Selasa, 20 April 2010

Seperti Membuat Kue

Gua benci bikin kue. Gua ga suka mengaduk-aduk adonan itu menjadi satu. Gua benci bau busuk telor setiap kali gua mecahin dan terciprat di tangan gua. gua benci melihat cairan yang di aduk mixer berwarna keputihan itu. Gua benci saat tangan gua kena terigu dan jadi kotor. Gua benci harus menuang adonan itu ke dalam Loyang. Gua benci saat-saat gua menunggu kue itu jadi mateng.

Tapi gua seneng. Seneng banget sewaktu ada orang yang memakan kue gua dan bilang “Cia, kuenya enak loh. Lembut.” Maka gua akan tersenyum. Maka gua akan melupakan seluruh kebencian gua tadi. Maka gua akan melupakan telor yang tadi terciprat di tangan gua. gua akan melupakan semua kelelahan gua saat orang itu memuji kue buatan gua.

Nyokap gua adalah seorang tukang kue. Nyokap gua sedari kecil telah dididik untuk menjadi mandiri dengan bantuan kue. Gua bisa seperti sekarang karena kue yang di buat kedua orang tua gua. sungguh kebetulan ya? bokap gua yang berlatar belakang konglomerat dari pabrik biscuit yang besar pada saat itu, menikah sama nyokap gua yang berlatar belakang keluarga miskin penjual kue.

Intinya gua ga sembarangan sewaktu melabelkan diri gua sebagai si anak roti. Roti adalah makanan yang telah menghidupi gue hingga hari ini. roti yang membelikan gua baju baru, roti yang membayar uang sekolah gua, intinya roti yang telah menghidupi gue lah. Saat semua orang berpikir gua adalah seorang pembuat kue berbakat seperti kedua orang tua gue, mereka seperti menjatuhkan beban berton-ton baja ke atas bahu gua.

Gua suka label ini, gua membanggakannya kan buktinya? Gua belajar mencintai label gua sendiri dengan memamerkannya di mana-mana. tapi gua ga suka saat hal itu menjadi beban tersendiri buat gue. Beban label. Beban label keluarga si tukang kue. Nyokap gua begitu bangga, senyumnya begitu cerah sewaktu gua mengadukan mixer itu di atas baskom berisi adonan kue di depan nyokap gue. Dia begitu antusias melihat gua, si anaknya yang paling kecil mewarisi bakatnya dan bakat bokap gue. Dia ceritakan itu ke semua orang yang di temuinya. Dia banggakan bakat gua yang agak aneh di umur gua yang terbilang masih kecil (karena saat itu gua masih SMP1).

Dia terus mensupport gua agar mau bikin kue seperti dia saat muda dulu. Dia rela ngajarin gua bikin kue sampai pagi. Dia mencintai gua, si anaknya yang jago bikin kue. Satu yang dia ga tahu.


Gua ga suka bikin kue. Gua benci bikin kue. Gua benci kalau tangan gua lagi-lagi harus mengadukan bahan=bahan itu. gua benci saat semua orang menekan gua dan mengatakan. . “Aicia pinter ya, bisa bikin kue.” Jangan anggep gua lebay. Kalau orang yang berada di posisi gue, maka dia tidak akan pernah menganggap ini lebay.
Gua benci sewaktu dia bilang ke semua temen-temen arisannya. “Nih, anak saya yang paling bontot. Pintar bikin kue loh. Inget ga? Kue ulang tahun anaknya si Alin? Itukan dia yang bikin.” Maka semua teman-temannya akan melihat takjub ke arah gue sambil berdecak kagum. Disusul dengan pujian-pujian yang mulai memuakan buat gue.

Nyokap gua pernah berencana menyekolahkan gua di jurusan tata boga. Yang untungnya ga jadi, karena akhirnya gua masuk ke SMA. Nyokap gua ga pernah tau setiap tiba saatnya gua membuat adonan itu, mood gua mendadak jelek. Gua akan menjatuhkan semua barang, gua akan marahin semua orang yang gua liat, gua akan membentak apapun yang mengganggu gue. Tapi gua tetep harus bersikap lembut sama kue itu. karena itu gua ibaratkan seperti nyokap gue. Gua ga bisa kasar sama kue itu. gua Cuma bisa lampiasin ke barang dan pembantu-pembantu rumah gue.

Emosi gua pasti meledak-ledak. Cuma itu yang nyokap gua ga tau. Atau mungkin nyokap gua tau, tapi sepertinya dia belaga ga tau.

Tapi gua seneng kalau ada orang yang makan kue itu. gua seneng waktu ada orang yang senyum. Gua seneng kalau nyokap gua muji kue buatan gue. gua seneng saat kue itu bisa jadi tambahan duit jajan buat gua. gua mempunyai penghasilan sendiri di masa gua SMP, gua bisa pergi ke mall tanpa harus minta uang orang tua gue karena gua buat kue. Dan nyokap gua terus mensuport gua agar ga menyia-nyiakan hal itu. kalau memang bisa di komersilin, kenapa enggak katanya. Itung-itung tambahan income.

Jadi apakah selamanya hidup gua seperti itu? melakukan apa yang gua ga mau tapi apa yang bisa bikin mereka seneng? Kedua orang tua gua memang ga pernah memaksakan kehendak mereka kok, gua yang ga pernah mau untuk mengecewakan harapan nyokap gua dan akhirnya gua terus bikin kue. Gua mengambil titik akhirnya, gua belajar menyukai kue. Gua belajar untuk terus mencintai kue. Dan bahkan gua memasukan itu ke dalam daftar cita-cita gue (jadi tukang roti).

Tapi gua ga rela kalau itu yang harus terjadi dalam kehidupan masa depan gue. saat keadaan gua memang ga memungkinkan untuk ngikut apa yang mereka mau. Saat keadaan gua ga memungkinkan untuk gua ikut “belajar” mencintai apa yang mereka mau. Saat keadaan gua ga memungkinkan untuk bisa terus membahagiakan mereka. Ya, dengan menjadi gua yang apa adanya.

3 komentar:

coffee latte mengatakan...

Love it..! xp
Sama kaya hidup...butuh proses! Stelah prosesnya kita jalanin dengan benar, hasilnya benar-benar sebanding bahkan lebih dengan semua keruwetan adonan lo itu! Haha!
Gut luck bwt revisi! :p

Marisa Roti mengatakan...

Yeeepp eke stuju!

Hmm.. Tp, gw pgen egois sekali2, dgan nglakuin ap yg perlu dan gw mau. Haha

iya kopi! Thx supportny.

Rae mengatakan...

Pastikan kamu juga bisa membanggakan orang tua dengan melakukan hal yang kamu sukai. Dengan begitu, tidak bakal disebut egois. Itu saja :)

Btw, mau donk makan roti buatanmu :D Oiya, kalau kamu bikin rotinya dengan lebih sepenuh hati lagi, dijamin rasanya akan jauh lebih enak :) Lah yang setengah hati aja udah enak, gimana kalo yang sepenuh hati? :D