Jumat, 18 April 2014

You Are Allowed to Judge

Ngomongin soal kasus Dinda yang dikecam masa gara-gara dia ngeluh soal ngasih tempat duduk buat ibu-ibu hamil ini dpikir-pikir lucu juga sih. Mengingat gue adalah penumpang setia angkutan umum entah busway ataupun kopaja, gue sering banget ngeliat gak Cuma ibu-ibu hamil tapi juga nenek-nenek kakek-kakek yang naik. Biasanya sebelum gue inisiatif untuk bangun dan ngasih mereka tempat, bakal ada orang yang lebih sigap dari gue untuk bangun.


Barusan ada tweet menarik dari seseorang yang isinya begini:



Maksud gue meskipun ada aja orang yang berinisiatif untuk bangun, mungkin itu hanya 2 persen dari penumpang angkutan umum yang gue sebut-sebut untuk melakukan hal tersebut. Bahkan kadang gue pun ngerasa males untuk ngelakuin itu dan lebih milih nunggu orang lain yang mau berinisiatif lebih dulu dari gue.

Tapi kecaman masa gue anggap wajar, karena toh memang kebiasannya gitu, ketika lo dikasih wadah dan alasan tepat untuk nge-judge orang lain. Lo akan mempergunakan wewenang itu dengan semaksimal mungkin. Karena dengan nge-judge itu berarti lo lebih baik dari orang yang lo judge. Itu semacam salah satu cara untuk ngeboost ego lo bahwa lo lebih baik dari orang lain.

*btw, postingan ini gak akan ada hubungan dengan kasus Dinda*

Fyi...

Gue adalah tukang ngejudge yang bisa lo kategorikan paling self-righteous sedunia. Iya gue selalu merasa benar, munafik, dan sebagainya. Gue bahkan mengakui itu dari gue SMA, setelah gue pikir-pikir lagi. Terlepas dari cara apapun gue berusaha untuk berubah ketika kuliah dengan moto, “Nggak usah belaga bener seolah-olah orang lain salah.”

Mungkin gue gagal, apalagi ketika kalimat dari seorang (sebut aja) teman yang isinya begini, “Jangan sok gak pernah ngejudge orang lu, lu juga suka kan.”

Lalu gue seolah-olah kembali pada masa dulu, ketika gue sempat memutuskan untuk gak ikut-ikutan waktu orang lain ngejudge, jadi biarkan judgement itu untuk gue sendiri. Gue rasa, untuk orang semengesalkan gue, ketika judgement gak gue tumpahkan ke orang lain itu sama aja kayak, lo nyalain AC di tengah hutan. Gak ada gunanya.

Karena ketika judgement gak gue share kemana-mana, itu berarti gue gak unjuk gigi ke orang-orang bahwa “eh gue orang paling bener sedunia loh!”. Gue rasa itu juga yang terjadi pada "orang lain", kenapa judgement itu harus banget dishare. (contohnya kasus si Dinda yang dijudge semua orang dan kasusnya dishare kemana-mana.)

Sebetulnya, kadang gue mikir menentukan (atau menghakimi) seseorang itu baik atau enggak Cuma perkara preferensi. Lo disuruh milih sayur jengkol sama sayur pete. Kalo lo suka sayur jengkol, ya sayur itu kerasa protagonis di lidah lo (if thats even possible), anyway, lo akan merasa sayur pete itu antagonis. Tapi kan intinya, gak semua orang benci sayur jengkol ataupun sayur pete dan sebaliknya.

Bahkan ketika lo ngerasa sesuatu itu baik adanya, mungkin bagi orang lain itu enggak. Menurut gue, gak ada istilah, “dia keliatan baik tapi sebenarnya jahat.”. Itu semacam pernyataan labil tentang elo yang sebetulnya gak bisa menentukan kalo lo suka sayur jengkol ataupun sayur pete. Keliatannya suka sayur jengkol, begitu nyobain ternyata gak suka. Lo gak bisa nyalahin sayur jengkolnya hanya karena lo yang salah nyoba. Anyway, toh ada aja orang yang dengan tulus suka sama sayur jengkol beneran.

Dan kalo lo sadar, semua pernyataan di atas adalah analogi atas judgement gue tentang orang yang suka ngejudge (kalo lo paham maksudnya), dan membuat postingan ini, hanya semakin menunjukan bahwa gue emang suka menghakimi orang lain. Yes, I am and i do. So, i don’t give a shit for anyone who’s judging, just trying to write my opinion about it.


Salam roti!

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Judging (y)