalah yang sama dengan gue. PENGEN NGURUSIN BADAN! Perawakan si Lukas emang o mom banget, badan gede, muka tua, perut buncit, dan kulitnya lembek. Dia bilang, dia pengen si keren Mario Lawalata, untuk itulah, dia bertekat ngurusin badan dan menerapkan diet sehat.

Jadi dia sudah membeli peralatan perang yaitu buku, perlengkapan, dan motivasi. Dia membeli buku diet, dan perlengkapan diet yang lebih berupa bahan konsumsi, lalu motivasi si Mario lawalata itu.

“Penampilan memang orang lain yang liat, dan nilai. Makanya itu tugas kita buat ngejaga bentuk tubuh kita..”

Begitu kata dia. Ah gue memang seorang looser yang begitu mudah terpikat makanan enak. Gimana gue bisa fight di dunia luar, sedangkan gue ga bisa menahan diri gue sendiri, dan memerangi hawa nafsu daging sendiri? Gue sudah kalah dari dalam sewaktu bilang “Ah ini memang genetis, gak ada yang bisa diubah. Mau diet apa? Toh akhirnya gendut gendut juga.”

Gue sudah ribuan kali mencoba diet, tapi akhirnya kalah juga dengan nafsu daging, dan untuk kesekian kalinya diet itu batal. Dan dulu paradigma gue tentang teori “Libur diet tiap sabtu minggu.” Itu di bantah habis-habisan oleh Lukas.

“Diet itu kayak nabung. Lo perhatiin orang yang jalan-jalan di mall, shopping, mereka orang kaya. Orang kaya identik dengan nabung. Lo menderita awalnya, dan akan nikmatin hasilnya nanti. Apa jadinya kalo tiap satu minggu lo nabung, lalu diakhir minggu lo habisin semua tabungan lo? Gak berasa nikmatnya kan?”

Sebetulnya sih libur sabtu minggu itu untuk melepaskan hasrat liar gue menyantap berbagai macam makanan di rumah nyokap gue. Rumah nyokap gue itu seperti gudangnya makanan, dan gue selalu gak tahan untuk gak ngunyah setiap di sana. Bener juga ya? Apa gunanya gue capek-capek seminggu menahan diri dan gue habiskan semua dalam sehari?

“Menderita donk gue??”

“Itu salah lagi. Diet itu gak berarti lo menderita, nahan makan segala macem. Lo harus mikir kalo itu kayak nabung. Lo menjaga kesehatan. Apalagi kalo diimbangi dengan olahraga. Waktu tua nanti pun, lo akan tetap sehat dibanding yang lainnya dengan menjaga pola makan.”

Oh ya, satu lagi paradigma orang Indonesia

DIET= ENGGAK MAKAN padahal diet itu kan di adopsi dari bahasa inggris yang berarti POLA MAKAN. Berarti kalo ada orang bule ngomong I’M ON DIET, gak berarti mereka lagi ngurusin badan juga kayak gue. Tapi lebih ke, mereka sedang menjaga POLA MAKAN. Begetoo…. Diet itu ditentukan sesuai kebutuhan. Semua orang butuh diet dan menjaga  kesehatan tubuh serta pola makan mereka.

Nah berhubungan gue bermasalah dengan berat badan dan ketakutan akan obesitas, maka diet yang gue butuhkan adalah diet pembentukan tubuh plus pengurangan lemak!

Sekedar informasi, kenapa gue percaya omongan si Lukas? Karena dia telah membuktikan apa yang dia omongin selama sebulan ini. Dia udah berhasil menurunkan sepuluh kilo berat badannya dan udah lamaaa sekali gak nyentuh nasi. Memang terlihat sih body dia kurusan.

Jadi pointnya gue akan serius kali ini. Moto: penampilan dari kita, oleh kita, untuk kita, dan diliat mereka.

Tina toon! Gue bakal nyusul kurusnya elo!!

Senin, 13 Juni 2011

Merepotkan Mak Comblang, Lo..


Menyandang predikat mak comblang itu terlihat menyenangkan. Dulu sih, gue memang menikmati pekerjaan ini. Menolong teman yang bermasalah dengan pasangan *entah selesai atau bertambah buruk* intinya sih gue suka menolong. Cowok ataupun cewek. Karena buat mengisi waktu luang sekaligus juga nambah teori hubungan percintaan. Ya ga ada salahnya.



Tapi baru-baru ini gue lagi greget abis sama seorang cowok yang lagi ngedeketin si fan-fan temen mungil gue, oh sedikit masukan, ternyata dimana-mana cowok tertarik ya sama cewek-cewek jutek cuek dan misterius macam teman gue ini. Buat gue sih dia jutek dan cuek, tapi gak misterius lagi deh kayaknya.

Balik ke cerita, ya iya gimana gue ga greget, alih-alih tuh cowok mendekati teman gue dengan gentle dan membuat gue bangga lantas senang dia mendapat cowok yang gentle *walaupun JUNIOR* dia malah nanya ke gue. Ibaratnya, kalo gue mau ladenin, jangan-jangan si orang itu bakal nanya panjang rambut si fan-fan berapa centi lagi.

“Lo kenapa gak nanya sendiri aja sih?”

“Enggak lah, ga enak gue. Eh dia liburan ke pulau apa sih?”

“Tanya sendiri lah.”

“Gue Cuma nanya kali, ga usah nyolot gitu..”

Sepertinya gue memang selalu bertanya-tanya. KAPAN gue bertemu cowok yang cukup gentle sama cewek taksirannya alih-alih bertindak idiot dan kayak orang ga ada otak begitu *no offense ya* tapi emang bener-bener bikin gregetan dan merepotkan. Serius, padahal dua hari yang lalu, gue berkomitmen gak mau jelek-jelekin orang lagi di blog. Tapi ya mo gimana lagi? Gue kan ga suka ngegosip. Mau ngegosip sama siapa? Ya sama blog doank.

Tadinya gue pikir kesungguhan cowok ini patut diacungi jempol. Tapi lama-kelamaan jadi menyebalkan dan mengganggu waktu gue. Kayak dia gak bisa sms aja ke orangnya sendiri. Dia juga gak berani setiap kali gue suruh dia ngajak si fan-fan jalan berdua. Cukup maklum sih, mengingat betapa JUTEKnya si Fan fan di sms. Bahahaha poor you boy..

Tentu aja cowok harus bisa menaklukan tantangan apapun menurut gue, termasuk cewek begini. Bukannya lebih seru? Dan gue rasa cara pedekate lewat sms sama seperti menunggu hujan duit kertas cepecengan di depan rumah gue. Gak gentle lo bro!!

Harapan terakhir gue adalah, semoga cowok itu dianugrahi keberanian untuk jadi cowok yang lebih baik lah ya minimal. Euwww…

Rabu, 01 Juni 2011

Kenapa Sweet Seventeen?


Gue rasa pertanyaan klise seputar gaya hidup anak remaja tentang perayaan sweet seventeen mereka, seperti “Kenpa sih 17 itu istimewa?”

“Kan Cuma sekali..”

“Emang lo umur 8 taon dua kali? Sembilan taon dua kali? Lah semua juga Cuma sekali.. kapan matinya kalo yang laen lebih dari sekali?”

“Tapi kan 17 itu tandanya udah dapet ktp.. udah dewasa..”

Oh yeah, apapun pertanyaan freak semacam itu. di tingkat kayak gini, tentu aja temen-temen gue yang udah menginjak tahun ke 17 kehidupan mereka, ada yang merayakan gede-gedean di hotel berbintang, nyewa satu lounge yang asik buat clubbing, no alcohol, dj yang maenin music-musik dugem, lalu MC yang berasa gokil, ngomong tereak-tereak biar seru, dan ngerjain temen lain, udah biasa sekali jadinya buat gue. Melihat pemandangan cewek-cewek yang berusaha tampil dengan dress cantik mereka, *yang seksi maupun enggak* dan cowok-cowok yang jadiin kesempatan ini sebagai ajang cuci mata dan pamer cool nya mereka dengan sesetel jas udah lumrah sekali.



Yang jelas ini merepotkan gue. Emang asik sih ikut acara seperti itu. tapi artinya apa? Artinya gue yang sama sekali *tadinya* gak perduli soal fashion mendadak gedebak gedebuk nyari mini dress cantik, catokan buat ngeriting rambut, dan berbagai alat make up. Hanya beberapa alasan yang masih memotivasi gue untuk hadir ke acara semacam itu.
satu, yang ngundang bekas temen baek gue. Setelah undangan temen segeng eksklusif gue dulu banyak yang ditolak, masa iya yang ini gue gak dateng juga? Bisa-bisa gak punya temen gue. Dua, hotelnya berbintang, man.. kapan lagi gue menginjakan kaki di hotel bintang lima yang denger-denger mewah ajeeeebbb. Emang bener mewah, lah wonk di wc kok pake ada sofa sama meja??? Kurang mewah apa coba.

Berhubung dulu gue yang super pede ini sering minder karena masalah penampilan, akhirnya kali ini gue meyakinkan diri sendiri, gue kudu pede! Kenapa gue minder? Justru karena penampilan gue parraahh! Dari acara ini, akhirnya gue *terpaksa* belajar pake foundation, maskara, eye liner, dan segala warna eye shadow yang cocok sama mata sipit gue. Dan ternyata! Memakai make up *yang artinya lo menutupi hampir setengah wajah asli lo, apalagi kalo tebel*, dress berenda, gelang blink blink, dan high heels bisa menambah ke-pedean gue hampir 50 persen.


Kembali pada acara sweet seventeen itu, alur acaranya pun sudah ketebak banget. cowok-cowok begajulan yang di anggap lucu dan gokil bakal di panggil sama MC buat di pelonco dengan game-game aneh. Setelah itu pasti bakal ada acara makanan khas kawinan, plus acara-acara pengocok emosi dan si princess yang ultah kudu nangis, bla  bla  bla, hiingga sampailah ke acara penutupan yang akan menguras keringat. Tapi sebagian remaja malah paling suka penutupan ini..

Speaker bakal menghentakan lagu-lagu dugem yang lagi in jaman sekarang macam on the floor, like a g6, atau bahkan lagu Britney yang baru. Ah apapun itu.. lalu teman-teman gue akan dengan serunya ngedance-ngedance gak jelas di lantai dansa. Padahal gue tau bener, ini temen-temen gue gak ada yagn bisa ngedance. Tapi gapapa, sekedar penggembira suasana. Dan gue sendiri juga cukup suka acara penutupan ini. Hell, kapan lagi lo bisa dansa gila-gilaan ala diskotik? Secara ya, kata mama diskotik itu haram hukumnya, ya setidaknya acara ini bisa menyalurkan hasrat liar lo yang terpendam.

Sebetulnya gue rasa memang ga ada masalah dengan acara ini, selain gue sendiri juga gak kepikiran buat ngadain acara beginian, ya gak ada salahnya sih sering-sering dateng, selain nambah temen, juga bisa mempererat hubungan antar manusia, dan seperti yang gue bilang tadi. Dugemnya ajib bok..