Minggu, 06 Oktober 2013

Review Buku: Katarsis by Anastasia Aemilia

Katarsis, atau dalam Bahasa Inggris Catharsis berasala dari bahasa Yunani. Diperkenalkan oleh para filsuf yang merujuk pada arti “pembersiihan” atau “penyucian” diri. Katarsis merupakan sebuah metode para filsuf untuk mengobati orang-orang yang pernah mengalami trauma mendalam. Sehingga, perlu diberikan energi baru melalui Katarsis ini.

Gue baru saja menyelesaikan buku berjudul Katarsis karangan dari Anastasia Aemilia, dan langsung kebawa nafsu buat buru-buru review di blog. Pasalnya buku ini cukup berkesan buat gue, gara-gara ada tanda tangan penulisnya di halaman depan. HAHAHA.  *jayus lu, mar*


Anyway, buku dengan cover gambar animasi anak kecil yang lagi pegang boneka, dengan kepala yang putus, dan tergeletak di samping si anak itu udah cukup bikin gue tertarik kalo ngeliat buku ini di deretan rak buku Gramedia. Seolah buku ini pasti... pasti .. genreenya thriller. Kemudian gue memasuki prolog buku dan gue semakin tertarik.

Buku ini dibuka dengan adegan seorang anak bernama Tara Johandi yang terkurung di dalam kotak perkakas, hampir mati kehabisan udara, tapi berhasil di selamatkan, dan disebut-sebut sebagai “Gadis yang Selamat”. buku ini menyajikan prolog yang menggebrak (seperti seharusnya sebuah prolog. Harus menggebrak), dengan adegan tersebut dan bikin gue penasaran, sekaligus menciptakan berbagai macam pertanyaan di otak gue.

Kenapa anak ini ada di dalam kotak?

Siapa pelakunya?

Apa salah dia?

Gimana kejadiannya?

Kemudian itu semua perlahan-lahan mulai dikupas pada bab-bab selanjutnya buku ini. Gue suka gaya nulisnya. Penggunaan bahasa, deskripsi yang disampaikan oleh si penulis memang beneran ngasih kesan misterius, dan bikin gue terus pengen baca. Sampai di titik tertentu sebetulnya (akan gue bahas nanti, kenapa begitu).

Penggunaan benda-benda tertentu yang menjadi benda penting dalam cerita ini (seperti kotak perkakas contohnya) juga menurut gue sangat tepat dan bikin gue gak bisa ngeliat kotak perkakas dengan cara yang sama lagi. -____-

Gue suka tokoh Tara. Mungkin seperti rasa sayang si penulis sendiri terhadap tokoh Tara, seiring perjalanan buku ini, gue juga sedikit banyak mulai jatuh cinta sama tokoh Tara. Seolah-olah gue mengharapkan tokoh seperti Tara untuk beneran ada di kehidupan nyata dan jadi temen gue. Beneran, gue beneran pengen punya temen kayak gitu.

Gue juga suka tokoh Alfons sebagai psikiater yang membuat Tara kembali pulih dari keterpurukannya, meskipun masih ada rahasia-rahasia mengerikan yang disimpan gadis itu. Gue suka hubungan mereka berdua (yang awalnya gue pikir bakal picisan menjijikan), waktu Tara pada akhirnya tinggal bareng Alfons (karena dia gak punya tempat lain untuk pulang) enggak bro, hubungan mereka tetap pada batas psikiater yang terus menjaga dan berusaha menyembuhkan pasiennya. Ada kesan romantis yang gak digambarkan secara gamblang oleh si penulis, dan gue suka.

Riset si penulis tentang penyakit-penyakit psikologis yang diderita oleh karakter di dalamnya juga menurut gue oke, bahkan ketika di aplikasikan kedalam cerita, gak perlu banyak-banyak masukin istilah medis kedalemnya (seolah-olah ini kamus kedokteran), tapi gue jadi punya gambaran tentang penyakit-penyakit tertentu yang diderita. Meskipun sayang banget, si penulis gak menjelaskan apa makna dari Katarsis ke dalam buku, padahal menurut gue, judul semacam itu seharusnya dibuka makna dan hubungannya terhadap cerita (yang kemudian gue baru tau maknanya setelah nanya temen gue yang anak psikologi).

Buku ini secara perlahan membuka rahasia-rahasia Tara (sampai pada titik tertentu, sekali lagi), dan itu bikin gue terus balik halamannya, karena pertanyaan-pertanyaan yang belum bisa terjawab oleh gue sampai di bab 20.

