Oke, resmi hingga tiga jam yang lalu sudah lengkap ada 3
orang yang bilang gimana egoisnya gue. Satu, temen ngobrol gue yang masih setia
setiap kali gue butuh (meskipun gue sering nyebelin ke dia), emang yang ini
orangnya suka nggak enakan. Kalau gue bilang “kritik gue donk,” dia
cenderungnya nggak ngomong langsung, tapi kalau di tengah-tengah percakapan
suka ngritik secara implisit. Kadang bikin ngakak juga sih.
Jadi ceritanya kita lagi ngobrol, dia curhat soal pacarnya
yang punya temen dominan, suka menguasai dan jadi pemeran utama dsb. Dia cerita
gimana nyebelin dan egoisnya orang itu, bla bla bla. Dengernya gue bawaannya
pengen komentar, “Sakit jiwa ya itu orang.”
Terus sampai di satu saat, dia tiba-tiba nyeletuk, “Iya,
Rot. Dia egois banget. Bahkan lebih parah dari elo deh.”
Err.
Gue diem bentar, sebelum suara cewek gue keluar dengan
melengking, “Emang gue egois?” (seharusnya ada tanda seru di sana. Jadi kayak
gini, “Emang gue egois?!”). Karena kayaknya keceplosan, dia jadi jawab-jawab
nggak enak gitu, “Engh, ya gimana ya. Nggak egois-egois banget sih.”
Kejadian kedua adalah, kritik dari mantan temen sekelompok gue
dulu. Jadi setelah mengerjakan tugas besar dulu, gue pernah bilang, “Eh kalian
kalau ada kritik, kritik gue aja ya.” (dengan nggak tau dirinya gue nanya kayak
gitu, padahal harusnya gue tanya, “Kalo ada yang bagus dari gue, puji aja ya.”
Mengingat itu adalah pertanyaan yang lebih sulit pasti untuk mereka HAHA
*ketawa miris*) Temen gue pada saat itu Cuma natap kesel dan bilang, “Enggak
ah, entar lo marah lagi.”
Iya, berarti ada yang salah sama gue. Dan semester ini,
ketika gue udah nggak sekelompok lagi sama dia, gue iseng-iseng nanya lagi. “Gue
semester lalu nyebelin, ya?”
“Banget. Nyebelin. Terus udah telat suka nggak ngerasa
bersalah lagi.”
“Itu doank?”
“Elu egois juga.”
Hadeh. Rasanya pengen kucek-kucek muka dengernya. Sedikit
banyak gue menyadari betapa egoisnya gue sih, mentingin urusan sendiri. Padahal
temen kelompok gue semester lalu itu super baik dan asik. Sayangnya, tipe orang
kayak gue kan suka nggak mengakui kejelekan diri sendiri.
Sampai ketika beberapa hari ini gue lagi suka banget nonton
TV Series. Judulnya gue nggak usah sebut ya, pokoknya ada karakter yang namanya
Bette dan Tina. Hahahaha. Anyway, jadi si Bette ini tokoh yang ngeselin banget.
Ambisius, egois, so full of herself, dan ignoran. Enggak peka ataupun perhatian
sama keadaan sekitar.
Dia di tv series ini menjalani hubungan monogami sama
partnernya, sampe ketika dia selingkuh. Dengan nggak tau dirinya masih berusaha
nuntut ini itu padahal udah salah. Gue nontonnya rasanya pengen nyakar-nyakar
layar laptop deh. Akhirnya gue nyeritain ini ke...
Ya itu lah pokoknya.
“Aku sebel banget loh sama si Bette ini. Udah egois,
gengsian, masa udah salah masih nuntut-nuntut kayak gitu sih?”
“Ya itu kamu.”
“Masa disamain sama dia? Orang ngeselin kayak gini. Kayaknya
aku nggak parah-parah banget deh.” Lalu gue kembali menceritakan alasan-alasan
yang bikin gue kesal sama karakter si Bette ini, kemudian si lawan bicara Cuma ngeluarin
satu kalimat ngeselin ini.
“Kamu udah list kejelekan dia apa aja, kan?”
“Udah di otak.”
“Direnungin.”
“Udah juga.”
“Udah direnungin? Udah direfleksiin ke diri kamu sendiri?”
“Ya udah sih...”
Iya okay, so I admit. Gue punya setan mengesalkan yang
namanya sifat “egois” itu.
Dan lo yang baca jangan nge-judge dulu.
- Gue anak bungsu.
- Kebiasa terpenuhi
- Punya cici dan koko yang ikhlas kalau barangnya dipinjem sementara gue bersikap sebaliknya
- Terbiasa cuek karena sering dimarahi sana-sini. Jadi seolah sudah terbiasa menutup telinga dan mata untuk keadaan orang lain.
- Errr. Kadang gue suka ngerasa masalah gue lebih penting dan lebih urgent dibanding masalah orang lain?
Sebetulnya, seumur hidup gue (sampai detik ini), sempat ada
beberapa momen gue menyadari “betapa egoisnya gue”, sebelum gue mulai
mengungkapkan kalimat , “...ah tapi nggak juga.” Momen itu muncul ketika ada
yang nangis karena egois dan ignorannya gue (it happened twice, btw. Dan rasanya
gue males banget ceritain di sini. Intinya gue mengecewakan lah). Tapi
sejujurnya, gue nggak pernah benar-benar menyesal. Ini sisi sialannya. Karena
gue tidak bisa menghilangkan sisi egois gue hanya karena ada orang yang
terluka.
Balik ke kalimat sebelumnya, karena gue nggak pernah
benar-benar merasa menyesal. Ini kalau dipikir-pikir jadi menyebalkan deh.
Tunggu, sebetulnya gue menyesali beberapa hal yang sudah
pernah terjadi di waktu lalu hanya karena gue terlalu sialan untuk mau belajar
bagaimana jadi manusia yang baik dan menghargai manusia lainnya. Egois ini jadi
masalah yang besar ketika gue kehilangan sesuatu yang berharga karena sifat
jelek ini (kalau masalahnya besar seperti “kehilangan seseorang” biasanya gue
baru nyesal). Errr, seperti dua tahun lalu misalnya. (males juga ceritain yang
ini).
Beberapa jam lalu, setelah merenung panjang tentang gue dan
betapa egoisnya gue. Juga tentang karakter si Bette yang nyebelin itu (di
season 2), gue memutuskan. Ada perbedaan signifikan antara gue dan dia. Gue
umur 20 tahun, sementara dia sudah pada tahap matang, sukses, dan settle dalam
hidupnya.
Dimana letak perbedaannnya? Gue masih punya sekitar sepuluh
sampai lima belas tahun untuk memperbaiki sifat jelek ini hingga gue sampai
pada tahap seperti dia.
Kalau karakter fiksi aja bisa belajar dan pelan-pelan
memperbaiki sifat-sifat jeleknya sendiri kenapa gue enggak.
Btw, gue sudah jauh mendingan dibanding tahun-tahun dulu,
kok. Kejadian yang gue alami selama kuliah at least mengajarkan gue banyak
sekali hal, termasuk dalam urusan egois-egois ini. Jadi, terima kasih untuk
tiga orang di atas yang sudah menyuarakan hal ini (implisit ataupun eksplisit).
Kadang gue butuh.
P.s. I am trying to be a better person for you since a few
years ago. (yaelah, namanya juga self-development.)
Salam Roti!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar