Tengah malam, gue masih terbangun, dan suatu hal yang tidak
mungkin, gue di tengah kesepian malam, belom tidur, lalu tidak berpikir. Gue pasti
mikir. Anyway, gue lagi liburan sampe dua bulan kedepan. *hip hip huray*. Dan gue
sudah merencanakan kegiatan apa-apa saja untuk liburan nanti. Jadi, dalam
rangka menghabiskan hari pertama gue liburan, gue nonton satu film (bukan
porno) yang dikasih oleh Marry yang judulnya A Walk to Remember. Kayaknya sih
nih film udah cukup terkenal. Film dimana waktu gue liat awalnya, gue udah
langsung tau gimana endingnya. -____-
Yeaa wellll...
Anyway, ada fenomena yang menarik di dalam film itu. Kisah percintaan
tentang si cowok populer dan cewek yang termasuk dalam kalangan underdog. (yang
mana menurut gue sangat tidak realistis). Tapi nonton film itu gue jadi
keingetan sama temen sma gue. Yang gaul. Yang populer, tajir, dan diinginkan
semua kaum cewek. (kayaknya).
Oh iya, satu lagi pemikiran gue, kenapa ada klasifikasi
semacam itu di dinamika pergaulan SMA? Simpel. Karena kita abege, dan kita
masih labil. Dan karena gue tidak menemukan itu di kampus. Ya well, atau ada.
Tapi
gue melihat hal itu menjadi satu fenomena yang sangat konyol sekarang. Bahwa gue
merasa semua orang punya kekurangan dan kelebihan masing-masing, dan memiliki
kesempatan untuk menonjol dalam hal yang berbeda.
Balik ke cerita tadi, dimana biasanya dikisahkan dalam semua
cerita kalo orang-orang yang populer, yang suka menindas yang lemah, yang suka
mengolok-olok temen sepergaulannya yang dianggap gak gaul, atau sebagainya,
seperti semacam dikutuk untuk (malah) jadi pecundang di kehidupan nyata, dan
dalam masyarakat. Yang seperti udah garis hidupnya semasa muda untuk populer
dan jadi underdog di kalangan masyarakat, dan ditakdirkan untuk tidak bahagia,
kaya, dan sukses seperti teman-temannya yang dulu di bully (dan biasanya jadi
tajir, sukses, cantik, ganteng, menawan). Jadi seperti sampah masyarakat.
Yang suka di-bully pada setuju ya sama gue? AHAHAHAHAHAHAAHHA.
Hem.
Oke. Balik ke topik.
Baru-baru ini gue menemukan alasan, kenapa ada fenomena
semacam itu, kenapa ada pihak yang membully. Ya gue akui sih, ngebully itu
seperti semacam kepuasan bahwa lo lebih punya power di banding temen lo yang
dibully, bahwa lo punya lebih banyak hal yang dibanggakan di banding temen lo
yang dibully.
Atau.. sebetulnya..
Lo gak punya hal untuk dibanggakan. Hingga lo mencari-cari
hal yang dibanggakan itu dengan cara nge-bully. Jujur, kalo ini, miris.
Gue punya pandangan tersendiri sebetulnya untuk kutukan itu.
Karena semasa gue sekolah, gue berteman dengan dua pihak ini. Dan karena gue
sudah mendengar sendiri kutukan-kutukan tak berdasar itu. Bahkan, dari
guru-guru gue. Iya. Guru-guru gue, mengutuk muridnya untuk tidak sukses dan
jadi busuk keluarga di masa depan.
Ada temen gue, cewek, gaul, asik, cukup populer. Trus suatu
hari dia nanya.. “Mar, kenapa kalo di buku-buku yang sukses itu biasa yang pas
di sekolahnya pendiem, trus kuper, trus culun gitu, ya? Yang bener-bener
menonjol gitu sampe terkenal?”
“Emang iya?”
“Iya. Terus jadi entar pas kita gede, gue jadi apa donk?
(konteksnya di sini, bukan dia merasa gaul, tapi dia tau kalo dia memang
bergaul, dan dia anak yang sangat asik). Masa entar yang kaya cuma yang
pendiem-pendiem gitu?”
Dan gue mulai mikir. Karena pada momen itu. Gue berpikir
masih pada pakem dan kutukan yang sama. Iya. pemikiran gue segitu piciknya loh.
Atau suatu hari.. ketika seorang guru ngomong ke temen cowok
gue. Yang emang kerjaanya di sekolah Cuma main, dan ngabis-ngabisin duit orang
tua (ortunya tajir ceritanya). “Memang, di keluarga itu biasanya ada satu anak
yang rusak. Yang nantinya cuma jadi beban keluarga.”
Jreng.
Ya, temen gue keren, tajir, suka maen, kadang ngebully temen
(tanpa sadar) ya terus kenapa?
Apakah itu berarti ketika lo populer, egois dan tidak
dewasa, maka lo tidak memiliki kesempatan untuk berubah? Jadi anggapannya,
karena waktu lo SMA, lo suka bully temen-temen lo, mending lo mati aja deh pas
gede. Gak bakal jadi apa-apa lo.
Masa gitu sih?
Buat gue. Fenomena klasifikasi terjadi karena SMA itu adalah
rentang umur 17-18 tahun. Dan itu seperti masa kita untuk belajar banyak, juga
belajar tentang diri kita sendiri. Jadi gue pribadi, gue gak setuju. Karena gue
selalu bilang sama temen gue.
“Lo mau dibilang gak guna? Nilai jelek terus, berarti lo merealisasikan omongan mereka
donk? Cuma jadi
beban.”
Dan karena semua orang memiliki kesempatan untuk bertumbuh
secara mental.
Toh bukan salah mereka, kalo mereka memiliki bakat natural
untuk jadi keren, bakat natural untuk membangkang peraturan sekolah (yang pada
masa abege itu... semacam.. keren?), atau kalo mereka menyenangkan dan bikin
semua orang pengen jalan sama mereka. Itu bukan kesalahan. Itu.. bakat. Yang bisa
.. sangat bisa dimanfaatkan.
Dan ternyata di akhir-akhir masa SMA, temen gue bener-bener
nunjukin potensinya, meninggalkan kesan buruk sampe gak keliatan, dan
kenyataannya, itulah bukti bahwa dia udah beranjak dewasa. Dia mulai mengerti. Sampe
hari ini, gue masih optimis sepuluh tahun kedepan dia akan masuk di
majalah-majalah bisnis dalam kategori orang-orang sukses yang terkenal. Iya si
temen tukang bully gue itu.
Trus apa itu berarti ketika lo introvert dan pendiem, dan
culun, dan suka dibully mending lo jadi pecundang aja deh sampe gede. Ya gak
gitu juga, balik aja ke paragraf gue di atas. Ketika lo SMA, dan lo berada di
posisi itu, itu berarti lo terlatih untuk mandiri, individualis, dan tangguh. Lo
bertahan bahkan ketika lo labil dan lo mengalami hal itu. Buat gue, kehidupan
bermasyarakat akan jauh lebih mudah dari SMA, lo akan lebih siap dibanding yang
lainnya. (buktinya temen gue yang gaul sampe nanya, dia akan jadi apa kalo
posisi sukses itu udah dipegang sama anak-anak introvert ha ha ha *itu
sebetulnya random*)
Juga karena gue percaya sukses itu milik semua orang, aduh. Jijik
ya tapi gue serius. Ini bukan kalimat ala Mario Teguh. Buat gue gak ada
pakem-pakem aneh semacam itu yang menakdirkan lo untuk gagal atau jadi semacam
sampah masyarakat. Gak menjamin juga si introvert itu ketika dia gak punya
mental untuk jadi orang besar akan sukses, atau gak mungkin juga si populer
ketika dia (ternyata) gak bertambah dewasa, masih dengan keegoisan itu, dan
ketidak sadaran untuk maju trus dia bisa sukses.
Cuma lo sendiri yang bisa menggaransi sukses untuk diri lo.
Jadi balik ke film tadi. Tentang si cewek underdog yang
ternyata sakit leukimia (APA GUE BILANG, KETEBAK, KAN? HAHAHAHAHA) dan telah
berhasil merubah si cowok populer tadi jadi humble, dan toleran, dan cinta dia
apa adanya, dan akhirnya si cowok itu berhasil masuk universitas impiannya,
karena si cewek leukimia tadi berhasil memotivasi dia.
Anyway. Bukan berarti lo butuh pacar leukimia untuk
mendewasakan lo. Gak gitu juga sih. Tapi film yang gue tonton seperti
membuktikan cerita di atas. Bahwa lo bisa meraih apa yang lo mau. Karena kehidupan
gak Cuma seputar keremajaan. Ada masih banyak banget hal-hal besar diluar sana
yang lo (atau gue) belum lihat.
Ngomong-ngomong. Maafkan stereotip gue untuk kata introvert
yang berarti tidak populer ya. Untuk tulisan kali ini, mari kita padankan
introvert itu dengan artian tidak populer. (itu sangat dangkal dan salah). Abis
gue males nyari istilah lain. Abis kan kecenderungannya gitu. (fyi, gue
introvert kok. Ha ha ha ha).
Sekian pembadaian otak untuk malam ini. *siap-siap liburan*
Salam roti!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar