Penulis: Marisa Jaya
Sudah kubilang puluhan kali, ini film yang tidak realistis. Entah mengapa Miranda istriku terus saja menontonnya, dia sungguh menyukainya. Malam seperti ini, ketika hujan deras menggempur kota Bogor, kami sangat suka duduk di depan televisi dengan selimut hangat menutupi seluruh tubuh hingga leher. Aku juga suka malam seperti ini, karena Miranda akan menyandarkan kepalanya di dadaku, bisikan-bisikan manja yang diucapkannya lantas akan kami lanjutkan dengan seks yang hebat.
Sudah kubilang puluhan kali, ini film yang tidak realistis. Entah mengapa Miranda istriku terus saja menontonnya, dia sungguh menyukainya. Malam seperti ini, ketika hujan deras menggempur kota Bogor, kami sangat suka duduk di depan televisi dengan selimut hangat menutupi seluruh tubuh hingga leher. Aku juga suka malam seperti ini, karena Miranda akan menyandarkan kepalanya di dadaku, bisikan-bisikan manja yang diucapkannya lantas akan kami lanjutkan dengan seks yang hebat.
“Aku tahu apa yang kamu pikirkan, Will.” Miranda mengangkat wajahnya, menatapku, sebelum mengambil irisan daging panggang dan melahapnya. “Kamu nggak suka film ini. Tapi kamu juga nggak bisa memungkiri, ini sudah ketiga kalinya kamu meneteskan air mata ketika adegan Toby dan Mrs. Lovette.”
Aku mengernyit mendengar tuduhan tak berdasar itu darinya. “Aku
nggak menangis. Ya ampun, pria seperti apa yang mungkin menangis hanya karena
adegan semacam itu?” aku menyanggah tuduhannya, meski sambil mengelap air yang
begitu saja menetes dari mataku, tapi sumpah, itu bukan air mata! “Lagipula,
mengapa setiap rumah harus memiliki film semacam ini, sih? Kamu lihat tidak,
mana ada warna darah pudar seperti itu? Aneh!” aku menggerutu.
Miranda menahan tawanya sebelum mengalihkan pandangannya dan
kembali terfokus pada layar televisi.
Oke. Katakanlah aku memang pria yang sedikit melankolis,
tapi sungguh, bagaimana kau tidak menangis jika melihat kisah setragis ini? Pria
yang dipisahkan secara paksa dari istrinya hingga menyimpan dendam sebesar itu?
Aku dapat memakluminya, karena aku juga mencintai Miranda dan akan melakukan
hal yang serupa.
“Menurutku ide mereka sangat brilian! Menggunakan daging
manusia sebagai bahan utama membuat pie, itu sangat memotong biaya. Ya kan,
Will?”
Aku dan Miranda seolah berasal dari dunia yang berbeda,
seolah aku istri dan dia suaminya. Ketika menonton film seperti ini, aku akan
menangis karena adegan-adegan mengharukan, dan aku sangat menghargai jalan
cerita, sebaliknya dengan istriku, dia akan melihat hal-hal lain dari film itu.
Seperti yang baru di ucapkannya? Astaga! Seharusnya aku menyadari betapa
realistis dan menjengkelkan wanita ini.
Istriku memang penggemar berat film-film Tim Burton,
terutama film yang satu ini. Sweeney Todd, dan aku sama sekali tidak mengerti
dimana letak menariknya (selain adegan-adegan yang membuatku menangis, tentu
saja). Dia akan berkata, “Bukan masalah warna darah yang pudar atau ide cerita
yang mainstream, tapi seni dan aspek
musikal pada film ini sangat bagus menurutku.”
Biasanya aku hanya mengangguk dan membelai kepalanya jika
sedang malas meladeni argumentasi-argumentasi Miranda bahwa seluruh hal-hal
yang disukainya patut dimaklumi, dan karena dia memiliki selera yang bagus,
sedangkan aku tidak. (Bahkan aku mengatakan ini dengan nada malas dan helaan
napas dalam, sungguh!)
“Daging panggangnya habis,” Kini Miranda menoleh lagi, namun
dengan sorot mata memelas seolah-olah dia pengemis yang mengharapkan sebuah
tempat untuk bermalam. “Will, please...” senyum yang menyebalkan, pikirku dalam
hati.
“Kamu tahu tidak, kalau manusia sudah terlalu banyak makan,
dia akan malas berjalan. Seperti kamu itu, tuh.”
Dia masih dengan senyuman yang sama, terus menatapku. Ini
selalu berhasil entah mengapa, aku memaksakan tubuhku untuk bangkit dengan
gerutuan yang tidak habis-habisnya.
“Will,”
“Apalagi?” sahutku jengkel.
“Menurutmu apa rasanya pie yang diolah dari daging manusia?”
OooooooO
Aku terbangun karena rasa dingin yang begitu menusuk tulang,
dan ketika kulihat melalui jendela masih ada sisa-sisa gerimis sejak semalam,
hujan seperti ini akan awet sampai siang. Kekosongan di sisiku membuatku sadar,
Miranda telah bangun sejak pagi-pagi sekali, dan sungguh, entah apa lagi yang
diperbuat oleh wanita itu.
Pakaianku tersebar di seluruh penjuru ruangan, aku bahkan
tidak ingat lagi dimana menaruh celana dalamku, kami sudah tenggelam dalam
gairah dan hasrat yang menggebu. Makian begitu saja terbentuk dalam hatiku
ketika aku tidak bisa menemukan celanaku dari balik tumpukan sampah dalam kamar
ini.
Rumah sialan, pikirku. Merepotkan saja.
Rasa malas membuatku mengambil handuk putih yang tersampir
di balik pintu dan melilitkannya di pinggang. Ada sedikit bercak merah di
beberapa bagiannya, membuatku berdecak kesal, namun, sungguh, ada beberapa hal
yang tidak akan terlihat lagi jika kau mau mengabaikannya begitu saja.
Kulihat Miranda sedang sibuk dengan adonan di atas meja,
alat penggiling, dan serbet yang telah kotor oleh terigu.
Aku mengerutkan kening. “Kau benar-benar membuat pie seperti
di dalam film itu?” aku berdeham, ketika kurasa suaraku parau karena terlalu
banyak makan irisan daging panggang semalam. Oke, aku memang mengambilkan
camilan untuk Miranda, dan menghabiskan tiga perempatnya, tapi jika kau adalah
aku, diharuskan duduk dengan tenang menatap film membosankan, tentu kau akan
melampiaskannya pada makanan di tanganmu, kan?
“Dengan daging manusia juga?” tanyaku lagi. Sebelum Miranda
tertawa geli. Terlalu banyak menonton film itu membuat lelucon kami menjadi
janggal, namun aku menyukainya. Selama kami melemparkan lelucon itu
bersama-sama.
Istriku menyajikan sepotong pie di atas piring dan menatapku
untuk segera memakannya. Dengan ragu, (aku adalah suami-suami yang paling anti
menghina masakan istrinya, atau bahkan menunjukan ekspresi tidak suka, Miranda
sedikit defensif menyangkut cita rasa masakannya sendiri) aku memotong pie itu
dengan garpu dan menghirup aroma daging serta bawang yang ditumis.
“Kurasa aku menaruh terlalu banyak bawang saat menumis
dagingnya. Apa terlalu kentara?” tanya Miranda sambil bertolak pinggang. Hey,
kalau memang meminta komentar, mengapa harus memasang pose intimidatif seperti
itu? Dasar perempuan.
“Tidak, kurasa enak-enak saja. Lagipula, kamu memang harus
memakai banyak bawang untuk menambah aroma.” Atau menghilangkan aroma yang tidak diinginkan, pikirku. “Tapi pie
ini enak.” Aku mengunyah sambil tersenyum, merasakan daging cincang yang legit
di lidahku. Untuk karya istriku yang satu ini, jujur saja aku menikmatinya. “Harus
kuakui kemampuan memasakmu meningkat.”
Miranda menyunggingkan senyum dengan wajah yang tersipu.
“Tapi jika kamu nggak segera mencari uang, stok daging kita
akan habis sebentar lagi, Will.”
"Kurasa aku tidak perlu mencari kerja, deh."
"Kurasa aku tidak perlu mencari kerja, deh."
Percakapan kami terhenti ketika aku mendengar dering
telepon, aku segera bangkit (karena aku sangat tahu, Miranda tidak akan mau
menjawabnya), berjalan ke ruang tamu yang tidak jauh dari dapur, dan
mencari-cari letak telepon. Aku segera menjawab panggilan itu ketika kutemukan
teleponnya ada di koridor menuju kamar yang kutempati semalam. Tepat di depan
sebuah lukisan pemandangan membosankan. Rumah ini seharusnya memiliki sedikit
sentuhan.
Belum sempat aku menjawab, orang di seberang sana segera
memberondongku. “Selamat siang, dengan Bapak Bima Santoso?”
Aku mengernyit. Bima? “Bima sudah tidak tinggal di rumah ini
lagi.”
Segera kututup telepon itu. Sebelum kembali berdering, dan
aku mengangkatnya dengan kesal. “Pak, jangan main-main, ya. Jangan coba menipu
kami, kalau besok uangnya masih belum siap, saya akan mengirim orang saya
kesana untuk menghajar Bapak.”
“Datang saja.” Jawabku singkat, sebelum kubanting lagi
telepon itu.
Bima sialan. Lebih baik mati saja, daripada hidup menyimpan
utang seperti itu.
“Will!” terdengar teriakan Miranda dari dapur. Ayolah! Ada
apalagi, sih?
Aku berjalan cepat menghampirinya sebelum kulihat Miranda
tengah melipat kedua tangan di depan dada, dan menatap ke arah lantai. Kuikuti
arah pandangnya, dan mendapati seorang pria gempal berwajah cukup tampan (jika
tidak dilumuri darah seperti itu), tengah merangkak dari arah tempat penyimpanan di dekat dapur, hingga jejak darah yang
terseret mengikutinya.
Aku menarik napas dalam. “Kenapa dia hidup?” aku menoleh
pada Miranda dengan rasa heran.
“Karena aku memotong pita suaranya dan membiarkan pria ini hidup?”
“Jadi kau menyajikan potongan kakinya untuk camilan semalam,
dan pie pagi ini?”
“Will, kita harus mengirit. Aku sengaja membiarkannya hidup
agar dagingnya tetap segar, kupotong dari bagian paling bawah, kreatif sedikit,
deh!” Miranda tampak berpikir sebelum melihat handuk yang melilit di pinggangku. "Kenapa kamu memakai handuk itu, Will? Menjijikan, deh. Aku menggunakannya untuk membungkus potongan betis pria ini, kemarin."
Aku hanya mengangkat bahu, salah sendiri tidak membuangnya.
Aku hanya mengangkat bahu, salah sendiri tidak membuangnya.
Pria bernama Bima itu menggeram sebelum kembali berusaha
merangkak, menggapai-gapai kaki kursi yang tadi kududuki dan mencoba untuk
bangkit. Tentu saja percuma, Miranda telah memotong seluruh betisnya, dan sudah
kunikmati semalaman (padahal itu bagian yang sangat kubenci, sejujurnya).
“Habiskan saja untuk hari ini, besok akan ada orang yang
datang untuk menagih utangnya.”
Kurasa Miranda paham maksudku, karena dia mengambil pisau
besar dari atas meja dapur dan menebas kepala Bima dengan mudah.
OoooooO
Gedoran di pintu yang sungguh mengganggu.
Aku menguap dan membuka pintu, kulihat pria berumur dengan
kulit legam dan jenggot menutupi hampir sebagian wajahnya berusaha untuk
terlihat seram, namun alih-alih ketakutan aku hanya tersenyum, karena pagi ini
aku bangun lebih dulu dari Miranda, jadi aku mendapat kesempatan pertama.
Kubuka pintu, dan mendapati teriakan keras pria itu. “Tidak
usah kau basa-basi! Bayar utangnya sekarang juga!”
“Silahkan masuk dulu, Pak. Saya tidak punya uang, tapi
mungkin ada yang bisa diambil dari rumah saya untuk sementara.”
Dengan tatapan nyalang yang penuh curiga, dengan perlahan
pria itu melangkah masuk. Sepatunya berderap saat menjenjak di dalam ruang
tamu, aku menutup pintu dan menguncinya.
Sudah kubilang, kan?
Aku tidak perlu mencari kerja, dan kita tidak perlu pergi ke pasar untuk
membeli daging.
-End-
-End-
P.s. IYA INI FIKSI, hahahahahaha, gue barusan nonton ulang film Sweeney Todd, dan langsung tergila-gila lagi. Gue suka banget film itu (tapi gue masih suka daging kambing tenang aja). Semoga fiksinya gak sarap-sarap banget, ya. Atau mungkin di antara lo yang baca dan terus bilang.. "Tuh, kan. Di pertengahan gue udah curiga mereka kanibal!"
Gue juga lagi belajar bikin cerita-cerita pendek, jadi iseng dekhs.
Salam Roti!
1 komentar:
Lo penulis atau peramal hah ?? Kenapa lo tau ITU yang ada di pikiran gue waktu pertengahan cerita ??
hahahahaha
Posting Komentar