Jumat, 19 Maret 2010

To Be an Expert.

Menurut gua, sebagai seorang perintis. Perintis kehidupan semenjak bayi, ada 4 tahap yang harus dilalui manusia untuk menjadi seorang manusia yang ahli. 4 tahap sifat dan kepribadian.

1.Orang yang (masih) payah, dan sadar bahwa dirinya payah sehingga berusaha untuk menjadi ahli.

2.Masih tetap payah, namun merasa bahwa dia telah sampai tahap menjadi seorang ahli.

3.Sudah menjadi orang yang ahli, menyadari keahliannya bahkan menggembar-gemborkannya.

4.Menjadi orang murni ahli menyadari keahliannya, namun seperti padi yang semakin merunduk, dia rendah hati karena keahliannya.

Dan gua. dalam dunia tulis menulis telah sampai tahap yang ke dua. Ya ya, gua selalu merasa ahli. Di manapun kapanpun, dengan penuh percaya diri mengatakan bahwa diri gua ahli. Padahal? Kenyataannya sangat bertolak belakang. Gua payah. Masih seorang loser seperti tahap pertama dan harus terus belajar.

Tentunya gua sudah pernah melewati ke empat tahap itu. Yah, gua sekarang telah ahli sebagai pejalan kaki. Maksud gua, sekarang gua pintar berjalan. Sekarang gua juga ahli sebagai seorang pembicara. Maksudnya yah gua sudah ahli dalam berbicara sekarang.

Dulu, saat gua masih bayi. Tentunya gua tau gua belum seperti orang-orang yang mengelilingi gua. tinggi, besar, bisa berjalan. Itu kenapa marisa versi bayi terus belajar. Belajar dan berkembang. Hingga sampai gua ke tahap batita, dimana kaki gua mulai bisa melangkah. Pastinya saat itu langkah gua tertatih-tatih, tapi gua norak. Gua akan merasa menjadi anak gede yang udah ahli dalam berjalan. Padahal ngalahin nenek-nenek lari aja belum tentu bisa.

Hingga kemudian gua bertumbuh lagi. Bertumbuh menjadi kanak-kanak. Yah tentu gua sudah ahli dalam berjalan, gua bahkan mulai bisa berlari. Gua bangga atas keahlian gua. gua akan menatap anak-anak yang masih belum bisa berjalan dengan merendahkan. “dasar anak kecil..” begitulah kira-kira. Marisa yang merasa dominan jika disandingkan dengan batita yang belum ahli berjalan.

Hingga sekarang ini lah gua SMA 1, apa iya gua masih norak dan menggembar-gemborkan. “Woi teman-teman, Marisa udah bisa jalan loh.” Tentunya tidak. Gua biasa aja. Berjalan memang sudah menjadi kebiasaan gue. Berjalan itu memang hal yang harus gua lakukan sebagai manusia. Dan apakah gua melihat orang-orang dengan sombong karena gua bisa berjalan? Ya ampun. Mungkin ga sih?

Begitu juga dalam nulis novel. Begini ya, tulisan gua itu masih ga karu-karuan. Ga tau tema jelasnya, ga tau kepentingannya, ga tau dialognya. Ga tau segala-galanya, tapi gua merasa hebat dan ahli. Seperti batita yang baru belajar berjalan dengan tertatih-tatih. Norak mengetahui bahwa ternyata gua bisa berjalan. Norak mengetahui bahwa ternyata gua bisa menulis,

Ya, tentunya gua bisa menulis. Tapi apakah tulisan gua pantas disebut sebagai tulisan yang bagus? Apakah tulisan gua pantas untuk disandingkan dengan para senior-senior itu? Pastinya enggak, ehm, belum.

Jadi sekarang gua bingung bagaimana untuk menjadi seorang penulis yang hebat. Nah gua ga persis di tahap ke 2 mungkin kita bisa bilang 2 setengah. Karena gini loh, orang di tahap ke dua ga menyadari bahwa tulisannya payah, sedangkan gua menyadari bahwa tulisan gua payah sehingga gua ingin belajar untuk menjadi ahli. Menjadi tahap yang ke3, atau jika gua beruntung, gua bisa langsung menjajaki tahap ke 4.

Menjadi penulis ahli yang rendah hati.

1 komentar:

coffee latte mengatakan...

semangat y bwt terus belajar dan belajar!! :D