Rabu, 14 November 2012

First Rule of Success: DREAM IT!


Oke. masih tentang dunia kampus. Setelah beberapa saat di kampus, beberapa bulan maksud gue. Ada beberapa hal menarik yang gue temukan di sini. Selain teman-teman baru, gue merasa keluar dari dalam kebun binatang di mana semua lingkungan gue memiliki pola pikir yang sama. Maksud gue, SMA. Entah gimana dengan teman-teman SMA gue yang lainnya, tapi seperti biasa, gue itu suka melihat keunikan-keunikan yang gue temui dari orang lain.


Gue punya satu temen sekelas, sebut aja namanya ucil. Ucil ini muslim berjilbab, yang selalu tampil modis dengan busana muslimnya. I like her, biarpun awal gue ketemu sama dia, gue sempet mikir nih anak sengak banget. Tapi sampe sini, gue baru nyadar. Itu mungkin bukan sengak, mungkin itu faktor kaca mata yang suka melorot di idung yang bikin gue berpikir dia terlihat sengak dan mengingatkan gue sama guru akuntansi gue dulu. Kaca mata itu bikin dia keliatan kayak superman yang punya kepribadian ganda. *oot*

Gue terlahir di keluarga Chinese, dimana pola pikir kebanyakan kita itu sama. Dimana kita selalu berpikir tentang gimana memakmurkan aspek finansial, gimana bisa nyekolahin anak-anak, gimana kita bisa dagang supaya dapat hidup yang nyaman, gimana kita harus bekerja keras untuk dapat kehidupan yang nyaman di kemudian harinya. Gue akui. Kaum gue, warga keturunan, kita kaum-kaum pekerja keras yang realistis.

Melihat ucil, membuat mat ague terbuka bahwa dunia begitu luas. Dia sering sharing tentang pengalamannya yang pernah dua tahun di US, dan kegiatan-kegiatan dia disana. Dia bukan orang biasa menurut gue, seperti ada website detik.com yang masuk ke dalem kepalanya. Wawasannya luas, entahlah. Cara dia ngomong, cara dia menyampaikan sesuatu, yang menarik, cara dia berpikir. Gue tercengang.

“Gue pengen jadi city designer.”

“Lo yakin?” Tanya gue sedikit gak percaya. City designer? What the hell? Apa yang bisa dibagusin dari kota ini.

“Yakin.”

Errr okay.

Atau seperti suatu siang, di satu mata kuliah, ketika dosen lagi ngejelasin, dia nyoret2 catetan itu di atas selembar kertas, dalam bentuk skema. Catetannya gak pernah rapih, selalu berantakan.

“Emang nih catetan bakal lo baca?”

“Enggak.”

Dan keliatannya kertas itu beneran kebuang. Tipikal penentang peraturan. Gak pernah ikutin kaidah yang orang biasa lainnya lakukan. Cara pandangnya luas. Sesuatu yang gak pernah gue liat seumur hidup gue. Sesuatu yang memotivasi gue, sekaligus membuat gue takut.

Sebagai warga keturunan, gue punya arogansi tersendiri, bahwa kaum gue itu pekerja keras dan seringkali meraih kesuksesan dengan cara itu. melihat Ucil, membuat gue sadar. Dia begitu kreatif, seniman sejati, seseorang yang gak berlaku biasa, seseorang yang out of the box. Seseorang yang penuh kejutan dan gak akan pernah bisa gue tebak isi otaknya. Somehow, gue takut. dia punya keluarga yang suportif, open minded, dan terbuka. Nyokapnya, yang menurut ceritanya berumur empat puluhan, penggila hip-hop dan sering nonton konser bareng anaknya. THE HELL. Gue merefleksikan hal itu kepada keluarga gue, kepada bokap nyokap gue yang kolot, yang bentak-bentak gue sambil marah-marah Cuma gara-gara gue nge-band. CUMA GARA-GARA GUE NGEBAND?!

Gue sharing perihal ini dengan seorang temen cowok gue yang juga memang keturunan.

“Semenjak kuliah, mata gue kebuka, bro. cara pandang keluarga keturunan kek kita, sama mereka itu jauh beda banget.”

“Memang..”

Dia juga salah satu teman gue yang hobi nyanyi, dan gak dapet dukungan dari orang tuanya, sama. Situasi kita hampir sama. