Kamis, 06 November 2014

Pelitnya Cuma Stereotip

Hingga detik ini, gue semakin yakin bahwa stereotip lingkungan yang telah membentuk gue jadi sekarang ini. Sepelit dan seperhitungan ini. Pertama, gue cina. Kata orang cina itu pelit dan perhitungan, intinya gitu biarpun belakangan orang juga suka menambahkan, “Tapi itu yang bikin mereka kaya, sih.”. Emang, gue yakin bakal kaya. Tapi tadinya cita-cita gue adalah jadi orang kaya yang nggak pelit. Lagian apa gunanya lo kaya tapi pelit.


Ngomong-ngomong, gue pelit.

Tingkat kepelitan gue itu (sekali lagi) nggak berlebihan banget. Cuma karena gue suka terang-terangan dibanding orang lain. Maksudnya, gue terang-terangan kalo ngomong, “Ih najis mahal banget.” Atau “Eh, balikin sepuluh rebu gue donk. Yang buat beli nasgor kemaren.” Ketika orang lain lebih pilih diam atau ngomong pelan-pelan. Nah, itu semakin memberatkan gue dengan stereotip yang terbentuk.

Jadi kayak misalnya gue lagi makan, orang bakal malas minta karena gue “terlihat” pelit. Padahal ya... gimana ya... pelitnya gue mungkin sama kayak orang lain yang bahkan bukan cina. Ya oke, lebih pelit sedikit. Ya, maksudnya kalo minta jangan banyak-banyak. Duh... nggak gitu-gitu banget kok.

Selain pelit, ada satu lagi label yang pantas disematkan pada gue. Nggak mau rugi. Ini parah sih. Untuk menjelaskan apa yang dimaksud dengan nggak mau rugi ini, gue akan menceritakan sesuatu.

Ceritanya dosen gue dapet undangan seminar Hari Bangunan Nasional yang diadain sama Indocement. Waktu ketua ima gue masuk ke kelas dan nanyain, “Eh besok ada yang mau ikut seminar nggak?”

Maka pertanyaan pertama yang gue lontarkan adalah, “Bayar nggak?”

“Gratis.”

“Dapet makan nggak?”

“Dapet.”

“Dimana?”

“Hotel Mulia.”

“Oke. Gue ikut. Jangan lupa catet ya kak.”

Ada tiga alasan utama kenapa pada akhirnya gue memutuskan untuk ikut, padahal gue paling males ikut seminar-seminar gituan. Apalagi berhubungan sama teknik sipil (dimana gue enggak ngerti/ tertarik dengan struktur bangunan anti gempa dan sebagainya).

  1. Acaranya di Hotel Mulia (elit)
  2. Kalo ada acara di hotel elit. Pasti tempatnya bagus, lumayan buat check in di path.
  3. Kalo ada acara di hotel elit. Makanannya pasti enak. Lumayan buat... lo pikir aja sendiri.


Acara bagus, bisa check in di path, dan makanan enak. Gratis. Menurut lo kurang syarat apalagi untuk (harus) mengikuti seminar kali ini?

Lalu berangkatlah gue pagi-pagi naik taksi (digantiin sama jurusan). Meskipun agak telat sedikit, jadi bentuk jamuannya itu prasmanan. Tamu-tamu seminar bisa ngambil sendiri makanan yang mereka mau, bahkan ketika datang tamu sudah dijamu sama syomay goreng, kopi, dan teh. Standart lah ya. Karena gue lagi diet (lo doain lah diet gue berhasil kali ini...), gue melupakan syomay goreng menggoda itu dan langsung masuk.

Sampe ketika jam makan siang, dan seminarnya udah selesai. Gue langsung ngambil piring, diisi dengan sedikit nasi (tips aja, kalo lagi di kondangan banyakin dagingnya jangan nasinya. Sepuasnya ini). Sayurnya... luar biasa. Semacam daging sapi dimasak sesuatu yang bisa lo makan sepuasnya, ayam saus lemon, dan ikan goreng telur asin. Semuanya favorit gue. Lalu setelah makan, gue nyamber dessert.

Ini klimaks gue kalap.

Dessertnya adalah potongan Mango Cheese Cake (yang bisa lo ambil sepuasnya. Sepuasnya, saudara-saudara).

Beda sama kondangan dimana ada banyak tante-tante berkonde yang nggak tau malu dan main tabrak sana-sini demi makanan enak. Di sini orangnya jaim-jaim. Yang nggak tau malu gue doank. Jadilah Cheese Cake itu terabaikan gitu aja. Gue nggak tega. Akhirnya gue sama eki nyusun rencana untuk bawa cheese cake itu pulang pake tisu. Eki becanda, gue enggak.

Tapi dia janji mau nemenin gue. Sampe ketika tisu dikeluarkan tiba-tiba dia ada di ujung ruangan yang jauh banget dari gue.

Sebetulnya ini udah saatnya yang baca tulisan ini bilang, “najis banget sih, mar.” Gue maklum. Tapi toh akhirnya anak-anak cowok yang memuluskan rencana gue. Gue enggak tega liat cheese cake sebanyak itu terabaikan. Bahkan setelah gue samber sekitar belasan potong cheese cake masih kesisa empat piring besar dan penuh. Gue udah bilang, andai ini acara kondangan keluarga besar. Pasti udah bersih nggak bersisa.

*setelah baca tulisan di atas, gue jadi jijik sama diri gue sendiri, ya*.

Oke, lalu toh kita pulang dan bisa makan cheese cakenya di taksi sampe eneg. HAHAHAHA.

Betewe, kemarin dosen gue yang diundang itu nyamperin, “Gimana kemarin seminarnya enak?”

“Enak, pak. Saya nyesel Cuma nyomot cheese cakenya dikit doank.”

Ceritanya aksi pencurian cheese cake itu disaksikan oleh dosen gue, dan muka bloon dengan sepiring penuh potongan cheese cake itu difoto candid ama doi. Emang bener-bener ye...

Udah itu aja.

Tapi gue serius deh, tentang pelit, perhitungan dan nggak mau ruginya gue. Gue percaya aja itu akibat stereotip yang diberikan oleh lingkungan pada gue.

Yaudahlah, ya....


Salam Roti!

Tidak ada komentar: