Senin, 19 Agustus 2013

How to Treat People with Autism or Down Syndrome? (No, I Have No Idea)

Jadi, beberapa hari ini gue melakukan research.

Kedalam otak dan memori gue. Haha. Enggak, tapi serius. Dalam rangka liburan kemarin gue ke kampung embak gue di Purwakarta, dan gue nginep di desa selama beberapa hari. Sebetulnya gue udah pernah jalan kesana dari beberapa tahun lalu, pas itu gue masih SMP.


Nah, disaat gue nginep itulah, gue kenalan sama satu anak yang namanya Mela (sekarang umurnya 13 tahun?) dia udah remaja, tapi mukanya masih sama kayak terakhir kali gue inget dia. Embak gue sendiri punya kelainan sama matanya, jadi memang mata sebelahnya gak berfungsi, mungkin dari dia lahir, tapi dia loyal sama keluarga gue, jadi kalo lo jalan sama gue lo gak bakal heran kalo setiap gue pulang (kadang2) gue beli oleh-oleh buat embak gue dan bukan buat anggota keluarga lain. Karena dia sendiri udah kayak nyokap gue.

Anyway, Mela itu keponakannya. Gue inget beberapa tahun lalu, waktu gue dateng kesana karena ibunya embak gue meninggal, dan dia harus pulang buat pemakaman, gue ikut dia pulang kampung. Pas itu gue masih SMP, kalo gak salah. Orang pertama yang duduk di sebelah gue, terus megang tangan gue dengan muka penasaran itu si Mela.

Gue inget banget kalimat pertama yang dia ngomong ke gue. “Mbak, kukune dawa dawa.”

Satu. Gue bukan orang jawa. Dua. Pelafalan dia gak jelas. Ya well, meskipun pelafalan dia jelas, gue tetep gak bisa bahasa jawa. Hahaha. Dan kemudian gue tau kalo itu artinya.. “Kukunya panjang-panjang.” Dan dia bandingin sama kuku dia, yang katanya gak sepanjang gue.

Gue gak tau sih apa kelainan Mela, tapi sekarang gue asumsikan dia kena down syndrome. Karena Mela gak bisa lanjut sekolah setelah kelas 1 SD. Dan hell, dia tinggal di desa, dimana gak ada seorangpun yang teredukasi mengenai kelainan down syndrome dan cara menghadapinya.

Well oke. Pada saat itu gue SMP, dan lo gak mungkin berharap gue tau cara menghadapinya kan?

Yang gue tau dia aneh, dan dia terlalu suka ngikutin gue kemana-mana. Beberapa hari tinggal di desa tersebut gue mulai bergaul sama beberapa penduduk sana yang seumuran gue, dan Mela seperti, ngeganggu interaksi gue dan temen-temen baru gue itu. Karena ya itu, dia selalu ngikutin gue. Dan itu nyebelin, gue gak suka ditempelin sama siapapun.

Jadi suatu hari, waktu gue lagi main sama temen-temen gue, mereka mulai nge-bully Mela. Gue lupa deh nge-bullynya gimana, intinya Mela jadi ngamuk dan teriak-teriak. Sebagai orang yang paling dia suka dan dia percaya, gue termasuk... mengkhianati kepercayaannya? Karena gue ikut ngetawain dia, dan serius gue pikir dia aneh pada saat itu. Dan gue pikir itu lucu.

Lo pasti mikir gue jahat. Ya emang sih gue jahat. Tapi lo boleh ngatain gue, ketika lo bisa menjamin bahwa lo gak akan melakukan hal yang sama ketika lo ada di posisi gue.`

Karena semua orang melakukan hal yang sama. Oh enggak. Enggak, gak Cuma di kampung yang pada saat itu gue pikir gak teredukasi. Gue jadi keinget waktu gue SMA, dan SMP, dan SD. Err. Gue punya satu temen cewek yang sedikit beda, kalo ini gue perkirain autis, tapi gue juga gak bisa sok tau. Intinya dia beda. Tapi dia baik, dan gak ada yang mau temenan sama dia. Bahkan mungkin mereka-mereka yang bisa dibilang, err.. gak gaul-gaul banget? Mereka juga gak mau temenan sama dia.

Anyway, semua temen-temen cowok juga suka nge-bully dia. Kadang sampe dia nangis dan ngamuk, dan teriak-teriak. Gue memaklumi, karena mungkin kita belum ngerti dan dewasa pada saat itu. Tapi SMA 3 lo bersikap kayak gitu. Daymn. Betapa terbelakangnya kita. Termasuk gue, karena gue juga selalu ikut ngetawain dia kalo temen-temen gue kayak gitu.

Ada tiga tipe orang yang gue tau menghadapi temen-temen gue yang beda. Satu, mereka yang aktif ngebully dengan anggapan ketika temen lo itu ngamuk dan nangis berarti lucu. Dua, nice, tapi gak gitu perduli dengan keadaan temen lo itu. Atau tiga, berusaha ada di samping dia.

Menemukan yang ketiga itu susah, dan gue bukan di antaranya. Gue tipe yang pertama, atau tipe yang kedua ketika gue lagi nice. Gue akan mengabaikan kalo memang temen gue lagi ngomong sama gue.

Dan entah kenapa beberapa hari ini itu menghantui gue. Atau, ya, sejak gue baca fanfic tentang cewek yang menderita asperger sih, gue jadi penasaran tentang penyakit itu.

Karena jujur aja, setiap kali orang ngelakuin hal yang mengolok-olok Mela atau temen sekolah gue itu, ada rasa bersalah di gue. Atau sakit hati, yang gue gak ngerti kenapa gue yang sakit hati. Jadi pada intinya sebetulnya gue sendiri gak bisa nerima perlakuan kayak gitu, tapi toh gue juga gak bisa berbuat apa-apa. Karena gue juga berpikir mereka aneh. Dan gue gak mau sok heroik.

Sebelum ditimpukin, im being honest, here.

Jadi gue gak akan ngomong bullshit pasaran tentang.. “Ngeliat mereka, seharusnya kita bersyukur kita terlahir normal.” What, so you feel sorry for them? You should feel sorry if your cat died or something. Karena kalimat itu semakin terdengar munafik dan mengasihani, dan seperti sebuah pertanda besar, bahwa lo gak menganggap “mereka” itu manusia.

Dalam rangka liburan kemarin, setelah gue sudah lebih siap menghadapi Mela, dan gue cukup ngerasa bersalah atas apa yang gue lakuin. Waktu Mela dateng, (gue gak tau apa dia lupa kalo gue ikut ngetawain dia sekitar beberapa tahun lalu. I was being mean to her) dia langsung nyubit pipi gue, dan ngikutin gue kemanapun. Only this time, i let her. Dan dia keliatan suka banget mainin bebe butut gue. Dan sedikit posesif ke gue. Jadi selama dia ngegandeng gue kemana-mana, dia gak ngasih orang lain nyentuh atau nyalamin gue, dia bakal teriak. “Batire aku!” dan ternyata setelah nanya, itu artinya. “Temen aku.” Gitu.

Dan kemarin waktu dia ngebandingin kuku gue dan dia, ternyata kuku kita udah sama panjangnya.

Anyway, gue ngajarin Mela foto, dan dia langsung excited foto-foto anggota keluarganya, di suruh pose dan segala macemnya, terus dia nyuruh gue foto dia. Tring...





























Tidak ada komentar: