Rabu, 07 Juli 2010

Kalau Marisa Menangis

Seperti apa sih seorang Marisa?

Gua pikir, sebesar apapun masalah menerjang gue, gua adalah anak yang tegar. Seperti kata kopi waktu itu “si Cia sih, bocah tahan banting.” Waktu mantan calon pacarnya (sekarang udah jadi pacar) sedang mengkhawatirkan gue karena suatu hal. Iya, gua pikir juga gua bocah yang kuat.
“Macho, Mar. serem. Judes. Galak.”
Terima kasih komentar anda yang agak blak-blakan itu, kawan.

“Kamu kaya lebah..”

“Aku? Kaya lebah? Kenapa?”

“Lebah itu warnanya kuning. Kuning tandanya semangat. Punya garis-garis hitam, yang menandakan tegas. Lebah berdengung terus, ya.. maksud aku.. kamu kan, talkative (bilang aja, bawel versi halusnya), dan lebah punya sayap.. kamu punya effort untuk meraih cita-cita kamu.”

Dan dia (teman gua itu) mengirim SMS itu. TEPAT SEKALI, saat hati gua sedang kalut. Gua hanya merasa masalah ini gua pendam sejak berbulan-bulan yang lalu. Ya sudahlah, biarkan beban itu untuk gua konsumsi sendiri. Gua bukan anak yang cengeng. Memang, gua seringkali hampir nangis. Tapi gua pikir, ya.. buat apa sih nangis? Toh ga ada gunanya? Lebih baik gua menjernihkan pikiran lalu mencari solusinya.

Tapi tidak begitu belakangan ini. ini sudah kedua kalinya gua nangis dalam bulan ini. bolehkah gua mengakui bahwa gua adalah anak yang cengeng? Ya. setelah gua mengingat kembali, gua itu ratunya nangis waktu kecil. Gua sering menggunakan tangisan gua untuk mencari perhatian, agar gua mendapat perhatian yang lebih dari pada saudara-saudara gua. licik? Ah itulah anak bungsu. Harus pintar-pintarnya kita untuk bertahan dari saudara-saudara yang siap membunuh kapanpun dimanapun.

Tapi gua punya 2 jenis tangisan yang beda. Satu, tangis caper. Tangis agar seluruh dunia tahu bahwa gua sedang menangis. Tangis yang menandakan gua butuh perhatian semua orang. Tangis yang berarti, datanglah kemari. Jemputlah Marisa yang menyedihkan ini. dan tangisan Ini sudah lama sekali hilang semenjak gua bertumbuh dan mengenal kata “bersikap dewasa”.

Dan tangisan satu lagi, tangisan yang ingin gua simpan untuk diri gua sendiri. Jangan sentuh gua saat gua menangis, jangan menghibur gue. gua ga butuh siapapun. Gua ga butuh orang melihat air mata yang berlinang. Dan itu sering gua rasakan semasa gua kecil, meringkuk dengan air mata di bawah selimut. Gua rasa sih, itu saat-saat keluarga gua ga tau. Itu tangisan gua yang sebenarnya. Siapa bilang marisa ekstrovert? (sekarang sih gua buka-bukaan di blog iya ekstrovert).

“Kamu mah, bisanya Cuma caper ke papa. Dasar bla bla bla.” *kenangan pahit jangan di simpan*. Terus gua nangis.

“Ga punya tanggung jawab amat sih? bisanya ngerepotin orang doank.” Lalu gua nangis. Iya. Itu waktu kecil. Setelah gua dewasa, gua akan memikirkan dua patah kalimat menyakitkan itu, mencernanya, lalu mencermati kebenarannya.

Tapi kali ini gua nangis. Gua nangis di kamar mandi, di atas kloset *persis sinetron deh, Mar*. gua sendiri bahkan ga tau kenapa gua nangis, dan setelah gua teliti lagi. ternyata selama beberapa bulan ini gua memang menyimpan masalah. Tapi gua selalu bersikap (sok) optimis dan menjalani hidup gua dengan tampang “Marisa baik-baik saja kok..” yang setelah gua sadari bahwa. Gua tidak baik-baik saja.

Karena gua bahkan tidak menyangka, bisa-bisanya Marisa si gorilla ini nangis. Dan gua ingin waktu gua berhenti nangis, lalu masalah gua selesai. Tapi akal sehat gua pun berteriak-teriak. Itu ga mungkin. Gua tetap harus mencari jalan keluarnya, bunuh diri jelas out of my list. Karena sebagai manusia ada begitu banyak hal yang bisa gua lakukan untuk menanggulangi segala masalah-massalah gua. ternyata gua anak yang selama ini tertekan.

Padahal, malam gua nangis itu. hari rasanya berjalan lambat, dan gue serius. Menyongsong hari esok itu ga mudah. Padahal gua pengen cepet-cepet abis. Tapi seiring air mata gua itu mengalir, rasanya.. ya rasanya masalah dan kepenatan gua juga ikut mengalir melalui air mata itu. gua merasa, lega. Sesak rasanya hilang. Paru-paru gua yang seperti di hempit dua bantalan besar itu lega. Tenggorokan gua yang tercekat selama ini meraung-raung. Rasanya lepas. Dan gua punya Tuhan. Kenapa gua harus pusing?

“Aku ga merasa kaya lebah. Aku merasa kaya.. kucing jalanan. Bisanya Cuma ngerepotin doank. Tapi tetap beranak terus dan menambah kerepotan yang sudah menggunung. Cuma bisa meminta-minta tanpa melakukan sesuatu.”

“Jangan bilang kamu nangis nih?”

Jawabannya sudah ada di paragraph atas ya. ya. gua memang nangis. Tapi menangis ga selalu berarti gua lemah. Karena gua perempuan, gua juga butuh menangis. Karena gua perempuan, ga bisa nyimpen air lama-lama di mata. Karena gua perempuan, pikiran gua yang ngejlimet ini harus segera di buang jauh-jauh lewat air mata. Gua pikir itu hanayalah omong kosong belaka, gua tetap menanggap. Menangis adalah hal yang sia-sia. Tapi sekarang, kayaknya gua mau nangis sebulan sekali rutin deh. Nguras air mata.

“Aku tau kok. Dari dulu, kamu itu anak yang kuat. Ga mungkin donk kamu sedih terus-terusan? Semua masalah pasti bisa selesai.”

Ya benar. Gua anak yang kuat. Dan hanya karena malam itu gua menangis, bukan berarti gua lemah atau cengeng. Tapi gua berani. Akhirnya gua berani menangis. Akhirnya gua berani menghadapi bahwa, ada masalah yang harus gua selesaikan, ada bagian diri gua yang harus di benahi. Dan ada kehidupan yang harus gua hadapi. Hari esok itu selalu jadi hari yang beda. Intinya *ga mau sok-sok bijak*.. gue akan selalu menemukan penyelesaian untuk masalah gua. sekarang Cuma saat bagi gue untuk memikirkannya. Jadi menangis aja kalau perlu. Menangis aja kalau ingin. Apalagi perempuan. *benefit menjadi perempuan hihihi*

P.s. TERIMA KASIH BANYAK, kepada si empunya perumpamaan “lebah”. Anda sungguh banyak membantu saya. hiks hiks. Mau nangis lagi deh terharuuuu…

Tidak ada komentar: