"I never choose to be born in this country, I never choose to be different from you, guys."
Hari ini gue nonton “Pengepungan di Bukit Duri” karya Joko Anwar.
FYI gue nonton di CGV Depok dan lagi ada promo free refill popcorn dan minuman size large.
Gue ulang ya.
FREE REFILL POPCORN DAN MINUMAN SIZE LARGE.
Jadi lu bayar 99k tapi kayak dapet 2 popcorn bucket size large + 3 minuman size large (karena yang bisa refill hanya 1nya aja).
Jadi tadi di bioskop gue balapan makan popcorn dan ngabisin minuman supaya bisa buru-buru refill. Refill hanya bisa sekali ya guys.
Topik gue hari ini bukan tentang betapa happy-nya gue karena CGV tiba-tiba ada refill popcorn dan minuman, gue ngerasa ini info penting yang semua orang harus tau. In case di CGV dekat lu juga lagi ada promo yang sama (atau Depok aja, ya? Entahlah).
Anyway, gue nggak suka. Makin ke sini gue makin nggak suka filmnya Joko Anwar. At this point, gue nggak bisa bilang film ini menghibur. Sementara gue nyari film yang bisa menghibur bukan untuk gue analisis.
Lalu entah kenapa, sepanjang durasi, film ini ngasih gue perasaan nggak nyaman. Dan di titik tertentu gue mulai ngerasa overwhelmed. Apakah karena plot ceritanya yang absurd, atau karena premis utama dari cerita ini adalah bagaimana di dunia distopia yang diciptakan Joko Anwar ada persekusi tragis yang dilakukan oleh warga pribumi ke warga keturunan tionghoa. “Kerusuhan”.
Yeah, we all know the “98” history. Traumatize lots of people, especially my kind. And it’s sad. Certain kind of sadness that I never understand.
Film ini kelihatannya mau mengangkat kembali tema tersebut.
Adegan pertama adalah adegan yang paling bikin gue nggak nyaman, waktu film ini nunjukin dua bersaudara, cewek dan cowok (Cicinya dan Edwin). Mereka lagi sekolah, tiba-tiba disuruh pulang. Di perjalanan, tiba-tiba Cici (sebutan kakak perempuan) ditarik sama sekumpulan orang dan dibawa ke gang kumuh dan diperkosa, sementara Edwin adeknya dipukul sampe pingsan. Edwin bangun dalam keadaan bingung sementara cicinya nggak ada di tempat dia terakhir pingsan.
Cici Edwin hamil anak pemerkosa itu. Kemudian tragedi ini yang jadi asal mula premis cerita “Pengepungan di Bukit Duri”,
Certain kind of sadness that I never understand -> karena di tahun 98 gue masih kecil banget, nggak ngerti apa-apa. Gue cumn tau orangtua gue panik, pegang senapan terus wara wiri keliling rumah. Gue nggak boleh ngomong, nggak boleh nangis, nggak boleh ngeluarin suara. Semua jendela rumah ditutup koran, lampu mati. Dan kita nggak tau apa yang terjadi di luar sama sekali.
Then somehow, things just got back to normal. Cuman itu yang gue inget dari kejadian tahun 98.
Lalu seiring berjalannya waktu, gue mulai denger cerita-cerita gimana tragisnya tahun 98. Gue aware oh di momen itu, keturunan tionghoa kayak gue dijarah, rumahnya dibakar, perempuan diperkosa di jalan dan mayatnya ditinggal gitu aja. But still, gue nggak ngerti gimana tragis dan sedihnya itu.
Gue ke glodok sama emak gue, ada orang gila keliling, emak gue bilang, “Itu gara-gara kerusuhan. Kasian ya.”
Oh.. ok.
Gue ke wihara di luar kota, ada orang gila yang dikasih tinggal dan makan di wihara. Waktu ngobrol-ngobrol sama biksu, ternyata juga korban kerusuhan, kehilangan semua harta benda dan keluarga, sampai bapak itu harus hidup kayak gitu sampe sekarang.
Still.. Oh ok. Banyak orang gila karena kerusuhan.
Gue nggak ngerti seberapa menyedihkan tragedi itu buat banyak orang. Orang-orang yang cuman pengen berusaha untuk hidup, kasih keluarganya makan enak, berdagang. Tiba-tiba harus ketimpa musibah kayak gitu. Keluarganya dibakar hidup-hidup, anaknya diperkosa, semua usahanya hilang sekejap mata.
Film ini ngasih gue semua visualisasi itu. Mulai dari cicinya Edwin diperkosa di depan matanya sendiri, tapi dia nggak bisa ngapa-ngapain untuk nyelametin, dan waktu Edwin pulang ke rumah, orangtua dan rumahnya udah habis dibakar.
Gimana orang bisa hidup dengan kenyataan kayak gitu? Gimana mungkin Edwin bisa kuat dan nggak gila, lalu jalanin lagi hidupnya seperti biasa.
Gimana mungkin Edwin nggak benci sama orang-orang yang udah ngelakuin itu semua dan hancurin hidupnya, cuman karena mata dia sipit?
Tbh, film ini bikin gue overwhelmed dan ngerasa sedih. Dan sekarang gue nangis sambil nulis ini, meski gue bukan orang yang ngalamin langsung kejadian itu.
In fact, segitu ignorant-nya gue tentang betapa tragisnya kejadian kerusuhan di tahun 98, gue jadiin itu materi stand-up comedy. Gue jadiin stereotype toko-toko cina sering ditulis “Milik warga pribumi jangan dijarah” untuk jadi bit stand-up comedy gue. It was good, people laughed, I got a proper applause.
Tanpa gue bener-bener ngerti apa artinya. Seberapa takutnya orang-orang keturunan tionghoa di masa itu, sampe mereka ngelakuin hal-hal kayak gitu.
Dulu kalo gue denger orang ngomong, “Orang cina mah sombong-sombong, mana mau pacaran sama bukan cina. Pada kaya-kaya sih.”
Respon gue, “Oh iya ya, emang keturunan tionghoa pada sombong-sombong ya. Aneh.”
Sekarang gue mulai sadar, orangtua kita yang ngeliat teror di masa itu, gimana mungkin mereka nggak punya trauma tersendiri sama negara ini? Gimana mungkin mereka tenang kalau anaknya pergi sama orang-orang yang karakteristik fisiknya beda dari mereka, meski bukan orang yang sama, tapi traumanya akan terus ada.
Gimana mereka ngeliat temen-temen deketnya akhirnya jadi gila dan bunuh diri gara-gara kejadian ini dan semua hal-hal jahat yang dilakukan oleh orang-orang yang “beda” dari mereka.
Gimana? Gimana mereka bisa hilangin trauma itu?
Errr… ok, gue mulai agak drama ya guys.
But this is really sad for me. Gue ngebayangin gimana kalo pada hari itu, gue bener-bener punya konteks dan ngerti yang terjadi. Gue ngelihat banyak mayat tergeletak di jalan. Orang-orang yang matanya sipit kayak gue. Orang-orang yang mukanya mirip bapak emak gue, cece koko gue. Apakah gue masih jadi orang yang sama kayak sekarang?
Gue inget almarhum bokap gue cerita sama temennya di mobil suatu malam, “Kemarin itu kan udah mau hampir masuk tuh rombongan orang yang ngejarah-jarah. Semua anak-anak gua langsung gua suruh naik ke loteng aja. Mending kita mati dibakar hidup-hidup daripada gua harus liat anak gua diperkosa begitu.”
Tau nggak sih apa yang bikin komplek rumah gue aman dari penjarah di hari itu? Karena semua karyawan bapak gue, semua ambil senjata yang bisa mereka pegang, dan jaga di portal, bareng sama bapak-bapak komplek lainnya.
Ada dua point of view di hari itu, warga lokal yang ngejarah kita, dan warga lokal yang berusaha semampu mereka untuk bantu dan jagain kita.
Bapak gue juga pesen ke semua karyawannya dulu, “Gua cuman kasih tau, jangan ada yang ambil barang jarahan ya. Kalau sampai lu ambil, hati-hati sama karmanya. Itu barang-barang yang didapat dari penderitaan orang lain. Karmanya ngeri luh, itu.”
Setelah mulai paham konteks, dan ngebayangin apa yang kejadian di hari itu. Apakah bikin gue benci sama orang Indonesia? Not really. Gue hidup dan besar sama mereka. Gue diurus sama Mbak gue dari kecil. She’s practically my mother.
Lagi-lagi di hari itu, mereka juga yang ngelindungin dan jagain kita. Keluarga gue bisa ada sampe sekarang. Gue, bisa ada sampe sekarang.
Gue cuman berharap, kejadian ini nggak akan pernah ada lagi. Diskriminasi, rasisme, persekusi. Cuman berakhir jadi penderitaan untuk banyak orang.
I never choose to be born in this country, I never choose to be different from you, guys.
Cuman beda sipit sama belo kenapa sih.
Fyi, gue merasa jangkauan pandangan mata gue sama yang belo agak lebih sempit. Agak logis ya guys, karena bola mata gue yang kebuka kan cuman sedikit, sisanya ketutup semua.
Apalagi kalo gue ketawa, jujur view gue minimal banget.
This is a handicapped, not a privilege.
Okelah, sekian aja.
Gue mau contemplating tentang negara dan seisinya dulu.
Bye!
*Nggak pake “Salam Roti” karena gue merasa agak alay, ya? Tapi catchy nggak sih?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar