Kamis, 12 September 2024

MBTI

Udah lama nggak nulis soal interest terbaru gue di sini. Selain stand-up comedy ya ges ya, I’m obsessed with another thing currently. Beberapa kali gue kasih hint di sini ; MBTI.

Untuk menjaga ekspektasi teman-teman semua akan kemana arah postingan kali ini. Gue mau bahas MBTI secara umum dan ngereview masing-masing tipe MBTI berdasarkan orang-orang yang pernah gue kenal dan stereotip mereka secara umum. From my POV as an ENTP.

Jadi baru-baru ini gue baca satu buku yang khusus ngebahas soal MBTI, apa perbedaan dari masing-masing huruf dan itu represent apa sebenernya. Untuk teman-teman yang memang beneran tertarik soal MBTI, you guys should start with this book. Karena pembahasannya cukup menyeluruh dan basic ; “Type Talk : The 16 Personality Types That Determine How We Live, Love, and Work” - Kroeger Otto, Thuesen Janet M.

Jadi kalo elu yang hurufnya masih suka ketuker-tuker, atau bahkan suka nyiptain huruf baru (entah dapet ingetan darimana), boleh coba baca buku ini. Meski unlikely, karena kalo huruf aja lu ketuker-tuker kemungkinan lo nggak tertarik soal MBTI, at certain degree you actually think that this is bullshit. Right? And you might be one of the Sensors bunch. 😉

Kayaknya, untuk memulai postingan ini gue akan mulai cerita soal kelebihan dari “ngerti tentang MBTI” (DAN INI AKAN JADI POSTINGAN PANJANG YA. Karena ini interest gue sejak tahun 2012). Karena gue berusaha paham soal MBTI ada beberapa manfaat yang gue rasain :

Gue semakin memahami dan menerima perbedaan.

Buku yang gue bahas di atas, bahkan membuka dengan kalimat ini : “This is a book about name-calling. In one way or another we do it all the time.”

Name-calling. Like that time you saw someone that’s really good with tools and mechanic stuff and you think “Wah jago banget lu nukang.” Or when you saw someone that seems airheaded, slow to grasp any new information and you call them, “Dia rada tulalit ya kayaknya.”

Name-calling can come in a positive or negative terms. The point is, we saw something distinctive about someone, we have the urge to label them with something. Now, this is where the MBTI comes in. instead of name-calling them with (especially) negative terms, we’ll start to see someone in a more comprehensive manner.

Gue nggak pernah ngerti kenapa koko gue harus spesifik banget jadi orang. Kalo dia bilang janjian jam 12 siang, berarti 12.00 harus sampe di Lokasi. Memang apa salahnya kalo datang 12.05? Kalo misalnya dia nyuruh gue sesuatu, terus gue nggak lakuin spesifik kayak yang diminta, bakal marah-marah. In the end, gue label ini orang dengan “Dasar orang nyebelin.” Udah. Nyebelin. Pokoknya ini orang emang nyebelin, mulutnya nyebelin, precise-nya nyebelin, bener-bener nggak bisa gue ngerti.

He is an ISTJ.

System, regulation, order, are part of his identity. Jadi waktu dia ngeliat sesuatu yang out of place, atau out of order, koko gue bakal frustasi banget. Dari point of view dia, dia juga nggak ngerti kenapa gue bersikap kayak gini. Nggak make sense.

Gue makin ngerti soal diri gue sendiri

Beberapa komentar yang selalu keluar dari keluarga dan teman-teman gue dan mulai terasa make sense sekarang..

“Lu kok nggak suka belanja baju, sih?”

“Lu pake make-up lah. Temen-temen lu pada belajar make-up, masa elu enggak?”

Kenapa gue males belanja baju?

Karena nggak muat.

Enggak denk, karena buat apa sih belanja baju sering-sering? Kan gue udah punya baju yaudeh. Daripada gue buang waktu ngelilingin toko di mall buat belanja baju, mendingan gue bengong mengkhayal (pada akhirnya terkait baju dan make-up ini mulai ada urgensi ketika kerja. Jadi ya mau ga mau ya ges ya. Karena ternyata penampilan lo itu memberikan impresi ke orang lain. Hft. Andai dunia tidak harus begini, aku akan lebih bahagia).

Tapi buat orang lain, belanja baju, make-up, represent diri dengan baik dan rapi itu kebahagiaan dan kebanggaan sendiri.

“Lu kalo dipanggil kenapa nggak denger sih?”

“Kayak anak autis lu ya, nulis melulu kerjaannya. Mending lu cari duit daripada nulis-nulis ga jelas.” (more likely coming from my ISTJ brother).

Karena… lebih sering realita gue ada di dalam kepala gue. Gue nggak tertarik atau mau tau soal dunia nyata. Makanya saking fokusnya, suka nggak denger kalo dipanggil.

Hence, I write. Karena gue lebih suka imajinasi gue sendiri. Alasan gue suka lupa parkir dimana, nggak tau jalan, dan suka nabrak pas lagi jalan. Gue harus tuangin itu ke suatu tempat. Nulis adalah salah satu caranya.

“Dia kenapa sih kalo ngomong suka lompat-lompat?”

Karena interest gue banyak, gue pengen ceritain semuanya ke lawan bicara gue. Kalo gue ngobrol sama lo, terus gue lompat-lompat topiknya, it’s a sure indicator, gue tertarik ngobrol ama lu dan super excited.

“Lo kenapa sih kalo ngomong ngegas?”

Berarti lu kaya tai. Tidak semua hal salah gue ya WKWKWKWKWK

Anyway…

Gue jadi tau cara komunikasi paling efektif untuk tipe tertentu

My current boss is an ISTP.

Cara ngomongnya straight-forward, to the point, tanpa intensi atau agenda apapun. Kalo dia bilang…

“Menurut lu mereka nyuri data kita nggak, ya?”

Maksudnya adalah ; ya dia nanya pendapat gue ada data yang plagiat atau enggak. Karena dia nggak tau dan nggak ada waktu untuk ngecek.

Meanwhile, bos gue sebelumnya kalo dia ngasih pertanyaan yang sama, meaningnya bisa jadi beda. Meaningnya, dia find out ada data yang plagiat, dia nanya untuk ngetes, gue notice hal itu atau enggak. Kalau enggak,  “Kok bisa enggak? Aku aja liat kamu kok nggak?” gaslight at its best.

Need quite some times for me to adjust to his communication style. Eventually gue mulai paham sudut pandang bos gue sekarang, kalo ditanya A ya artinya A, dan dia butuh jawaban untuk A. nggak perlu kemana-mana, karena pertanyaan itu nggak ada agenda tersembunyi. Karena apapun yang perlu diomongin, dia akan ngomongin, in a straight-forward manner. Setelah mengerti ini, gue berhenti overanalyze omongan bos gue, dan take it as it is. Because that’s how he is.

Dan gue mulai berkomunikasi sama dia juga dengan cara yang sama, and he never take anything personally. Karena itu jawaban yang dia harapkan. At some point, pas gue coba jawab dengan gaya straight forward, gue pernah ngerasa ini harsh dan nggak sopan, ternyata enggak guys. Ini paling efektif dan efisien untuk dia.

Untuk orang overthinking kayak gue, rasanya melegakan.

Oh dan gue sering banget unintentionally ngomong hal yang nyakitin orang lain, offensive, atau kadang terasa self-bragging aja. Sekarang gue ngerti, untuk topik yang sama, beda orang bisa beda efeknya.

Untuk teman-teman “Feeling” yang lagi curhat, mungkin dulu gue akan bilang depan mukanya, “Bodoh juga sih Keputusan yang lu ambil.”

Sekarang…

“Kayaknya lu ngambil Keputusan kayak gini, karena lu ngerasa gini, yah? Bisa dimengerti sih apa yang lo rasain.”

Always listening, always understanding. 😉

----

Jadi itu 3 kelebihan utama yang gue rasain dengan mengerti MBTI. Sekarang gue lebih mengerti soal orang lain, gue bisa adjust cara komunikasi gue. It comes in handy when you need to persuade people.

Nah, sekarang gue mau jabarin satu-satu dari masing-masing huruf yang ada dalam komponen MBTI. Based on buku yang gue baca di atas. JADI TEMEN-TEMEN YANG SERING KETUKER HURUF, SEMOGA TOBAT.

Huruf pertama ; E vs I (Ekstrovert VS Introvert)

Ini bagian yang paling gampang untuk identify, meski pas udah digabung ke huruf lain akan jadi tricky dan ada keterkaitan satu dengan lainnya.

Ekstrovert -> lu ngerasa dapat energi ketika berinteraksi sama banyak orang

Introvert -> lu ngerasa dapat energi ketika sendirian.

Gampang. Waktu pandemi dan isolasi kemarin, lo yang mana?

“ANJIRRRR FRUSTASI BANGETT! GUE PENGEN JALAN AMA TEMEN-TEMEN GUA. Gila ya ini pandemi nyiksa banget sih. Kita g-meets kali ya rame-rame.” <- deffo an ekstrovert

Atau.

“Damai banget. Moga-moga pandemi terus sampe tahun depan. Gue baca buku yang kemarin numpuk kali ya.” <- introvert.

Bukan tentang, oh introvert lebih pemalu, lebih pendiem. Kenapa introvert terkesan lebih pemalu dan pendiem, ya karena mereka emang overwhelmed aja sama situasi terlalu banyak orang -> hence they chose to be silent. But they definitely can be outgoing when they want to.

Tapi nggak bisa lama-lama ya ges, karena introvert itu ada baterenya, kalo seharian keluar sama orang bisa low batt.

Ekstrovert kaya solar panel, makin banyak dia ketemu orang, makin gede powernya.

Huruf kedua ; N vs S (iNtuition vs Sensor)

Kenapa intuition N? Karena kalo I juga entar bingung bedainnya sama introvert di huruf pertama. Sekian. Jangan nanya beginian lagi. Bikin marah.

Btw, sebelum mulai, kalo huruf pertama itu men-define bagaimana cara kita mendapat energi apakah kita people person atau prefer solitude everytime, nah huruf kedua ini adalah bagaimana cara kita mengumpulkan informasi.

Intuition -> cenderung tertarik sama hal-hal yang makro, abstrak, imajinatif, punya tendensi menghubungkan sesuatu yang betul-betul nggak ada hubungannya jadi ada hubungan -> punya tendensi overthinking karena poin tadi. Hubung-hubungin yang nggak ada hubungan.

Sensor -> kayak Namanya. Indera. Mereka ngumpulin informasi lewat semua Indera yang mereka punya, apa yang didengar, apa yang dicium, apa yang dilihat, dirasa. Kalau nggak ada dalam Indera mereka, berarti nggak ada dalam otak mereka. Ini menurut gue superpower manusia sensor, mereka nggak punya tendensi untuk overthinking. Karena kalo nggak dilihat dan nggak didengar, ya berarti nggak ada.

Nah how to find them from the bunch?

Ini menurut gue ya, jadi bisa salah bisa bener. Bisa akurat atau enggak, tapi sejauh ini, ini cara gue identify.

Gue biasa akan mulai dengan pertanyaan, suka baca buku nggak? Kalau iya..

Suka baca buku science-fiction atau fantasi nggak? Yang ada peri, vampir, makhluk hutan, unicorn?

Enggak. -> prolly sensor. Kenapa? Karena susah untuk ngebayangin dunia yang sama sekali berbeda dari dunia mereka saat ini. Gimana caranya lo bayangin peri hutan kalo lo nggak pernah liat secara langsung? Gimana bayangin ada bola bisa terbang muter-muter di langit kalo lo nggak pernah bener-bener liat?

Buku itu sangat-sangat bertumpu pada penggunaan imajinasi, karena nggak ada penyajian visual yang tersedia, lu harus nyiptain visual itu sendiri. Lo harus bisa berimajinasi seolah-olah hal itu beneran ada.

Beda sama film. Hence, I start with books.

Kalau iya, mereka suka baca buku-buku kayak gitu -> more likely intuitive. Karena nggak susah untuk kita membayangkan hal-hal yang belum pernah kita liat. Yang gue bilang di atas, abstrak, imajinatif.

Kalau dia nggak suka buku, mungkin gue akan ganti dengan pertanyaan ini :

Lo lebih pilih nonton konser atau dateng ke acara musik gitu 5 jam, atau duduk di coffee shop ngebahas topik yang lu suka sampe 5 jam sama orang yang nggak lo kenal-kenal banget?

Nonton konser -> prolly sensors karena itu menstimulus sensorik mereka. Suara, visual, keramaian orang. Hype.

Kalau dia jawab lebih suka 5 jam ngobrol topik-topik yang disuka -> They MUST BE an intuitive. Karena nggak ada orang Sensors yang in their right mind, decide untuk ngobrol selama itu tanpa ada stimulasi sensorik. Most of the time, topik-topik itu juga nggak cukup menarik untuk mereka untuk diobrolin selama itu? Terutama kalo topiknya abstrak.

Please note that I put “orang yang nggak lo kenal-kenal banget”.

Lalu…

Perhatiin cerita-cerita yang dia share dan bikin dia excited, biasanya gimana :

Apakah..

“Hari ini, gue kan jalan ke kantor, eh ada motor nubruk di jalan. Terus gue liat tuh orang yang jatuh kondisinya… terus ada suara gedubruk…”

Atau…

“Menurut gue ya, kalo misalnya nggak ada kecoak di dunia ini…”

Did you notice the differences?

Cerita pertama fokus pada apa yang dialami, apa yang dilihat, apa yang didengar. Kenapa orang sensor suka banget cerita pengalaman mereka, keseharian mereka.

Cerita kedua, NGGAK TAU ABSTRAK BANGET ANJIR. YA TERUS KALO NGGAK ADA KECOAK KENAPA???!

Orang sensor nggak akan peduli dengan cerita yang kedua.

Orang intuitif mendengarkan, tapi ya nggak tertarik ataupun excited amat sama cerita pertama. Good to know.

Orang intuitif akan Kembali mikirin, kalo misalnya nggak ada kecoak di dunia ini tuh gimana. GIMANA GUYS BINGUNG BANGET??!

Poinnya bukan pada kecoak, tapi hal-hal konkrit vs abstrak.

Oh! Ngomong-ngomong konkrit. Sensors itu bener-bener orang yang konkrit. Karena kecenderungan tadi beberapa kelebihan sensors adalah ; realistis, memikirkan apa yang mungkin dan tidak mungkin, perhatian sama detail yang ketangkep sensor mereka. In general, mereka betul-betul orang-orang yang in the moment, present. Ini betul-betul kualitas yang gue suka sekali dari teman-teman sensors.

Intuitif -> bisa berpikir secara abstrak, imajinatif, cenderung nggak realistis, tapi banyak hal yang bagi temen-temen sensors keliatan nggak mungkin dan nggak achievable -> terasa mungkin bagi intuitif. Karena kenapa enggak? Lebih visioner karena suka mengkorelasikan hal-hal yang nggak berhubungan sama sekali, bisa bener bisa enggak. Ketika prediksi mereka bener, orang-orang sensor akan ngeliat mereka kayak dukun, prophet, prediksi masa depan.

Satu lagi.

Intuitif cenderung ngelihat underlying meaning dari segala hal (korelasi hal-hal yang nggak berhubungan). So beware of them, they might see things that you don’t want them to see. Gestur yang beda, raut muka, bahkan pemilihan kata-kata, itu bisa jadi flagging untuk intuitif.

Misal.

“Hari ini gue bete banget.”

Intuitif -> “bete kenapa? Oh. Kemarin gue denger dia di telpon kayaknya ribut sama nyokapnya. Terus tadi pagi dia nggak makan siang tuh, sama gue ngerasa dia agak kurang semangat ya pas diskusi tadi. Kenapa dia ribut sama nyokapnya, apa jangan-jangan berhubungan sama yang bulan lalu dia cerita, dia keberatan emaknya masak tempe goreng mulu tiap hari? Ini kayaknya berhubungan sama trauma masa kecil dia deh.” overthinking at its finest.

Meanwhile sensors -> “Oh dia lagi bete.”

Huruf ketiga ; T vs F (Thinking vs Feeling)

Kalau huruf kedua tadi ngomongin soal cara ngumpulin informasi, huruf ketiga ini adalah gimana cara memproses informasi tersebut?

Cukup straightforward sesuai namanya, thinking akan lebih fokus pada logika, fakta, data yang udah mereka kumpulin tadi.

Feeling -> mereka bertumpu sama apa yang mereka rasain. Bagaimana guts feeling mereka. Apakah hal ini berpengaruh sama orang lain? Gimana perasaan orang lain? Emosi apa yang akan mereka dapet?

Jujur agak sulit untuk gue identify huruf ini kecuali gue udah bener-bener kenal banget sama orangnya. Saat ini gue masih meraba, tapi ada beberapa poin yang kadang bisa ketebak di awal.

Waktu mereka menjelaskan sesuatu apakah lebih cenderung ke :

“Menurut gue ya, si A marah-marah karena kemarin sempet ada meeting investor, terus angka turun banget.”

Atau…

“si A marah-marah gini, itu entar ngaruh ke banyak orang nggak ya? Temen-temen bakal sakit hati dan insecure nggak sih? Mungkin nggak sih dia marah-marah karena ada omongan gini dari orang lain jadi egonya kena?”

Lagi-lagi ini masih meraba, karena gue juga agak sulit untuk identify ini di orang lain. Tapi biasanya gue akan observe cara dia mengutarakan apa yang dia pikirin, apakah lebih fact/data-basis atau ke feeling-basis.

Huruf keempat ; P vs J (Perceiving vs Judging)

Nah ini orang yang kadang-kadang suka salah persepsi. Termasuk gue, sebelum baca buku yang gue bilang di atas tadi.

Huruf ke-empat ini define cara lo ngambil Keputusan berdasarkan informasi yang sudah lo kumpulkan dan lo proses tadi. Bukan tentang orang ini suka nge-judge orang lain atau enggak.

Judging -> mereka cepet mengambil Keputusan, resolve issue, closing. Supaya bisa move ke isu selanjutnya. Cenderung nggak suka kejutan atau apapun yang di luar rencana, karena ketika mereka mengumpulkan dan memproses informasi, tanpa sadar mereka udah ngambil Keputusan atas hal tersebut. Entah dalam bentuk pendapat atau aksi. Kalau tiba-tiba ada kejutan, itu jadi di luar Keputusan atau kontrol mereka. And they go through with what they decide seriously.

Perceiving -> sebaliknya, kalo orang judging punya informasi, memproses lalu ngambil Keputusan, orang-orang perceiving ini, bisa banget balik ke proses pertama untuk nyari informasi lebih banyak lagi, instead of ngambil Keputusan, mereka suka eksplor kemana-mana -> hence orang-orang P sangat sulit untuk ambil Keputusan dalam hidup mereka, cenderung terlihat bebas, fleksibel, nggak ikut aturan.

Bisa diliat kalo misalnya ngobrol satu topik, dan mereka jadi orang pertama yang ngambil Kesimpulan : “Udah, menurut gue sih si Erika Gudono bau ketek karena sering keringetan olahraga terus nggak langsung mandi. Done.” prolly J.

Atau

“Tapi mungkin nggak sih itu bisa jadi genetic? EH! Atau… atau jangan-jangan ya, bau ketek ini settingan, ternyata dia keteknya bukan bau bawang, tapi bau sampah? Jangan-jangan yang bau ketek suaminya bukan dia?” -> more likely an xNxP people who start the conspiracy.

Tapi intinya mereka sulit untuk resolve atau ngambil Kesimpulan atas suatu topik. P tends to enjoy in exploring the possibilities.

Mangkanya…

Orang-orang J cenderung tepat waktu, orang-orang P suka telat. Karena J udah ngambil Keputusan waktu mereka bilang ketemuan jam 9, oh berarti gue harus siap-siap jam sekian. Gue harus bangun lebih pagi untuk bikin kopi karena kebiasaan gue bikin kopi setiap hari, terus estimasi perjalanan sekian dst.

P on the other side -> “Hmn, jam 9 ya. Tapi gue besok pagi mau ngapain ya sebelum berangkat? Mandi dulu apa nonton Doraemon dulu ya? Apa karaoke dulu kali ya?” possibilities are endless -> then they end up late, because they do all those three.

J -> keteraturan, rutinitas, hal berulang.

P -> kemungkinan, hal yang berbeda, nggak bisa diprediksi.

OH SATU LAGI, ini obvious dan gampang dibaca. Kalo kalian janjian :

"Eh besok ketemu ya, sekitar jam 3 gitu."

"Jam 3 tuh 3.00? Pastinya jam berapa?" -> urgensi untuk kepastian, waktu eksak -> J

"Gue nanti baru jalan jam 3, mungkin sampe jam 4-an." -> P

Kalo dia nyebut waktu secara eksak, jam 3, jam 1, jam 2. Dan seolah nggak rasih ruang untuk fleksibilitas atau untuk elo dateng telat -> J

Kalo dia nggak jelas yang dimaksud jam berapa, terus satuan waktunya ditambahin "-an" jadi jam 3-an, jam 4-an -> more likely P.

----

Guys.

MBTI bukan untuk membenarkan kekurangan kalian ya.

“Gue kan INFP, jadi ya gapapa donk gue dateng telat, INFP kan emang suka telat.”

No.

Lo punya kecenderungan untuk nggak tau waktu, susah memutuskan, akhirnya lo jadi telat.

Lo punya tendensi begitu.

Tapi telat pas janjian penting sama orang lain, berarti lo nggak peduli sama hal-hal yang udah dikorbankan oleh dia untuk dateng tepat waktu dan ketemu elu. Bahkan bisa jadi tanda, lo nggak menghargai waktunya dia. Meski di mata lo, “Yaudah sih, tadi shower gua mati soalnya pas lagi mandi…”

Karena lo punya tendensi sulit memutuskan dan bisa leyeh-leyeh secara random, plan your day ahead, for the sake of the other person.

ALAH BANYAK BACOT LU MAR, DATENG KANTOR AJA TELAT MULU.

Hehe.

Namanya juga aku.

Untuk teman-teman yang masih ngikutin tulisan gue sampe sini. WAAAAAA I’M SO HAPPY FOR YOU! NOW YOU KNOW!

Mari kita jadi freak MBTI Bersama-sama.

So, when I say I am an ENTP. Now you understand the context. What each letter stands for. Right? Except sensors. Please leave my blog if you’re a sensor. I hate you guys.

Sebenarnya, selain masing-masing huruf, ada satu lagi yang cukup penting namanya Cognitive Stacks, gimana huruf-huruf itu saling berhubungan dan membentuk preferensi atau kecenderungan lu sekarang. ADUH MAGER BANGET NULIS SOAL ITU.

Jadi gue langsung lompat ke bagian selanjutnya aja. I TOLD YOU GUYS IT WILL BE A VERY LONG POST

Gue mau review teman-teman yang gue kenal berdasarkan MBTI mereka dari pov gue. I will do some name-dropping here. Tapi kan tidak nama lengkap ya, harusnya aman?

INTJ

Now, I will name-drop the GOAT person in my life : Fan-Fan

Teman-teman yang ngikutin blog gue dari jaman dulu, pasti tau siapa ini Fan-Fan.

Setelah gue mulai ngerti dan tertarik banget sama MBTI dua tahun terakhir, mulai terasa make sense kenapa gue dan Fan-Fan bisa sedeket itu dari jaman sekolah dulu.

She’s an INTJ. The real cold-blooded, logical, cruel (but fun) INTJ.

My golden pair. (not in romantic context guys).

FAN-FAN yang dideketin cowok, cowoknya frustasi terus konsultasi ama gua MINTA SARAN???

Isi chat fan-fan dan cowok yang suka sama dia waktu SMA.

“Fan, suka baca buku?”

“Y”

“Baca buku apa?”

“horror, thriller.”

“Oh lg baca buku apa?”

“Skg lagi ngga.”

“Terakhir baca buku apa?”

Then no reply for another 2 days.

Kata kunci INTJ, in this case Fan-Fan : solitude, introspective, long term planner, imaginative, full of conspiracy theories (they don’t show it often), smart as hell.

By smart, I mean smart. Academically.

She was the best graduate from her major with 3.98 or 3.99 GPA or something?

Lalu waktu anak-anak best graduate dikumpulin dari semua jurusan, Fan-Fan ketemu sama best graduate dari jurusan gue, lalu mereka ngobrol, lalu mereka notice ada satu nama mutual : MARISA. Lalu temen dari jurusan gue nanya, “Kok lu mau temenan sama Marisa?”

LOH EMANG KENAPA?

EMANG GUA BUKAN MANUSIA?? ADA MASALAH APA LO?

INTJ ini jarang sekali ketemu. Recently gue kenalan sama satu INTJ lain. Rasanya klik banget waktu ngobrol soal buku. Waktu tau orang itu INTJ, oh make sense.

INFP

Second favorite MBTI in my life. INFP.

Notice that 2 of my fav MBTI are introverts? 😉

Kata kunci INFP ; calm and chaos, feeling-driven, lack of following through their own logic, free spirited, imaginative, can sense bullshit from afar.

Guys, waktu gue bilang F punya tendensi feeling oriented, sementara T sebaliknya, jangan mikir orang F berarti baik dan T sebaliknya. Semua itu tergantung intensi, and INFP people, can be manipulative as hell.

Karena dia ngerti emosi orang lain + intuitif skill, dia bisa sense apa yang bikin lo insecure, kenapa lo bersikap begini, kenapa lo ambil Keputusan seperti ini, ditambah Perceiving tendency -> they can do it just for fun. Just to explore the possibilities. So beware.

But they are my favourite at the end of the day.

They can hold long conversations with me, just for fun. We can talk about anything, after-life, mental disorder, ghosts, karma. From night to dawn. Anything. Karena kita sama-sama P, in the end, tidak ada konklusi atau Kesimpulan -> but still fun.

Not sure why ENTP tend to be surrounded by INFP. Tapi setelah gue deep-dive soal MBTI, gue mulai ngeh beberapa orang favorit dalam hidup gue itu ternyata INFP. Orang yang pasti mau dengerin blabbering aneh gue, pemikiran-pemikiran aneh gue, KETAWA KARENA JOKES-JOKES W YANG TIDA LUCU? They must be an INFP! My best cheerleaders.

Mbak Ira!

Yang selalu bikin gue amaze sama empatinya dia ke orang lain. Karena Mbak Ira bisa nangis waktu liat orang lain kesusahan, sangat mikirin apa yang orang lain rasain atau pikirin kalo dia melakukan suatu hal. Ikut nangis karena anaknya patah hati diputusin cewek. She would listen to my blabbering for hours dan give me interesting feedback as always.

ENFP

My most favourite : Fey!

She is me, but more considerate to people.

Kata kunci ENFP ; exploring the possibilities, anything is achievable, hate numbers and rules, empathetic,  spiritual, positive vibes everytime, sociable.

Betul-betul partner diskusi yang menyenangkan, karena dia bisa sense underlying issue tanpa harus gue ungkapin. Terutama yang feelings related. Hal-hal yang gue dismissed terkait perasaan seringkali adalah puzzle yang hilang untuk membentuk satu Kesimpulan. And these people often point that out.

Similar in a way, karena sama-sama suka berkonspirasi. Suka eksplor kemungkinan-kemungkinan yang orang lain nggak liat.

Kalau lo nyari orang yang optimis, with can-do attitude, visioner dan giving positive vibe, go to an ENFP. They will root for you.

And they’re really good with crowds. They can sense everyone’s feelings and behaviour. Not as outgoing as an ESFP, but still good with crowds.

***

REVISI GUYS (1 Oct 2024)

Setelah gue baca lagi bukunya

F vs T -> define cara lo mengambil keputusan

Jadi pengambilan keputusan bukan ada di fungsi J vs P tapi ada di F vs T.

Nah J vs P define gaya hidup lu seperti apa.

J terstruktur, berulang, konsisten.

P fleksibel dan open.

Hubungannya.

Fungsi J cenderung berkaitan erat sama fungsi ketiga (nah di sini ga salah salah banget w). Karena J cenderung cepet ambil keputusan dia erat sama huruf ketiga either T atau F.

P cenderung berkaitan erat sama fungsi kedua N vs S (proses pengumpulan informasi).

Jadi pada dasarnya tetap sama sih. Cuman pengambilan keputusan itu ada di huruf ketiga.

Words from the book :

"Put another way, Perceivers have a tendency to perceive—to keep collecting new information—rather than to draw conclusions (judgments) on any subject. Judgers, in contrast, have a tendency to judge—to make decisions—rather than to respond to new information, even (or perhaps especially) if that information might change their decision. At their respective extremes, Perceivers are virtually incapable of making decisions while Judgers find it almost impossible to change theirs. Such extremes, however, are not the rule."

Tidak ada komentar: