“I despise work out, but always feel terrible everytime I’m
not doing it.” – Gue
Setelah melewati masa
euforia “seneng keterima GWP dan nerbitin novel”, teman-teman terdekat gue
selalu nanya, “Ada projek terbaru apa, Mar?”, atau keluarga gue yang, “Lo ga
nulis lagi? Duitnya kan lumayan.”. While, banyak orang bilang nulis nggak
selalu tentang diterbitin atau enggak. And it’s true. Tapi nulis bisa dapet
duit dan menggiurkan itu bener juga. HAHA.
Gue kembali tenggelam
di kesibukan perkuliahan dan mencari minat hidup gue yang sebenarnya. Entah
kenapa beberapa hari lalu, gue mulai menggebu untuk nulis lagi. (alasan gue
update terus di sini). Dan gue mulai nemuin lagi kenapa gue seneng nulis,
karena nulis itu bisa release stress dan bikin gue ngerasa berdaya (in many
ways). Terlepas tulisan itu bagus atau jelek, layak terbit atau setara sampah.
I love to write.
Sedikit picisan sih,
tapi nulis juga salah satu alasan gue survive menghadapi banyak hal. Kuliah
yang berat, lingkungan yang nyebelin, ketakutan gue keluar dari zona nyaman,
dan sebagainya. Nulis itu (it’s a verb) jadi semacam objek di pikiran gue. Kayak,
“Hari ini gue sial banget. Oh untung gue bisa nulis ntar malam.” Atau “Brengsek
banget orang kayak gitu. It’s okay, gue bisa nulis entar malem.” Menaikan mood
gue dan bikin gue punya jaminan bahwa gue punya tempat untuk lari.
Btw, sekian tentang
gue. Gue sebetulnya pengen cerita ini sejak dua tahun lalu gue ikut kelas GWP
yang dimentori oleh Clara Ng. Bukan penulis favorit gue, but she is my
favourite person/figure sejak sekian tahun lalu. Tbh, gue nggak ngerti makna
kelas dia ketika diaplikasikan ke dalam tulisan gue, sementara temen-temen yang
lainnya seolah ngerti dan bisa improve gaya menulis mereka.
Sampe beberapa hari
lalu, it starts to make sense. Jadi, dalam rangka berbagi. Gue akan share
beberapa tips yang gue dapet dari kelas kemarin (dan gue bandingin ke
tulisan-tulisan yang gue baca juga tulisan gue sendiri). Kalo sampe ada
informasi yang ga sesuai dan kurang, pardon me, then.
Don’t Brag About Yourself
Yang jamak terjadi di
penulis-penulis pemula macam gue adalah hasrat untuk pamer pake karya tulisan
lo. Pengen diliat gimana cakepnya gaya
nulis lo ataupun cerita lo. Which mean akan berakibat kepada dua hal: Satu, lo
memasukan kata-kata yang nggak perlu di dalam satu paragraf (demi estetika gaya
menulis yang menurut lo kece itu).
Dua, lo akan mencari ide-ide yang extraordinary
(menurut lo sendiri). Bagus, sih. Tapi... apalah ide tanpa eksekusi yang
konsisten.
Distribusikan Detail dengan Baik
Jangan taruh detail
penuh di satu paragraf secara bersamaan. Which ini sesuatu yang (berkali-kali)
di edit sama Kak Asty dalam tulisan gue. Misalnya di dalam tulisan lo ada
karakter cowok ganteng, kesalahan yang sering banget dilakuin adalah lo
menjelaskan si cowok itu dalam satu paragraf sekaligus. Rambutnya hitam,
hidungnya mancung, bibirnya tipis kaya Syaiful Jamil. Kalo lo adalah penulis
yang suka pake deskripsi, “Wajahnya mirip dengan artis Adam Levine (atau ganti
Adam Levine dengan artis manapun).” Maka hentikan sekarang juga. Lo kayak nulis
cerita stensilan di website bokep tau ga. Yang suka nyama-nyamain cewek pas pra
adegan pemerkosaan sama artis tahun 90an kaya Nafa Urbach atau Sarah Azhari.
(Read one if you dont believe me).
Detail mengenai
karakter, tempat, atau apapun akan lebih menarik ketika lo selipkan dalam
adegan. Which is lebih banyak kata kerjanya daripada kata sifatnya. Misal
“Rambutnya berwarna
hitam.”
“Rambut hitamnya
sedikit terempas ketika aku mengibaskan map besar itu di hadapannya.”
Mana yang lebih menarik?
Nomor dua. Nomor dua adalah jawaban yang relevan untuk postingan gue ini. Haha.
Do don’t Tell
Ini berhubungan
dengan poin pertama tadi sebelumnya, biasanya lo akan pamer gaya menulis berbunga-bunga
lo lewat curhatan dan pemikiran si karakter. Ngedeskripsiin setting aja bisa
satu bab penuh. Dan contoh yang oke gue dapet dari novel-novel terjemahan,
cerita yang bagus dan ga ngebosein ketika masuk ke adegan langsung. Apapun itu,
mungkin si cewek sama si cowok ciuman, karakter utama berantem sama antagonis.
Lo menjelaskan segalanya lewat adegan, lewat kejadian. Buatlah kejadian
sebanyak mungkin.
Bayangin aja lo
nonton film, lo bosen ga kalo yang ditampilin itu Cuma gambar pemandangan,
terus ada suara ngedeskripsiin pemandangan atau kegalauan si tokoh utama. Tentu
aja akan lebih menarik misalkan kegalauan si tokoh utama itu digambarin dengan
gestur, atau adegan dia dengan tokoh lainnya. Got what I mean?
“Saat mereka
menyelesaikan tugas mereka dan mengizinkan kami masuk, Amy menggandeng tanganku
dan hampir harus setengah menarikku berserta kakiku yang gemetar ke arah ibu,
yang sedang menunggu kami.” – Slated, halaman 97
Di atas adalah contoh
yang menurut gue cukup mewakili maksud gue. Dalam paragraf itu diceritakan
gimana si tokoh ngerasa ketakutan, dan digambarkan dengan karakter Amy yang
sampe harus narik dia karena dia ketakutan. Dia menggambarkan ketakutannya
dengan adegan. Coba paragraf di atas gue ganti dengan...
“Aku merasa ketakutan
ketika petugas itu menyelesaikan tugas mereka dan mengizinkan kami masuk. Kakiku
terasa lemas dan gemetar hingga aku tidak mampu berjalan. Degup jantungku juga
jadi tidak seperti biasanya karena tatapan mereka yang lekat padaku.”
Kalau tokoh lo merasa
ketakutan, jelaskan bahwa tokoh lo ketakutan. Tapi kemudian buktikan hal
tersebut dengan kejadian, adegan, gestur. Do, don’t tell.
Climax, Anti-Climax, Climax, Anti-climax, Orgasm, Heaven Bliss
Sebetulnya ini poin
yang gue (personally) kurang ngerti. While gue paham bahwa pembuka itu harus “menggebrak”
untuk menarik minat pembaca. Gue kemudian menyimpulkan bahwa akan lebih baik
kalau lo membuka adegan pembuka yang masuk kategori “klimaks” (nulis judulnya
bikin guengerasa lagi bikin erotika deh, heran). Tapi lalu, Clara Ng
menjelaskan bahwa cerita yang akan bikin pembaca terus penasaran adalah
klimaks-klimaks palsu. Ketika pembaca ngerasa bahwa ini akhirnya, ternyata
bukan akhirnya. Sementara sih gue orang yang realistis kalo baca buku. Kalo
bukunya masih tebel berarti belom tamat. HAHAHAHA.
Ketegangan dalam
cerita harus juga lo imbangin sama anti-climax. Ini akan kontradiktif banget
sama konsep yang lo pahamin tentang urutan sebuah cerita pas jaman sekolah
dulu. Klimaks itu ditaruh paling terakhir. Mari kita anggap si pembuat konsep
cerita pas jaman sekolah dulu nggak pernah bikin novel sebelumnya.
Jadi kalau intensitas
ketegangan novel lo itu dibikin grafik, maka bentuknya harus begini...
Simplicity is The Best
Pernah nggak sih lo
ngebaca satu novel yang bahasanya menurut lo biasa-biasa aja, tapi bisa bikin
lo tenggelam ke dalam ceritanya selama berjam-jam? Ini menurut gue pribadi,
kalo makin simpel dan mudah dimengerti itu makin baik. karena tulisan gue itu boros dan bersayap banget (sering
masukin kalimat-kalimat nggak perlu yang sebetulnya tanpa kalimat tersebut
orang udah ngerti apa maksudnya). Misal, Pria tua itu ketakutan, napasnya tercekat dan keningnya berkeringat.
Sebetulnya kalimat yang gue italic itu nggak perlu. Ketika kita ngejelasin si
pria tua itu ketakutan, people know it. Alih-alih dijelasin dengan kalimat yang
gue italic tadi, lebih baik kalo diganti dengan adegan atau gestur yang
nunjukin si pria tua itu ketakutan.
Plus, ibarat
ngedeketin cewek, (seperti kata dosen gue, you have to fuck their mind first),
lo harus memberi mereka ruang untuk mengimajinasikan keadaan yang ada. Ngasih
ruang untuk calon gebetan lo itu mikir dan mengimajinasikan elo (misalnya bikin
kangen, tarik ulur, dsb). Itu juga menurut gue yang seharusnya terjadi dalam
tulisan, ciptakan ruang untuk pembaca lo mikir dan berimajinasi sendiri. Nggak
perlu dijelasin semuanya. That’s the art, right?
“The greatest possible mint of style is to make the words absolutely disappear into the thought.” –NATHANIEL HAWTHORNE
Act as if You’re
Telling Your Wonderful Story on A Camping Night
Ini tips yang gue dapet dari baca beberapa quotes penulis.
Cara yang baik untuk menulis adalah bayangkan lo seorang story-teller yang
selalu bisa menarik minat penontonnya. Lo tentu akan ninggalin hal-hal yang
(sekiranya) bosan untuk diceritakan dan langsung masuk ke bagian-bagian
menariknya, kan? Karena lo punya penonton yang butuh untuk dihibur. In this
case, tuangkan konsep tersebut ke dalam tulisan lo.
WRITE
Seluruh tips di atas hanya berlaku kalo lo seorang penulis.
Means, lo nulis. HAHAHAHA... *ketawa garing*.
Semoga cukup membantu, meskipun gue ngerasa ada yang miss
dan bisa gue share di sini. Menyusul aja kalo gue udah kepikiran. So what
should I do now? Oh iya, tidur. Karena gue akhirnya menghabiskan liburan gue
semester ini untuk internship di salah satu perusahaan konsultan Jakarta.
Anyway...
Salam Roti!
3 komentar:
Halo Mbak Marisa!
Sebenernya aku belum selesai baca post yang satu ini. Tapi gak tau ya, aku merasa ini saatnya aku mengenalkan diri sebagai salah satu penyimak blogmu hehehehe, duh SKSD ya. Dulu awalnya aku googling tentang GWP dan nemu blognya finalis-finalis gitu, sejak itulah aku mulai ngefollow dan rajin menyambangi blognya Mbak Marisa.
I like the way you share your experience. Sekonyol apapun, seaneh apapun, selalu ada hikmah yang bisa diambil dari situ. Thank you for giving me inspiration though you didn't even realize :p
Sekarang kalo aku nyantumin quotes by Mbak Marisa dan ngasih link blognya mbak di postingku, boleh dong ya. Hahahaha. Maap mbak kalo rada risih pake aku-kamu.
Regards, Echa from Jogja~
Mbak Marisa, suka deh sama tulisannya.
Hai echa dari jogja? Mau sekalian rekues lagu buat siapa? *berasa penyiar genfm* hehe.
Thanks a lot ya udh baca blog roti, this place is really personal for me. Semoga gue ga kebanyakan nyampahin elo... ;)
cowo ganteng: makasih dek. Mbaknya ditraktir holycow ya, asikkkk...
Posting Komentar