Oh iya, dan buku ini punya konsep yang beda dari kebanyakan buku yang gue baca. Ada 66 bab dalam buku yang Cuma 264 halaman. Setiap bab punya tema menarik tersendiri untuk bercerita.

Tapi dari sudut pandang gue sebagai pembaca. Sayangnya...

Sayangnya, sampai di bab 20, kelanjutannya gue mulai berasa nonton sinetron. Enggak, gak ada sound effect lebay, kecelakaan, hamil palsu, atau operasi plastik, enggak, bukan itu. Menurut gue rahasia itu di buka terlalu cepat, total turn off banget, dari yang gue masih penasaran dan punya banyak pertanyaan, dihancurkan dalam sekejap dengan sudut pandang dari si penjahat yang sebenarnya.

Entah kenapa gue langsung bisa nebak kelanjutannya bakal seperti apa, gue bisa nebak endingnya seperti apa. Tetap, penggunaan bahasa si penulis masih menciptakan kesan misterius, sayang ceritanya yang kurang misterius. Pelaku sebenarnya dibuka terlalu cepat.

Itu kenapa gue bilang, berasa nonton sinetron. Karena orang nonton sinetron biasanya udah tau kebenaran-kebenarannya, gak ada yang mengejutkan, yang ada Cuma gemes aja kan kalo si antagonis gak ketauan akal bulusnya, atau kehamilan palsu itu gimana ceritanya bisa bertahan lama dan gak ketangkep-tangkep.

Hal yang pada akhirnya bikin gue lanjut baca adalah, gue masih pengen menguji asumsi gue apakah cerita ini beneran ketebak atau enggak. Mungkin, mungkin ternyata si Alfons penjahat sesungguhnya? Dan enggak sih. Ternyata sesuai sama asumsi-asumsi gue di pertengahan buku. Atau mungkin sebenarnya, itu tujuan dari penulis, supaya pembaca diajak ikut melihat kejadian dari sudut pandang yang beneran serba tahu.

Kedua, karakter Tara yang ngeri itu sedikit goyah di pertengahan bab karena pengaruh Alfons. Gue suka sekaligus enggak sama hal ini, karena Tara yang seharusnya sadis itu jadi lebih manusiawi di pertengahan bab, dan bikin gue mulai suka sama dia. Tapi itu rasanya kayak signal operator gue yang lancar di awal, ngadat berjam-jam, terus belakangan lancar lagi. Jadi males internetan.

Ketiga, ada beberapa hal yang gue rasa masih belom beres di akhir buku. Kalo lo suka ngerjain formula di excel yang pake tanda sama dengan, terus tanda buka kurung, abis itu lo masukin perkalian, penambahan, dan itungan lainnya yang lo mau, dan harus ditutup lagi pake tanda kurung, nah kayaknya tanda kurung yang paling terakhir itu belum di tutup sepenuhnya. Formulanya belum sempurna.

Gue gak tau, ini gue yang bego gak nangkep, atau emang beneran ada tokoh di awal cerita yang merupakan tersangka awal kasus pembunuhan. Bahkan namanya masuk dalam berita, dimana tersangka itu merupakan pasangan kekasih yang diduga melakukan perampokan. Dan ternyata tokoh itu gak guna-guna banget.

Secara keseluruhan, gue belajar banyak banget dari buku ini, mulai dari pendeskripsiannya yang ish.... gue gak tau caranya gimana bisa kayak gitu. Rapih, dan berkesan di gue. Karena tadinya, dengan super idiotnya gue mendeklarasikan kalo penulis indonesia gak ada yang bikin thriller bagus. (ternyata.. itu wawasan gue tentang buku aja yang kurang. Malunya....), lalu kemudian gue ketemu buku si Vasca Vannisa (ada di postingan ini) terus gue ketemu buku Katarsis karangan Kak Anastasia yang oke ini. Gue gak jadi pesimis soal Thriller Indonesia.

Dan kalo elo mau beli, dari persepsi gue, lo gak rugi untuk beli buku ini. Karena buku ini menarik di gue. Misalkanpun gue gak dapet nih buku gratis, gue bakal tetep beli bukunya. Beneran bisa jadi referensi bagus buat elo yang demen nulis thriller. Terutama karena penulisnya adalah orang Indonesia dimana kebanyakan penggemar thriller kan bacanya buku-buku karangan penulis luar.

Sekian aja review dari gue, makasih buat penulisnya yang sudah mengajarkan gue banyak lewat buku ini dan lewat wejangan-wejangan saktinya. Kayaknya gue beneran masih butuh belajar banyak untuk bisa nulis thriller. (bisanya Cuma ngritik sih lo, mar..) duh.


Salam roti!

Tidak ada komentar: