Minggu, 07 Juni 2015

Suicide

Everyone have their own reason to commit a suicide. Rasa-rasanya gue bisa relate. Waktu jaman gue SMA dulu, jaman gue gencar banget nyusun visi dan impian gue, lalu kemudian nyari cara gimana meraih semuanya. Gue sering banget kedapetan sms dari beberapa temen yang isinya kurang lebih sama. They’re feeling empty. Pada saat itu gue nggak ngerti kenapa hal semacam itu bisa muncul. Terlebih lagi kalo sms itu dateng dari orang yang menurut gue cukup segala-galanya. Cantik iya, pintar iya, sekolah di sekolah swasta yang lumayan ternama di Jakarta, belum lagi orang tua yang kaya dan sebagainya. I don’t understand how does it feel to walk in their shoes.


Jadi gue bakal ngasih saran seenaknya dimana sebetulnya gue nggak benar-benar mengerti apa yang mereka rasain. Orang-orang religius yang baca blog ini mau apa? Komentar, “mungkin karena dia ga punya Tuhan kali?” aduh plis deh, temen gue rata-rata rajin ke gereja. Kalo itu nggak ngejamin, lo mau apa lagi yang ngejamin? Rajin doa? Iya rajin doa juga. Anyway, gue masih berpikir tuhan itu semacam kreasi manusia supaya kalo lagi jatuh ya ga jatuh-jatuh banget. Nggak ngerasa sendirian karena lo punya temen imajinasi universal yang diakui (karena umum dan universalnya itu). Jadi lo anggap dia bener-bener ada.

Sebelum blog gue dicerca ini dan itu. Balik ke topik bunuh diri tadi.

Gue pernah baca satu kalimat yang menarik dari satu artikel, “Kamu tidak bisa menghakimi keputusan seseorang ketika dia memutuskan untuk mengakhiri hidupnya. Apa yang dia alami boleh jadi tidak sama denganmu.”

Gue pernah baca satu berita, isinya anak SD bunuh diri karena nggak punya seragam sekolah kalau nggak salah. Mungkin orang akan berpikir, “Sakit jiwa, emang nggak ada jalan keluar lain apa? Ya kali deh nggak ada seragam terus bunuh diri.”

We never know what he/she’s going through.

Gue belajar berpikiran terbuka mengenai masalah itu setelah baca artikel yang gue sebutin tadi. Seseorang bahkan berpikir untuk bunuh diri karena ngerasa “bosan” sama hidupnya. Kita nggak pernah tahu. Semacam depresi atau stres yang numpuk dan nggak pernah lo sadari sebelumnya. Ngerasa sendirian. Apapun bisa jadi trigger untuk seseorang mutusin hal semacam itu.

It’s not okay, but it’s not that stupid either. Manusia itu makhluk yang kompleks. Apa yang kejadian di kepala itu nggak bisa diprediksi sama siapapun bahkan sama si manusia itu sendiri. That’s why i thought menulis adalah satu terapi yang bagus. It helps you to learn about yourself and your brain more.

Dalam beberapa bulan belakangan, udah ada dua teman yang mengaku pergi ke psikiater karena butuh bantuan profesional untuk nyelesaiin masalah mereka. At some point, you may need other people, nggak nge-define kalo elo gila ketika lo butuh bantuan psikiater. Better daripada tiba-tiba lo mutusin untuk bunuh diri, I guess.

Itu juga alasan dari jaman gue SMA dulu, gue paling rajin ngeladenin temen yang mau curhat. Karena gue nggak mau jadi salah satu orang yang akan ngerasa bersalah dan bertanggungjawab ketika seseorang butuh dan gue nyuekin Cuma karena sibuk lalu tiba-tiba dia memutuskan untuk bunuh diri. Mungkin gue akan mikir, “It might have been different if pada saat itu gue angkat telepon atau balas SMS dia.”

Aduh penyesalan semacam itu ngeri banget.

Beberapa tahun belakangan pemikiran “bunuh diri” suka muncul setiap kali gue dapet masalah dan mulai menyortir alternatif-alternatif penyelesaian yang mungkin. Iya, ketika istilah bunuh diri muncul, berarti dia masuk ke dalam alternatif “penyelesaian masalah” gue. Tapi lalu gue berpikir, what would happen if I die. Nggak harus berurusan sama orang lain bla bla bla. Untuk ukuran orang se-egois gue, gue nggak peduli apakah orang akan sedih atau enggak. Tapi kemudian gimana impian-impian gue.

Les drum yang belum gue lanjutin lagi, cita-cita gue nemuin teknik ngurusin badan paling mutakhir, atau nerbitin novel solo, atau impian gue tentang membangun bisnis yang bikin gue jadi konglomerat terkenal?

Atau sesimpel neriakin “fuck you” kenceng-kenceng ke orang-orang yang udah ngerendahin gue selama ini dengan cara nunjukin hasil yang signifikan.

It would never happen if I commit a suicide.

Tapi alternatif itu selalu ada, karena itu mudah. Tanpa resiko. Elo nggak harus pusing memikirkan apa yang akan terjadi setelahnya, because you would be dead by then. Biarkan orang yang hidup membereskan sisanya. Tapi lalu balik lagi ke paragraf di atas. Apa artinya YOLO kalau pada akhirnya lo bunuh diri, bunuh diri juga.

Gue sempet baca artikel bagus tentang indikasi seseorang udah siap untuk bunuh diri. Lo bisa cek sumbernya di sini http://www.helpguide.org/articles/suicide-prevention/suicide-prevention-helping-someone-who-is-suicidal.htm

Yang lucu adalah satu indikasi dari seseorang yang udah siap bunuh diri adalah justru menunjukan sikap tenang seolah-olah depresi yang dia alami sebelumnya nggak pernah terjadi. This is the point where you need to be really worry. Karena itu adalah tahap dia sudah bersahabat dengan keputusannya untuk bunuh diri (berdasarkan artikel di atas). Orang yang udah mempersiapkan semuanya dengan matang dan menyeluruh.

Gue pernah bilang nggak sih, perbincangan dua arah dengan pikiran sendiri itu bisa jadi sesuatu yang... sangat... berbahaya. Menurut gue pribadi, nggak ada tempat untuk cerita, atau sekadar berinteraksi merupakan trigger utama kenapa pada akhirnya lo memutuskan untuk bunuh diri. Itu alasan... bersosialisasi perlu. Minimal ngobrol tentang pikiran-pikiran lo ke orang lain dan mendapat tanggapan balik. Itu alasan kenapa seseorang butuh teman. Mungkin itu juga gunanya Tuhan bagi pikiran lo. Untuk lo ngerasa bahwa lo nggak sendirian. A good way to prevent suicide, isn’t it?

So, if you find someone who shows some indication of comitting a suicide. Offer help, or your time to listen what’re they been thinking this whole time. It might help them. Atau kalau elo baca ini dan elo merasa memiliki indikasi-indikasi tersebut... coba deh cerita ke orang apa yang sebetulnya bikin lo ga nyaman. Mulai dari situ, one step at a time. Kalau lo nggak punya siapapun. Berdoa. Dengan iman bahwa Tuhan itu memang benar-benar ada dan tengah mendengarkan cerita lo. Berdoa means bukan ngobrol sama pikiran lo sendiri, tapi berdoa sama pihak lain yang nggak terlihat (Tuhan). Terus kalo rencana bunuh diri masih belum berhenti ganggu... Pergi ke psikiater, seek for help. Life is good, you should savor it gratefully.

Salam roti!


2 komentar:

Emha Firdaus mengatakan...

Huh? Aku lagi down dan kamu nulis ini? Interesting.

Thanks ya. I feel much better now to realize that I'm not that depressed. Masih banyak impian yg ingin kucapai, dan cara terbaik utk mencapainya jelas bukan dgn meratapi diri. Haha :v

Marisa Roti mengatakan...

hahahaha, jangan buru2 depresi. Take a walk to think clearly, bro.