Sebagai anak Jakarta tulen, dimana gue lahir di Jakarta,
tinggal di Jakarta selama hampir 19 tahun, dan menikmati suasana ke-Jakartaan,
sebetulnya ada beberapa perkembangan menarik belakangan ini di hidup gue,
seputar kehidupan kuliah gue juga sih.
Atau ketika gue ditanya di beberapa komunitas tertentu. “Lo
tinggal dimana?”
“Jakarta.”
Dan seperti ada label tertentu bahwa gue adalah anak “kota”.
Yang sejujurnya gue ngerasa lebih primitif daripada kalian-kalian yang mungkin
tinggal di kota lain. Gue gak pernah cinta Jakarta, tapi gue menikmati hidup
gue gitu aja. Gue seperti tidak diberi pilihan untuk lahir dan besar di sini. Dan
gue juga gak tau perbedaan orang Jakarta dan orang-orang di tempat lainnya,
selain rumor (yes, buat gue itu Cuma rumor karena gue gak pernah mengalami)
Jakarta itu terbuka, Jakarta itu rame, Jakarta itu selalu nyala.
Gue anak Jakarta, tapi bukan anak Jakarta yang sesungguhnya.
Jam sepuluh malem keatas, gue pasti udah di rumah, jadi gimana caranya gue tau
bahwa Jakarta selalu nyala selain warung deket rumah gue yang emang 24 jam?
Lantas, setelah gue masuk jurusan kuliah gue yang sekarang,
dimana gue diharuskan untuk melanglang buana dan mengenal “kota kita” lebih
jauh, gue mulai paham tentang Jakarta. Sedikit, tapi minimal gue tau seperti
inilah kota kelahiran gue.
Ditambah lagi, entah kenapa beberapa hari kemarin gara-gara
gue pengen sok-sok ikut gaul gue sempet pergi sama beberapa temen kelas untuk
merayakan kelar sidang pleno Perencanaan Kota (mata kuliah paling krusial
seumur hidup gue, cih.) gue ke daerah Tangerang sampe malem, dimana seumur
hidup gue itu adalah kedua kalinya gue pulang sekitar jam satuan. Eh, keempat
kalinya lah. Iya. Kejadian gue pulang pagi itu bisa lo itung pake jari. Sangat “tidak
Jakarta” kan?
Dan memang (terlepas dari survey lapangan yang gue lakukan)
ada beberapa spot Jakarta yang malah merupakan nyawa malamnya kota gue ini. Dan
Jakarta memang selalu nyala bahkan pada malam hari. Entah itu tenda goyangnya,
daerah komersialnya, atau deretan diskotiknya. Jakarta selalu nyala.
Di waktu sebelumnya demi melihat Jakarta itu juga gue bareng
sama temen-temen gue survey di malem minggu ke Menteng. (padahal menteng itu
bukan lokasi survey tugas gue. HAHAHAHA). Karena Menteng itu daerah yang rame
gue ikut aja kesana. Dikasih kejutan omelan membahana waktu pulang. Yeaaaaa..
yang penting gue dapet pengalamannya, kadang gue mikir, kenapa gue gak
melanggar peraturan-peraturan itu dari dulu. Karena dengan melanggar peraturan,
gue melihat banyak hal. Iya, terlepas dari tanggung jawab dan ke-tahu-dirian gue
sih.
Kayaknya gue memang masih perlu banyak sabar sampe saatnya
gue udah cukup umur melihat dunia dengan cara gue tanpa harus dapet kejutan
mendadak di rumah dan dimarahin. (sumpah deh kesel banget). Tapi serius deh,
saat gue mapan nanti, Jakarta gak akan jadi tempat tinggal gue. Minimal gue
harus melihat kota-kota lain atau negara lainnya.
Kayaknya impian untuk melihat dunia itu impian semua orang.
Sekarang impian melihat dunia itu jadi impian gue juga.
Anyway, ini disebabkan gara-gara gue baca buku The Geography
of Bliss yang baru gue beli beberapa hari lalu. Dimana si penulis mencari tahu
tentang kebahagiaan dari negara-negara yang berbeda, dan gue seperti tersadar,
bahwa ada banyak sekali hal yang berbeda dari hidup gue sekarang, mungkin gak
di sini, mungkin di tempat lain.
Dan baca postingan blog dari orang-orang Indonesia yang
sekarang tinggal di luar, terlepas bahwa mereka akan selalu merindukan
Indonesia, gue tetep pengen ngerasain rasanya tinggal di luar dan ketemu orang
dengan kebudayaan yang beda itu gimana. Atau pola berpikir, cara hidup, dan
sebagainya.
GUE PENGENNN!!
Alternatifnya adalah:
·
Gue harus dapet beasiswa keluar. Mengingat kemungkinan
itu sangat kecil, seumur hidup beasiswa terbesar gue itu jpp buat masuk Untar
trus dapet potongan gegara nilai rapot gue. Tapi gue masih menduga sih,
kira-kira gue bisa ngincer opsi ini atau enggak.
·
Nunggu dapet lotere dan undian, dan semacamnya.
·
Sabar sampe ketika gue udah punya penghasilan
dan mandiri nanti, gue akan memikirkan untuk keluar dari negara ini secara
lebih matang.
Semoga masih ada opsi out of the box yang belum terpikirkan.
Yang mana semoga akan segera terpikirkan.
Ngomong-ngomong, punya temen kuliah yang punya pengalaman di
negara-negara berbeda, punya teman yang punya tante yang ambil S2 di luar, dan
punya dosen ganteng yang gelarnya sepanjang rel kereta (dengan gelar dari
Jerman) itu, bikin gue tertarik, karena orang-orang itu memiliki perbedaan pola
pikir yang signifikan di banding mereka yang belum pernah keluar. Anggep gue
mendiskriminasi, tapi gue serius, bahwa dengan punya pengalaman di negara lain,
bagi gue, lo menambah wawasan dan pengalaman hidup lo.
MAKANYA GUE PENGEN!
Persetan buku yang baru gue beli ini!! Cih!
Ngomong-ngomong, gue jadi mempertanyakan passion gue di
bidang usaha deh. Maksud gue, gue seneng nulis, itu udah pasti. Tapi gue butuh
sesuatu untuk menghasilkan uang, gue pikir skill dagang bakal kepake banget,
dan kemarin, ketika gue nyoba menguji skill gue dengna jual hal lain selain
makanan gue sadar, gue masih perlu banyak belajar! Parah!
Dan gue gak yakin gue bisa kerja sama orang. Serius ini
bukan ego karena gue ngerasa gue ga “pantes” kerja sama orang, atau karena gue
ngerasa dagang itu lebih keren daripada kerja sama orang (dan hal ini relatif. Kalo
lo dagang bakso, vs kerja di perusahaan Jepang sebagai Direktur Utama? Kan udah
beda kelas?). Adalah karena gue manja, dan gue menyebalkan.
Kadang gue ngeliat karyawan-karyawan gue yang harus tahan
dengan ke-nyentrikan cici atau bokap gue. Dan gue selalu bertanya-tanya.. “Gimana
sih rasanya jadi mereka?” punya bos, dan sebagainya?
Anyway, gue lagi liburan. Mungkin Cuma kurang hutan dan
pepohonan dan gue akan jadi manusia gua yang seutuhnya. Gue sedang mencari-cari
bahan untuk menghabiskan liburan yang produktif.
Kayaknya gue salah nanya deh barusan, nanya sama temen yang
aktif di berbagai komunitas, dan projek-projek per-kampusan akan selalu punya
jawaban untuk “Libur mau kemana?” HAH. Jawabannya bakal panjang lebar, bahkan
mungkin dia punya rundown khusus selama liburan kuliahnya. -_______-
Rencana awal: Dagang, nulis, ngurusin badan, ngurusin
pembukuan, cari temen kongkow di kafe (yang mana sangat sedikit sekali teman
yang bisa bikin gue nyaman melakukan ini berjam-jam. Well, GUE yang nyaman. Bukan
dia yang nyaman.).
Masih ada sekitar dua bulan kurang sepluh hari lagi jatah
liburan gue. SANGAT BANYAK WAKTU KAWAN! Yes. Sangat banyak waktu. Untuk kemungkinan
produktif atau jadi gila seutuhnya.
Gue makin ngelantur, mungkin gue harus bikin popcorn dan
lanjut baca buku tadi sekarang.
Oh iya, gue menemukan satu kesimpulan baru dari quotes
pasaran.
“You are what you read.”
Dan gue setuju! Akhir-akhir ini setelah penelitian panjang
dengan sampel gue dan seorang temen gue yang juga hobi nulis dan baca bukunya
Sitta Karina, adalah gue bertanya-tanya, kenapa kita berdua bisa punya cara
nulis yang beda, imajinasi cerita yang beda, pola pikir yang beda, dan
ternyata. Selera kita juga beda! HAHAHAHA. Ketika dia hobi baca buku-buku
misteri yang interogatif dan serba detektif, gue suka buku thriller yang
jijik-jijikan dan gak pake mikir (ya mikir dikit sih). Dia suka cerita-cerita
teenlit yang penuh konspirasi dan logis, dan gue suka cerita-cerita romantis
yang gak pake mikir (gue sukanya unsur takdir, kebetulan, cinta selamanya,
bahagia sampai mati). Dan sejenisnya.
We are really what we read! Bfffff......
Target liburan kali ini: CARI DUIT DAN CARI INSPIRASI!
Salam Roti!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar