Sabtu, 09 Juli 2016

The Alchemist, though

So... Di tengah balada yang dialami kebanyakan pengangguran (which is a state that I’m in right now) adalah memusingkan masa depan, apakah rencana sudah settle, apakah rencana yang sudah settle itu sudah yang terbaik, apakah yang dilakukan sekarang untuk rencana yang sudah settle dan entah itu adalah yang terbaik adalah hal yang tepat? Kata temen gue, “Sekali-kali ngobrol sama hati lo sendiri.”


I’m not complaining about passion anymore, because at some point. We have to keep moving, and the passion will find itself.

Though, I’m complaining about rasa malas dan ketidak produktifan gue (sesuatu yang selalu jadi masalah seumur hidup gue), kecuali lagi ada trigger yang bikin gue jadi nggak males dan termotivasi. Nah, gue kangen masa-masa itu. Pas ada trigger yang bikin gue termotivasi.

Anyway. Gue baru menyelesaikan The Alchemist yang ditulis oleh Paulo Coehlo, direkomendasikan oleh salah satu temen gue yang kayanya belum bisa nemuin passion hidupnya hingga detik ini. Katanya bukunya bagus, meskipun dia sendiri belum baca bukunya. Lalu gue baca itu, dan gue terhipnotis sama filosofi-filosofi sederhana yang disampaikan oleh penulis karena sedikit banyak bisa gue relate ke kehidupan sehari-hari.

It’s about Santiago, a young, shepherd, boy, yang ketemu sama The King. Sosok yang membantu manusia untuk menemukan jalan hidupnya. I think, tulisan ini sebetulnya punya beberapa esensi penting yang bisa dipetik.

  1. Tujuan dan perjalanan hidup
  2. Bagaimana kemampuan lo untuk mendengarkan isi hati lo sendiri. That sometimes, your heart is telling you things that important. Yang mana sering diabaikan oleh manusia.
  3. Tujuan yang bikin hidup lo ketemu sama hal-hal nggak terduga.
  4. How you grasp the omen that is shown in your daily life
  5. Bahwa in the end, keputusan lo yang menciptakan perubahan dan gebrakan di hidup lo. (and that 4 things above won’t be important if you don’t decide. Life is full of choice and decision, people.).
  6. That Paulo understands a lot about christian. I’m not saying that he is religious, but he has his own interpretation about God.


Ini menarik, kaya yang gue bilang kalo bisa dihubungkan ke kehidupan sehari-hari. Tentang tujuan misalnya, (spoiler dikit), pasca ketemu sama si raja itu, Santiago dikasih tau kalo ada harta karun di piramida mesir, dan bahwa harta karun itu bisa jadi miliknya. Maka dia memutuskan untuk cari tahu tentang harta karun itu. Tujuan bikin lo menemukan hal-hal menarik dalam pencariannya. Life, guys...

Ada banyak hal menarik di sini, salah satunya adalah waktu Santiago ketemu Fatimah. A girl that he knows from the first glance is his destiny, his other half.

Santiago hampir melepaskan impiannya dan berhenti melakukan perjalanan ke Mesir. Bukan karena Fatimah, tapi lebih karena ketakutan Santiago sendiri kalau dia pergi dan nggak bisa balik untuk ketemu Fatimah. We encounter that kind of moments many, many times, eh? That moment when we want to stop because of something. So quoted from The Alchemist’s words, ”You must understand that love never keeps a man from pursuing his destiny. If he abandons that
pursuit, it's because it wasn't true love… the love that speaks the Language of the World.”

Endingnya mengejutkan. It should be, karena hidup juga begitu. Err, mengejutkannya anjing banget sih tbh. Hahaha. You should read this btw. Though, buku ini menceritakan tentang perjalanan, setiap adegan diselipin sama interpretasi pribadi penulis tentang kehidupan. Bacanya nyantai aja, jangan diseriusin banget. If you don’t really like that kind of thing, than it might be a little... boring. Masalahnya gue selalu kepoh tentang manusia dan cara mereka memaknai hidup. Kenapa gue suka.

Anyway, gue baru buka lagu-lagunya Diana Krall sambil ngelarin buku ini tadi. Dia orangnya kharismatik parah gitu, ya? Nyanyinya duduk doank loh padahal? Ah... I heart you already, Di.
  

Salam Roti!

1 komentar: