Sabtu, 17 April 2010

Marisa Mau Berubah

Gua mau berubah.

Berubah tidak dengan segala perlengkapan kostum yang mentereng warna-warni beserta topeng yang nutupin satu muka. Bukan-bukan, bukan juga teriak BERUBAH dan jeng jeng jeng jeng, gua jadi ultraman yang punya kekuatan super. Gua mau berubah dari Marisa yang dulu jadi Marisa yang sekarang.

Sekarang gua tau, kenapa kemampuan bermusik gua ga pernah berkembang. Dari jaman dahulu kala, kalau yang namanya main musik gua paling benci sama yang namanya guru, pembimbing, whatever it is. Intinya gua ga pernah suka sama mereka. Satu, gua merasa setiap kali bersama mereka, kreativitas gua dalam bermusik itu terkekang. Dua, gua merasa cara mengajar mereka monoton bagi orang yang mengaku bergerak di bidang music. Tiga, gua memang ga bisa menerima kritik mereka saat music yang gua mainkan dikatakan parah.

Padahal music gua memang benar-benar parah. Suatu hari guru ekskul gua bertanya begini.

“Kamu pernah les piano Marisa?”

“Pernah ko.”

“Oh pantes, kamu pinter baca not baloknya,. (sekalian pamer ya gue dipuji). Kenapa kamu berhenti?”

“Karena aku merasa cara mereka mengajar itu ga sesuai sama aku. Terlalu monoton dan lambat. Jadi, mengesalkan ko.”

“Kamu tau ga Marisa, saat kita belajar bermusik, satu yang kita perluin. Rendah diri. Disini dikatakan dia pembimbing, tentunya dia lebih di atas kita skillnya, memang sebetulnya kita sedang belajar bersama pembimbing itu, tapi apa salahnya kalau kamu rendah diri sedikit dan mulai melihat tujuan dari pembimbing kamu.”

Oke, dan gua sadar. Gua terlalu sombong untuk mau mendengar guru les gua dari dulu. Ga Cuma guru les doank kok. Intinya gua merasa gua bisa bertumbuh sendiri tanpa seorang pembimbing. Well, memang, pada kenyataannya gua bisa berkembang sedikit tanpa pembimbing. Tapi inilah gua sekarang, ga sampe kemana-mana. Baca not balok pun gua terpatah-patah.

Dan gua mau berubah,. Sesuai kalimat di atas tadi. Gua mau berubah meskipun dalam kasus ini adalah menulis. Dulu, gua merasa tulisan gua itu bagusnya ga ada yang ngalahin. Hehhh. Ini bukan sombong. Bukannya wajar ya? Gua yakin semua penulis pernah melewati fase ini. Hingga gua bergabung dengan satu komunitas dan coba-coba belajar nulis di sana.

Tulisan gua akan di baca public, dari itulah gua dituntut untuk bisa menulis yang sesuai dengan criteria yang dipasang di sana. Dan gua berkenalan dengan salah satu editor yang kebetulan bertugas mengasuh anak gila kaya gua. Itu dia yang bikin gua kagum sama si editor. Dimana sang editor harus menahan gondoknya yang segede bola sepak saking gregetan, apalagi ketemu penulis bobrok kaya gue.

Gua tau, tau banget. Bahwa gua itu berbakat. Sekali lagi, BERBAKAT. Gua penulis yang berbakat, gua pemusik yang berbakat, dan gua seorang baker yang berbakat. Gua bukan sombong, tapi gua bangga dengan semua bakat itu. Sayang sungguh sayang, gua terkadang terlalu sombong untuk mengakui bahwa gua si orang berbakat yang tidak pernah berkembang. Pokoknya ini udah gua bahas di blog lalu tentang musisi.

Gua kirim tulisan ga berbobot itu, si editor mengatakan secara kasarnya sih, bahwa tulisan gua ga ada isinya. Intinya ga berbobot lah. Ini juga yang bikin gua kagum sama dia, dia ga pernah bikin gua tersinggung kalau jadi malu sama tulisan gua sih iya ya. Tapi kalo sampe sakit hati enggak. Gua selalu baca ulang tulisan dia buat nyari2 dimana maksud kesalahannya. Dan gua rencana mau ngirim tentang blog gua yang “the best choice” begitu gua lagi ngedit2 tau2 dia ngirim email, dia bilang dia tertarik sama tulisan itu. Pas banget. Akhirnya gua kirim lagi. Masih ada juga lah ya kurangnya. Mungkin karena over confident gua kebaca banget dalem tuh tulisan. Jadi gua merasa tulisan itu gugur juga.

Yang gua ga habis pikir, apa jangan2 gua itu salah satu dari daftar penulis bebal dia yang ga ngerti2 kalo dibilangin? Aduh gua jadi minder sendiri. Gua itu tipe orang yang suka berkoar-koar.. “tenang ya kak, aku ubah nanti.” Padahal gua bukan tipe orang yagn tahan banting kaya gitu. Kalau dulu, ada satu guru les gua yang ngomentarin gua kaya gitu, gua langsung pindah tempat les, karena menurut gua guru itu ga bisa cocok sama gua. Padahal itulah yang membuat gua ga berkembang. Ketidak adaannya rasa rendah diri, kadang rendah diri itu diperlukan. Apalagi saat kita sedang dalam fase belajar.

Dan itu juga kenapa gua lebih memilih jadi penulis di bandingkan jadi editor. Gua bukan tipe yang mau repot2 ngurusin tulisan orang. Ga kaya si editor gua yang super bikin gua salut ini. Entah, udah seberapa gede gondoknya sekarang. Gua Cuma bisa bilang, jangan menyerah ya kak! Terus berjuang buat ngeladenin aku!!

2 komentar:

Anonim mengatakan...

untung kamu nyadar!! hahaha (Sam)

Marisa Roti mengatakan...

Kang sam jelmaan kuntilanak dan genderuwo: ya iya donk kang. Ap aku blg? Aku kan ank pintar dan penurut! Hehe.. Kang sam aj yg sk ngiseng.