Sabtu, 13 Maret 2010

Diari, Blog, Hingga Majalah

Gua baru merasakan belakangan ini. menulis diari dan blog saja sudah berbeda jauh. Mengapa? Nulis di diari? Jiah! Elu mau nulis kata-kata apapun juga bebas-bebas aja. Mau nulis pake gaya alay juga bebas-bebas aja. Toh itu yang baca juga Cuma lu. Betul? Mau nulis kata-kata kotor? Terserah! Mau nyumpahin satpam yang mukul lu pake tongkat golf gara-gara telat? Terserah! Mau nyaci maki senior lu yang sok jagoan? Terserah!

Lain halnya sewaktu lu nulis di blog. Yah, katakanlah blog gua memang ga rame. Pembacanya pun juga Cuma teman-teman sekelas. Karena gua juga sadar, kemampuan nulis gua belum membuat blog gua pantas untuk jadi beken dan rame. Meskipun gua punya keinginan untuk itu.

Nah sekarang bayangin, di blog itu semua orang dari seluruh dunia bebas mengakses masuk ke dalamnya. Dimana yang lu tulis akan terlihat SEJELAS-JELASNYA. Mana bisa lu bergaya nulis diari yang kaya gini..

Dear diary,

Huh! Hari ini aku kesel deh! Itu tuh, si kuncoro! Masa jalan bareng si Inem? Padahal! Aku kan naksir sama dia! Keki aku, benci aku! Liat aja si Inem! Apa sih kelebihan dia dibanding aku? Item, katro, jelek, pendek, buntet, geblek, lemot, dibanding aku! Yang cakep, pintar, baik, tidak sombong. Pokoknya aku sumpahin si Inem biar cepet2 ditangkep sama polisi. Aku tahu tuh rahasia dia! Suka nyolongin ayam tetangga!!!

Kira-kira apa yang terjadi selanjutnya kalau ternyata si Inem suka buka-buka internet dan iseng-iseng baca blog si penulis diari kurang kerjaan tadi? FATAL!! Bisa-bisa dia yang ditangkap polisi dengan tuduhan mencemarkan nama baik.

Itu bedanya! Di blog gua ga bisa sembarangan. Karena gua harus sadar, pembacanya bukan Cuma gua seorang. Only gua. tapi seluruh dunia bisa baca kalau mau!

Sekarang bandingkan lagi, nulis blog. Yah, kita bisa bilang. Nulis blog, suka-suka kita lah ya.. blog-blog kita kok. Yang bikin kita, yang desain kita, yang ngetik kita, adminnya juga kita. Mana mungkin, si internet nolak postingan kita karena katanya tidak sesuai untuk publik? Ada pengunjung reseh yang komen aneh-aneh. bisa kita apus komennya. Ada pembaca yang kritik dengan pedas, bisa lu jawab.. “Yee! Suka-suka gue! Ga mau baca ya sana pergi lo!” (bukan contoh orang sukses yang baik dan mau menerima kritik).

Bandingkan dengan menulis di sebuah perusahaan yang mengisi-isi bukunya dengan berbagai macam artikel. Kita sebut ajalah majalah. Mau on line mau offline. Intinya yah majalah. Dimana elu bukan pemilik lingkaran tersebut, istilahnya elu hanya mengisi sedikit bagian dari majalah itu. Elu ga bisa nolak komennya. Elu ga bisa nulis suka-suka dan seenak bero. Kalau blog, Cuma segelintir orang yang mengaku suka makanya buka blog kita. Isinya pun yah tentang kita.

Tapi gimana kalo majalah? Dimana pembaca majalah itu yah bukannya Cuma baca tentang lu doank. Karena isi majalah itu kan ga Cuma tulisan lu doank. Tentunya lu harus menghasilkan sebuah tulisan atau artikel yang berkualitas dan bisa bersaing (roti kale pake bersaing). Pastinya sang redaktur ga mau lah, mendadak kedatengan satu penulis yang suka nulis seenak bero dia dan malah bisa menghancurkan perusahaan majalah tersebut. wajar.

Itu berarti, waktu menulis di majalah, setidaknya kita sudah naik satu level dalam zona tulis menulis dengan tingkat kesulitannya bukan? Iya donk. Itu berarti elu harus bisa menghasilkan tulisan yang cocok dan tidak mengandung sesuatu yang melanggar hukum. Berat oh berat.

Dan satu lagi bedanya sama nulis di blog. Nulis di majalah, itu berarti akan ada redaktur yang tingkatnya lebih tinggi satu level dari lu dimana dia adalah orang yang bisa menulis dengan baik, dan tugas dia adalah mengecek tulisan lu apakah tulisan lu baik atau tidak. Itu berarti… ada kemungkinan artikel lu ditolak juga donk? Wajar.

Apalagi kalo ternyata bos redaktur itu adalah orang arogan, tegas, menyebalkan, dan sangat selektif. Wajar. Kalau dia ga menjadi orang yang seperti itu, sebuah majalah ga akan pernah bisa berkembang. Tulisan lu dipulangkan dengan nada kecewa. “Maaf, tulisan yang ini harus ditolak karena bla bla bla..” beserta kritik-kritik pedasnya. Sekali lagi wajar. Dan apa yang harus dilakukan oleh seorang penulis?

Ingat baik-baik kritik tersebut, menyelaminya, mengerti, dan diulang 10 kali hingga kita mengerti maksudnya. Penolakan itu pengalaman. Dikritik itu kebahagiaan karena berarti ada juga yang mau repot-repot ngritik tulisan lu. Gua suka kritik yang pedas. Rasanya ada yang deg-degan gimana gitu. Sensasinya tak terkatakan kalo denger kritik pedes. Deg-degan, marah, kesel, dan memotivasi kita untuk menjadi lebih hebat.

Jadi apa yang harus dilakukan selanjutnya? Pelajari kritik itu. Pahami kekurangan dalam tulisan lu. Dan tulis kembali dengan kualitas yang lebih baik sehingga menaikan peluang tulisan lu itu dapat diterima. Hemm.. *usap-usap dagu*.

Tidak ada komentar: