Udah lama nggak nulis soal interest terbaru gue di sini. Selain stand-up comedy ya ges ya, I’m obsessed with another thing currently. Beberapa kali gue kasih hint di sini ; MBTI.
Untuk menjaga ekspektasi teman-teman semua akan kemana arah postingan kali ini. Gue mau bahas MBTI secara umum dan ngereview masing-masing tipe MBTI berdasarkan orang-orang yang pernah gue kenal dan stereotip mereka secara umum. From my POV as an ENTP.
Jadi
baru-baru ini gue baca satu buku yang khusus ngebahas soal MBTI, apa perbedaan
dari masing-masing huruf dan itu represent apa sebenernya. Untuk teman-teman
yang memang beneran tertarik soal MBTI, you guys should start with this book.
Karena pembahasannya cukup menyeluruh dan basic ; “Type Talk : The 16 Personality
Types That Determine How We Live, Love, and Work” - Kroeger Otto, Thuesen Janet
M.
Jadi kalo
elu yang hurufnya masih suka ketuker-tuker, atau bahkan suka nyiptain huruf
baru (entah dapet ingetan darimana), boleh coba baca buku ini. Meski unlikely,
karena kalo huruf aja lu ketuker-tuker kemungkinan lo nggak tertarik soal MBTI,
at certain degree you actually think that this is bullshit. Right? And you might
be one of the Sensors bunch. 😉
Kayaknya,
untuk memulai postingan ini gue akan mulai cerita soal kelebihan dari “ngerti
tentang MBTI” (DAN INI AKAN JADI POSTINGAN PANJANG YA. Karena ini interest gue sejak
tahun 2012). Karena gue berusaha paham soal MBTI ada beberapa
manfaat yang gue rasain :
Gue
semakin memahami dan menerima perbedaan.
Buku yang
gue bahas di atas, bahkan membuka dengan kalimat ini : “This is a book about
name-calling. In one way or another we do it all the time.”
Name-calling.
Like that time you saw someone that’s really good with tools and mechanic stuff
and you think “Wah jago banget lu nukang.” Or when you saw someone
that seems airheaded, slow to grasp any new information and you call them, “Dia
rada tulalit ya kayaknya.”
Name-calling
can come in a positive or negative terms. The point is, we saw something
distinctive about someone, we have the urge to label them with something. Now, this
is where the MBTI comes in. instead of name-calling them with (especially)
negative terms, we’ll start to see someone in a more comprehensive manner.
Gue nggak
pernah ngerti kenapa koko gue harus spesifik banget jadi orang. Kalo dia bilang
janjian jam 12 siang, berarti 12.00 harus sampe di Lokasi. Memang apa salahnya
kalo datang 12.05? Kalo misalnya dia nyuruh gue sesuatu, terus gue nggak lakuin
spesifik kayak yang diminta, bakal marah-marah. In the end, gue label ini orang
dengan “Dasar orang nyebelin.” Udah. Nyebelin. Pokoknya ini orang emang
nyebelin, mulutnya nyebelin, precise-nya nyebelin, bener-bener nggak bisa gue ngerti.
He is an
ISTJ.
System,
regulation, order, are part of his identity. Jadi waktu dia ngeliat sesuatu
yang out of place, atau out of order, koko gue bakal frustasi banget. Dari
point of view dia, dia juga nggak ngerti kenapa gue bersikap kayak gini. Nggak
make sense.
Gue
makin ngerti soal diri gue sendiri
Beberapa
komentar yang selalu keluar dari keluarga dan teman-teman gue dan mulai terasa
make sense sekarang..
“Lu kok
nggak suka belanja baju, sih?”
“Lu pake
make-up lah. Temen-temen lu pada belajar make-up, masa elu enggak?”
Kenapa gue
males belanja baju?
Karena
nggak muat.
Enggak
denk, karena buat apa sih belanja baju sering-sering? Kan gue udah punya baju
yaudeh. Daripada gue buang waktu ngelilingin toko di mall buat belanja baju,
mendingan gue bengong mengkhayal (pada akhirnya terkait baju dan make-up ini
mulai ada urgensi ketika kerja. Jadi ya mau ga mau ya ges ya. Karena ternyata
penampilan lo itu memberikan impresi ke orang lain. Hft. Andai dunia tidak
harus begini, aku akan lebih bahagia).
Tapi buat
orang lain, belanja baju, make-up, represent diri dengan baik dan rapi itu
kebahagiaan dan kebanggaan sendiri.
“Lu kalo
dipanggil kenapa nggak denger sih?”
“Kayak anak
autis lu ya, nulis melulu kerjaannya. Mending lu cari duit daripada nulis-nulis
ga jelas.” (more likely coming from my ISTJ brother).
Karena…
lebih sering realita gue ada di dalam kepala gue. Gue nggak tertarik atau mau
tau soal dunia nyata. Makanya saking fokusnya, suka nggak denger kalo dipanggil.
Hence, I
write. Karena gue lebih suka imajinasi gue sendiri. Alasan gue suka lupa parkir
dimana, nggak tau jalan, dan suka nabrak pas lagi jalan. Gue harus tuangin itu ke
suatu tempat. Nulis adalah salah satu caranya.
“Dia kenapa
sih kalo ngomong suka lompat-lompat?”
Karena
interest gue banyak, gue pengen ceritain semuanya ke lawan bicara gue. Kalo gue
ngobrol sama lo, terus gue lompat-lompat topiknya, it’s a sure indicator, gue
tertarik ngobrol ama lu dan super excited.
“Lo kenapa
sih kalo ngomong ngegas?”
Berarti lu
kaya tai. Tidak semua hal salah gue ya WKWKWKWKWK
Anyway…
Gue jadi
tau cara komunikasi paling efektif untuk tipe tertentu
My current
boss is an ISTP.
Cara
ngomongnya straight-forward, to the point, tanpa intensi atau agenda apapun.
Kalo dia bilang…
“Menurut lu
mereka nyuri data kita nggak, ya?”
Maksudnya adalah
; ya dia nanya pendapat gue ada data yang plagiat atau enggak. Karena dia nggak
tau dan nggak ada waktu untuk ngecek.
Meanwhile,
bos gue sebelumnya kalo dia ngasih pertanyaan yang sama, meaningnya bisa jadi
beda. Meaningnya, dia find out ada data yang plagiat, dia nanya untuk ngetes,
gue notice hal itu atau enggak. Kalau enggak,
“Kok bisa enggak? Aku aja liat kamu kok nggak?” gaslight at its best.
Need quite
some times for me to adjust to his communication style. Eventually gue mulai
paham sudut pandang bos gue sekarang, kalo ditanya A ya artinya A, dan dia
butuh jawaban untuk A. nggak perlu kemana-mana, karena pertanyaan itu nggak ada
agenda tersembunyi. Karena apapun yang perlu diomongin, dia akan ngomongin, in
a straight-forward manner. Setelah mengerti ini, gue berhenti overanalyze
omongan bos gue, dan take it as it is. Because that’s how he is.
Dan gue
mulai berkomunikasi sama dia juga dengan cara yang sama, and he never take
anything personally. Karena itu jawaban yang dia harapkan. At some point, pas
gue coba jawab dengan gaya straight forward, gue pernah ngerasa ini harsh dan
nggak sopan, ternyata enggak guys. Ini paling efektif dan efisien untuk dia.
Untuk orang
overthinking kayak gue, rasanya melegakan.
Oh dan gue
sering banget unintentionally ngomong hal yang nyakitin orang lain, offensive,
atau kadang terasa self-bragging aja. Sekarang gue ngerti, untuk topik yang
sama, beda orang bisa beda efeknya.
Untuk
teman-teman “Feeling” yang lagi curhat, mungkin dulu gue akan bilang depan
mukanya, “Bodoh juga sih Keputusan yang lu ambil.”
Sekarang…
“Kayaknya
lu ngambil Keputusan kayak gini, karena lu ngerasa gini, yah? Bisa dimengerti
sih apa yang lo rasain.”
Always listening,
always understanding. 😉
----
Jadi itu 3
kelebihan utama yang gue rasain dengan mengerti MBTI. Sekarang gue lebih
mengerti soal orang lain, gue bisa adjust cara komunikasi gue. It comes in
handy when you need to persuade people.
Nah, sekarang
gue mau jabarin satu-satu dari masing-masing huruf yang ada dalam komponen
MBTI. Based on buku yang gue baca di atas. JADI TEMEN-TEMEN YANG SERING KETUKER
HURUF, SEMOGA TOBAT.
Huruf
pertama ; E vs I (Ekstrovert VS Introvert)
Ini bagian
yang paling gampang untuk identify, meski pas udah digabung ke huruf lain akan
jadi tricky dan ada keterkaitan satu dengan lainnya.
Ekstrovert
-> lu ngerasa dapat energi ketika berinteraksi sama banyak orang
Introvert
-> lu ngerasa dapat energi ketika sendirian.
Gampang.
Waktu pandemi dan isolasi kemarin, lo yang mana?
“ANJIRRRR
FRUSTASI BANGETT! GUE PENGEN JALAN AMA TEMEN-TEMEN GUA. Gila ya ini pandemi nyiksa
banget sih. Kita g-meets kali ya rame-rame.” <- deffo an ekstrovert
Atau.
“Damai
banget. Moga-moga pandemi terus sampe tahun depan. Gue baca buku yang kemarin
numpuk kali ya.” <- introvert.
Bukan tentang,
oh introvert lebih pemalu, lebih pendiem. Kenapa introvert terkesan lebih
pemalu dan pendiem, ya karena mereka emang overwhelmed aja sama situasi terlalu
banyak orang -> hence they chose to be silent. But they definitely can be
outgoing when they want to.
Tapi nggak
bisa lama-lama ya ges, karena introvert itu ada baterenya, kalo seharian keluar
sama orang bisa low batt.
Ekstrovert
kaya solar panel, makin banyak dia ketemu orang, makin gede powernya.
Huruf
kedua ; N vs S (iNtuition vs Sensor)
Kenapa
intuition N? Karena kalo I juga entar bingung bedainnya sama introvert di huruf
pertama. Sekian. Jangan nanya beginian lagi. Bikin marah.
Btw,
sebelum mulai, kalo huruf pertama itu men-define bagaimana cara kita mendapat
energi apakah kita people person atau prefer solitude everytime, nah huruf
kedua ini adalah bagaimana cara kita mengumpulkan informasi.
Intuition ->
cenderung tertarik sama hal-hal yang makro, abstrak, imajinatif, punya tendensi
menghubungkan sesuatu yang betul-betul nggak ada hubungannya jadi ada hubungan
-> punya tendensi overthinking karena poin tadi. Hubung-hubungin yang nggak
ada hubungan.
Sensor
-> kayak Namanya. Indera. Mereka ngumpulin informasi lewat semua Indera yang
mereka punya, apa yang didengar, apa yang dicium, apa yang dilihat, dirasa.
Kalau nggak ada dalam Indera mereka, berarti nggak ada dalam otak mereka. Ini
menurut gue superpower manusia sensor, mereka nggak punya tendensi untuk
overthinking. Karena kalo nggak dilihat dan nggak didengar, ya berarti nggak
ada.
Nah how to
find them from the bunch?
Ini menurut
gue ya, jadi bisa salah bisa bener. Bisa akurat atau enggak, tapi sejauh ini,
ini cara gue identify.
Gue biasa
akan mulai dengan pertanyaan, suka baca buku nggak? Kalau iya..
Suka baca
buku science-fiction atau fantasi nggak? Yang ada peri, vampir, makhluk hutan,
unicorn?
Enggak.
-> prolly sensor. Kenapa? Karena susah untuk ngebayangin dunia yang sama
sekali berbeda dari dunia mereka saat ini. Gimana caranya lo bayangin peri
hutan kalo lo nggak pernah liat secara langsung? Gimana bayangin ada bola bisa
terbang muter-muter di langit kalo lo nggak pernah bener-bener liat?
Buku itu
sangat-sangat bertumpu pada penggunaan imajinasi, karena nggak ada penyajian
visual yang tersedia, lu harus nyiptain visual itu sendiri. Lo harus bisa
berimajinasi seolah-olah hal itu beneran ada.
Beda sama
film. Hence, I start with books.
Kalau iya,
mereka suka baca buku-buku kayak gitu -> more likely intuitive. Karena nggak
susah untuk kita membayangkan hal-hal yang belum pernah kita liat. Yang gue
bilang di atas, abstrak, imajinatif.
Kalau dia
nggak suka buku, mungkin gue akan ganti dengan pertanyaan ini :
Lo lebih pilih
nonton konser atau dateng ke acara musik gitu 5 jam, atau duduk di coffee shop ngebahas topik yang lu suka
sampe 5 jam sama orang yang nggak lo kenal-kenal banget?
Nonton
konser -> prolly sensors karena itu menstimulus sensorik mereka. Suara,
visual, keramaian orang. Hype.
Kalau dia
jawab lebih suka 5 jam ngobrol topik-topik yang disuka -> They MUST BE an
intuitive. Karena nggak ada orang Sensors yang in their right mind, decide
untuk ngobrol selama itu tanpa ada stimulasi sensorik. Most of the time,
topik-topik itu juga nggak cukup menarik untuk mereka untuk diobrolin selama itu?
Terutama kalo topiknya abstrak.
Please note
that I put “orang yang nggak lo kenal-kenal banget”.
Lalu…
Perhatiin
cerita-cerita yang dia share dan bikin dia excited, biasanya gimana :
Apakah..
“Hari ini,
gue kan jalan ke kantor, eh ada motor nubruk di jalan. Terus gue liat tuh orang
yang jatuh kondisinya… terus ada suara gedubruk…”
Atau…
“Menurut
gue ya, kalo misalnya nggak ada kecoak di dunia ini…”
Did you
notice the differences?
Cerita
pertama fokus pada apa yang dialami, apa yang dilihat, apa yang didengar.
Kenapa orang sensor suka banget cerita pengalaman mereka, keseharian mereka.
Cerita
kedua, NGGAK TAU ABSTRAK BANGET ANJIR. YA TERUS KALO NGGAK ADA KECOAK
KENAPA???!
Orang
sensor nggak akan peduli dengan cerita yang kedua.
Orang
intuitif mendengarkan, tapi ya nggak tertarik ataupun excited amat sama cerita
pertama. Good to know.
Orang
intuitif akan Kembali mikirin, kalo misalnya nggak ada kecoak di dunia ini tuh
gimana. GIMANA GUYS BINGUNG BANGET??!
Poinnya
bukan pada kecoak, tapi hal-hal konkrit vs abstrak.
Oh! Ngomong-ngomong
konkrit. Sensors itu bener-bener orang yang konkrit. Karena kecenderungan tadi
beberapa kelebihan sensors adalah ; realistis, memikirkan apa yang mungkin dan
tidak mungkin, perhatian sama detail yang ketangkep sensor mereka. In general,
mereka betul-betul orang-orang yang in the moment, present. Ini betul-betul
kualitas yang gue suka sekali dari teman-teman sensors.
Intuitif
-> bisa berpikir secara abstrak, imajinatif, cenderung nggak realistis, tapi
banyak hal yang bagi temen-temen sensors keliatan nggak mungkin dan nggak achievable
-> terasa mungkin bagi intuitif. Karena kenapa enggak? Lebih visioner karena
suka mengkorelasikan hal-hal yang nggak berhubungan sama sekali, bisa bener
bisa enggak. Ketika prediksi mereka bener, orang-orang sensor akan ngeliat
mereka kayak dukun, prophet, prediksi masa depan.
Satu lagi.
Intuitif
cenderung ngelihat underlying meaning dari segala hal (korelasi hal-hal yang
nggak berhubungan). So beware of them, they might see things that you don’t
want them to see. Gestur yang beda, raut muka, bahkan pemilihan kata-kata, itu
bisa jadi flagging untuk intuitif.
Misal.
“Hari ini
gue bete banget.”
Intuitif
-> “bete kenapa? Oh. Kemarin gue denger dia di telpon kayaknya ribut sama
nyokapnya. Terus tadi pagi dia nggak makan siang tuh, sama gue ngerasa dia agak
kurang semangat ya pas diskusi tadi. Kenapa dia ribut sama nyokapnya, apa
jangan-jangan berhubungan sama yang bulan lalu dia cerita, dia keberatan emaknya
masak tempe goreng mulu tiap hari? Ini kayaknya berhubungan sama trauma masa
kecil dia deh.” overthinking at its finest.
Meanwhile
sensors -> “Oh dia lagi bete.”
Huruf
ketiga ; T vs F (Thinking vs Feeling)
Kalau huruf
kedua tadi ngomongin soal cara ngumpulin informasi, huruf ketiga ini adalah
gimana cara memproses informasi tersebut?
Cukup
straightforward sesuai namanya, thinking akan lebih fokus pada logika, fakta, data
yang udah mereka kumpulin tadi.
Feeling
-> mereka bertumpu sama apa yang mereka rasain. Bagaimana guts feeling
mereka. Apakah hal ini berpengaruh sama orang lain? Gimana perasaan orang lain?
Emosi apa yang akan mereka dapet?
Jujur agak
sulit untuk gue identify huruf ini kecuali gue udah bener-bener kenal banget
sama orangnya. Saat ini gue masih meraba, tapi ada beberapa poin yang kadang
bisa ketebak di awal.
Waktu
mereka menjelaskan sesuatu apakah lebih cenderung ke :
“Menurut
gue ya, si A marah-marah karena kemarin sempet ada meeting investor, terus
angka turun banget.”
Atau…
“si A marah-marah
gini, itu entar ngaruh ke banyak orang nggak ya? Temen-temen bakal sakit hati
dan insecure nggak sih? Mungkin nggak sih dia marah-marah karena ada omongan
gini dari orang lain jadi egonya kena?”
Lagi-lagi
ini masih meraba, karena gue juga agak sulit untuk identify ini di orang lain.
Tapi biasanya gue akan observe cara dia mengutarakan apa yang dia pikirin,
apakah lebih fact/data-basis atau ke feeling-basis.
Huruf
keempat ; P vs J (Perceiving vs Judging)
Nah ini
orang yang kadang-kadang suka salah persepsi. Termasuk gue, sebelum baca buku
yang gue bilang di atas tadi.
Huruf
ke-empat ini define cara lo ngambil Keputusan berdasarkan informasi yang sudah
lo kumpulkan dan lo proses tadi. Bukan tentang orang ini suka nge-judge orang
lain atau enggak.
Judging
-> mereka cepet mengambil Keputusan, resolve issue, closing. Supaya bisa
move ke isu selanjutnya. Cenderung nggak suka kejutan atau apapun yang di luar
rencana, karena ketika mereka mengumpulkan dan memproses informasi, tanpa sadar
mereka udah ngambil Keputusan atas hal tersebut. Entah dalam bentuk pendapat
atau aksi. Kalau tiba-tiba ada kejutan, itu jadi di luar Keputusan atau kontrol
mereka. And they go through with what they decide seriously.
Perceiving
-> sebaliknya, kalo orang judging punya informasi, memproses lalu ngambil Keputusan,
orang-orang perceiving ini, bisa banget balik ke proses pertama untuk nyari
informasi lebih banyak lagi, instead of ngambil Keputusan, mereka suka eksplor
kemana-mana -> hence orang-orang P sangat sulit untuk ambil Keputusan dalam
hidup mereka, cenderung terlihat bebas, fleksibel, nggak ikut aturan.
Bisa diliat
kalo misalnya ngobrol satu topik, dan mereka jadi orang pertama yang ngambil Kesimpulan
: “Udah, menurut gue sih si Erika Gudono bau ketek karena sering keringetan
olahraga terus nggak langsung mandi. Done.” prolly J.
Atau
“Tapi mungkin
nggak sih itu bisa jadi genetic? EH! Atau… atau jangan-jangan ya, bau ketek ini
settingan, ternyata dia keteknya bukan bau bawang, tapi bau sampah?
Jangan-jangan yang bau ketek suaminya bukan dia?” -> more likely an xNxP
people who start the conspiracy.
Tapi intinya
mereka sulit untuk resolve atau ngambil Kesimpulan atas suatu topik. P tends to
enjoy in exploring the possibilities.
Mangkanya…
Orang-orang
J cenderung tepat waktu, orang-orang P suka telat. Karena J udah ngambil Keputusan
waktu mereka bilang ketemuan jam 9, oh berarti gue harus siap-siap jam sekian.
Gue harus bangun lebih pagi untuk bikin kopi karena kebiasaan gue bikin kopi
setiap hari, terus estimasi perjalanan sekian dst.
P on the
other side -> “Hmn, jam 9 ya. Tapi gue besok pagi mau ngapain ya sebelum
berangkat? Mandi dulu apa nonton Doraemon dulu ya? Apa karaoke dulu kali ya?”
possibilities are endless -> then they end up late, because they do all
those three.
J -> keteraturan,
rutinitas, hal berulang.
P ->
kemungkinan, hal yang berbeda, nggak bisa diprediksi.
OH SATU LAGI, ini obvious dan gampang dibaca. Kalo kalian janjian :
"Eh besok ketemu ya, sekitar jam 3 gitu."
"Jam 3 tuh 3.00? Pastinya jam berapa?" -> urgensi untuk kepastian, waktu eksak -> J
"Gue nanti baru jalan jam 3, mungkin sampe jam 4-an." -> P
Kalo dia nyebut waktu secara eksak, jam 3, jam 1, jam 2. Dan seolah nggak rasih ruang untuk fleksibilitas atau untuk elo dateng telat -> J
Kalo dia nggak jelas yang dimaksud jam berapa, terus satuan waktunya ditambahin "-an" jadi jam 3-an, jam 4-an -> more likely P.
----
Guys.
MBTI bukan
untuk membenarkan kekurangan kalian ya.
“Gue kan
INFP, jadi ya gapapa donk gue dateng telat, INFP kan emang suka telat.”
No.
Lo punya
kecenderungan untuk nggak tau waktu, susah memutuskan, akhirnya lo jadi telat.
Lo punya
tendensi begitu.
Tapi telat
pas janjian penting sama orang lain, berarti lo nggak peduli sama hal-hal yang
udah dikorbankan oleh dia untuk dateng tepat waktu dan ketemu elu. Bahkan bisa
jadi tanda, lo nggak menghargai waktunya dia. Meski di mata lo, “Yaudah sih, tadi
shower gua mati soalnya pas lagi mandi…”
Karena lo
punya tendensi sulit memutuskan dan bisa leyeh-leyeh secara random, plan your
day ahead, for the sake of the other person.
ALAH BANYAK
BACOT LU MAR, DATENG KANTOR AJA TELAT MULU.
Hehe.
Namanya juga
aku.
Untuk
teman-teman yang masih ngikutin tulisan gue sampe sini. WAAAAAA I’M SO HAPPY
FOR YOU! NOW YOU KNOW!
Mari kita
jadi freak MBTI Bersama-sama.
So, when I
say I am an ENTP. Now you understand the context. What each letter stands for.
Right? Except sensors. Please leave my blog if you’re a sensor. I hate you
guys.
Sebenarnya,
selain masing-masing huruf, ada satu lagi yang cukup penting namanya Cognitive
Stacks, gimana huruf-huruf itu saling berhubungan dan membentuk preferensi atau
kecenderungan lu sekarang. ADUH MAGER BANGET NULIS SOAL ITU.
Jadi gue
langsung lompat ke bagian selanjutnya aja. I TOLD YOU GUYS IT WILL BE A VERY
LONG POST
Gue mau
review teman-teman yang gue kenal berdasarkan MBTI mereka dari pov gue. I will
do some name-dropping here. Tapi kan tidak nama lengkap ya, harusnya aman?
INTJ
Now, I will
name-drop the GOAT person in my life : Fan-Fan
Teman-teman
yang ngikutin blog gue dari jaman dulu, pasti tau siapa ini Fan-Fan.
Setelah gue
mulai ngerti dan tertarik banget sama MBTI dua tahun terakhir, mulai terasa
make sense kenapa gue dan Fan-Fan bisa sedeket itu dari jaman sekolah dulu.
She’s an
INTJ. The real cold-blooded, logical, cruel (but fun) INTJ.
My golden
pair. (not in romantic context guys).
FAN-FAN
yang dideketin cowok, cowoknya frustasi terus konsultasi ama gua MINTA SARAN???
Isi chat
fan-fan dan cowok yang suka sama dia waktu SMA.
“Fan, suka
baca buku?”
“Y”
“Baca buku
apa?”
“horror,
thriller.”
“Oh lg baca
buku apa?”
“Skg lagi ngga.”
“Terakhir
baca buku apa?”
Then no
reply for another 2 days.
Kata kunci
INTJ, in this case Fan-Fan : solitude, introspective, long term planner,
imaginative, full of conspiracy theories (they don’t show it often), smart as
hell.
By smart, I
mean smart. Academically.
She was the
best graduate from her major with 3.98 or 3.99 GPA or something?
Lalu waktu
anak-anak best graduate dikumpulin dari semua jurusan, Fan-Fan ketemu sama best
graduate dari jurusan gue, lalu mereka ngobrol, lalu mereka notice ada satu
nama mutual : MARISA. Lalu temen dari jurusan gue nanya, “Kok lu mau temenan
sama Marisa?”
LOH EMANG
KENAPA?
EMANG GUA
BUKAN MANUSIA?? ADA MASALAH APA LO?
INTJ ini
jarang sekali ketemu. Recently gue kenalan sama satu INTJ lain. Rasanya klik
banget waktu ngobrol soal buku. Waktu tau orang itu INTJ, oh make sense.
INFP
Second favorite
MBTI in my life. INFP.
Notice that
2 of my fav MBTI are introverts? 😉
Kata kunci
INFP ; calm and chaos, feeling-driven, lack of following through their own
logic, free spirited, imaginative, can sense bullshit from afar.
Guys, waktu
gue bilang F punya tendensi feeling oriented, sementara T sebaliknya, jangan
mikir orang F berarti baik dan T sebaliknya. Semua itu tergantung intensi, and
INFP people, can be manipulative as hell.
Karena dia
ngerti emosi orang lain + intuitif skill, dia bisa sense apa yang bikin lo
insecure, kenapa lo bersikap begini, kenapa lo ambil Keputusan seperti ini,
ditambah Perceiving tendency -> they can do it just for fun. Just to explore
the possibilities. So beware.
But they
are my favourite at the end of the day.
They can
hold long conversations with me, just for fun. We can talk about anything,
after-life, mental disorder, ghosts, karma. From night to dawn. Anything.
Karena kita sama-sama P, in the end, tidak ada konklusi atau Kesimpulan ->
but still fun.
Not sure
why ENTP tend to be surrounded by INFP. Tapi setelah gue deep-dive soal MBTI,
gue mulai ngeh beberapa orang favorit dalam hidup gue itu ternyata INFP. Orang yang
pasti mau dengerin blabbering aneh gue, pemikiran-pemikiran aneh gue, KETAWA
KARENA JOKES-JOKES W YANG TIDA LUCU? They must be an INFP! My best
cheerleaders.
Mbak Ira!
Yang selalu
bikin gue amaze sama empatinya dia ke orang lain. Karena Mbak Ira bisa nangis
waktu liat orang lain kesusahan, sangat mikirin apa yang orang lain rasain atau
pikirin kalo dia melakukan suatu hal. Ikut nangis karena anaknya patah hati
diputusin cewek. She would listen to my blabbering for hours dan give me
interesting feedback as always.
ENFP
My most
favourite : Fey!
She is me,
but more considerate to people.
Kata kunci
ENFP ; exploring the possibilities, anything is achievable, hate numbers and rules,
empathetic, spiritual, positive vibes
everytime, sociable.
Betul-betul
partner diskusi yang menyenangkan, karena dia bisa sense underlying issue tanpa
harus gue ungkapin. Terutama yang feelings related. Hal-hal yang gue dismissed
terkait perasaan seringkali adalah puzzle yang hilang untuk membentuk satu Kesimpulan.
And these people often point that out.
Similar in
a way, karena sama-sama suka berkonspirasi. Suka eksplor
kemungkinan-kemungkinan yang orang lain nggak liat.
Kalau lo
nyari orang yang optimis, with can-do attitude, visioner dan giving positive
vibe, go to an ENFP. They will root for you.
And they’re
really good with crowds. They can sense everyone’s feelings and behaviour. Not
as outgoing as an ESFP, but still good with crowds.
***
REVISI GUYS (1 Oct 2024)
Setelah gue baca lagi bukunya
F vs T -> define cara lo mengambil keputusan
Jadi pengambilan keputusan bukan ada di fungsi J vs P tapi ada di F vs T.
Nah J vs P define gaya hidup lu seperti apa.
J terstruktur, berulang, konsisten.
P fleksibel dan open.
Hubungannya.
Fungsi J cenderung berkaitan erat sama fungsi ketiga (nah di sini ga salah salah banget w). Karena J cenderung cepet ambil keputusan dia erat sama huruf ketiga either T atau F.
P cenderung berkaitan erat sama fungsi kedua N vs S (proses pengumpulan informasi).
Jadi pada dasarnya tetap sama sih. Cuman pengambilan keputusan itu ada di huruf ketiga.
Words from the book :
"Put another way, Perceivers have a tendency to perceive—to keep collecting new information—rather than to draw conclusions (judgments) on any subject. Judgers, in contrast, have a tendency to judge—to make decisions—rather than to respond to new information, even (or perhaps especially) if that information might change their decision. At their respective extremes, Perceivers are virtually incapable of making decisions while Judgers find it almost impossible to change theirs. Such extremes, however, are not the rule."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar