Ini serius. Peringatan ini serius, postingan ini nggak
penting, kecuali lo percaya pada eksistensi zombie di masa mendatang. Jadi
setelah beberapa hari ngestalk video dengan judul, “How to survive a zombie
apocalypse...” gue mendapat beberapa kesimpulan tentang, bagaimana cara lo
menyelamatkan diri ketika sekumpulan zombie menyerang. (Mungkin beberapa dari
elo lagi bersiap-siap untuk komentar, what a freak I am)
Minggu, 30 November 2014
Senin, 24 November 2014
Ujan Kampret
Momen kayak gini, gimana malam ini seharusnya tenggat waktu
gue nganter barang lalu tiba-tiba hujan, adalah momen gue ingat gimana bencinya
gue sama hujan. Oke, ini ga bermaksud nyinggung atau mengoposisi orang-orang
melankolis yang suka mengagung-agungkan hujan ya, tapi gue beneran deh. Dari
gue kecil kesel banget sama hujan.
Karena...
- Bikin kaki lo item-item gara-gara becek.
- Bikin lo nggak bisa keluar atau main (ya meskipun gue jarang main keluar ya, tapi kan kalo mau ke warung atau ke tukang pulsa jadi susah)
- Berisik. Denger lagu jadi mesti digedein volumenya gara-gara suara hujan. Itu yang suka bilang suara hujan ritmis romantis.... najis.
- Nggak bisa nonton tivi. Ya meskipun sekarang gue udah jarang nonton tv, tapi hujan itu fenomena yang bakal bikin hari lo jadi ga asik. Kalo dulu sebelum ada internet dan laptop gue sukanya nonton tv, pasti disuruh matiin sama nyokap gue, katanya takut kesamber geledek. Kan serem juga gue kalo tv kesamber geledek entar rusak gue ganti pake apaan.
- Tukang jualan deket rumah jadi sepi. Iyalah, orang gila mana jualan hujan-hujan.
- Tukang jualan keliling jadi ga keliling lagi. Iyalah... sama kayak poin sebelumnya.
- Bikin motor basah. Dan bikin rusak. Kalo motor lo ditaruh diluar. Ngerepotin kan? Cuma gara-gara hujan motor harus didorong-dorong masuk ke dalam rumah. Emang kampret.
- Balik ke paragraf pertama, planning gue jadi berantakan semua. Atau kalaupun mau tetap kekeuh sama rencana gue, harus ada yang dikorbankan. Misalnya gotong-gotong payung dan membiarkan kaki lo item-item karena air becek.
- Banjir. Gue tinggal di Jakarta. Hujan udah bisa disamain sama banjir. Mungkin kalo gue punya anak, terus anak gue nanya “hujan” itu apa... gue bakal jawab “banjir”. Nggak ada bedanya.
- Payung lo jadi basah... lo pasti mikir ini idiot. Pokoknya apa aja untuk menyalahkan hujan. Payung kan nggak selalu untuk menghadang air hujan.
Jadi postingan kali ini nggak memedulikan kalo hujan penting
anugerah tuhanlah apa lah bla bla bla bla bla. Kalo lo baca ini dan memikirkan
hal itu, buang pendapat itu jauh-jauh dari pikiran lo, atau mending nggak usah
baca.
Semoga nanti ditemuin teknologi dimana hujan bisa
dialokasiin di satu tempat spesifik aja. Yang ada sumur gedenya di setiap kota
atau kecamatan. Udah deh tuh hujan ampe puas di situ. Ampe generasi ganti
generasi. Nggak ganggu hidup manusia yang mau beraktivitas.
Kesimpulan: Kalo hujan itu manusia rasanya pengen gue
teriakin, “Gue sumpahin ketabrak mobil, lu!”
P.s. Dan gue mungkin hanya bisa mengatakan itu pada orang yang gue benci beneran. Iya itu, hujan kalo dianggap manusia.
Minggu, 23 November 2014
Extrovert (Implicitly Introvert)
Tadi baru ngestalk twitter salah satu penulis idola gue, she’s
an introvert. Setelah gue pikir-pikir lagi, selama gue menjalani masa SMA,
bahkan sampai kuliah ini. Gue selalu merasa lebih nyaman dan aman ketika
berbicara dengan seorang introvert. Contohnya Fan-Fan, gue selalu ngerasa lebih
nyaman dan aman ketika ngobrol sama dia.
Beda ketika gue becanda dan riuh-riuh sama teman-teman
ekstrovert gue. Seru, tapi nggak aman. Ini bukan menstereoptipkan tipe-tipe
orang berdasarkan kategori gue (misalnya introvert lebih bisa dipercaya,
daripada mereka yang ekstrovert), bukan. Itu Cuma perasaan yang gue dapet gitu
aja.
Plus, biasanya mereka yang lebih banyak mendengar , pemikirannya
biasa lebih relevan dan logis. Gue suka ngedengerin persepsi mereka yang
anomali daripada persepsi orang kebanyakan. Karena mereka lebih banyak melihat
dan mendengar dibanding berbicara ataupun mengalami langsung. Ngerti maksud gue
kan, ya?
Intinya gue ngerasa jadi semakin pintar kalo ngobrol sama
mereka-mereka yang introvert. I mean, gue bisa mengerti dari persepsi yang
berbeda. I’m a good listener ketika dibutuhkan, bahkan biasanya teman-teman
introvert gue senang curhat ke gue. Itu semacam satu keuntungan sih, hahahaha.
Karena selalu ada hal baru yang bisa lo ambil dari orang lain.
Kalo berdasarkan tes Jung and Briggs yang mana nggak akan
gue kasih liat di sini, lucu karena tes gue mengalami perubahan sejak semester
4 kemarin gue ngerjain tes ini, dan sekarang. Dulu gue sempat dapet ENTP dan
ENTJ pokoknya muter-muter gimanapun selalu dapat dua itu, dan baru-baru ini
dapat INFP, dengan tingkat Introversi 11%.
Gue sebetulnya sadar, semakin ke sini gue semakin menikmati
waktu sendiri, tapi manusia selalu berubah. Despite nggak ada satu orangpun
yang setuju kalo gue introvert, gue selalu merasa, jauh di dalam sana, gue
beneran introvert yang lebih suka dunia gue sendiri dibandingkan dunia luar.
Jadi... yaudah sih. Gitu aja.
Pengen banget ngobrol sama si anu2an yang gue ngefans
itu.....................................
Salam Roti!
Label:
agak agak ga jelas,
baru,
bimbang,
friendship,
kampus,
nostalgia,
planologi,
Remaja
Jumat, 14 November 2014
Teman Imajinasi
Seharusnya gue enggak baca website semacam ini malam-malam.
Enggak bukan bokep, kalo bokep mungkin gue nggak akan mengungkapkan penyesalan
seperti di kalimat sebelumnya. Maksud gue yaudah sih, nonton bokep asik-asik
aja. Masalahnya ini bukan bokep, dan gue sendirian ketika buka website ini.
Label:
agak agak ga jelas,
Mistis,
nostalgia,
Remaja
Rabu, 12 November 2014
Prioritas
*Satu lagi postingan kebanyakan mikir nggak ada aksi*
Ada beberapa hal yang menjadi concern gue akhir-akhir ini.
Satu aspek yang penting (tapi nggak sepenting “harus diprioritaskan”) biasanya
masalah-masalah kayak gitu yang menyangkut hati. Tapi balik lagi ke masalah
prioritas tadi. Kedua adalah hal-hal yang penting dan layak masuk prioritas,
tapi nggak benar-benar menjadi sesuatu yang menggelisahkan gue.
Kamis, 06 November 2014
Pelitnya Cuma Stereotip
Hingga detik ini, gue semakin yakin bahwa stereotip
lingkungan yang telah membentuk gue jadi sekarang ini. Sepelit dan
seperhitungan ini. Pertama, gue cina. Kata orang cina itu pelit dan
perhitungan, intinya gitu biarpun belakangan orang juga suka menambahkan, “Tapi
itu yang bikin mereka kaya, sih.”. Emang, gue yakin bakal kaya. Tapi tadinya
cita-cita gue adalah jadi orang kaya yang nggak pelit. Lagian apa gunanya lo
kaya tapi pelit.
Langganan:
Postingan (Atom)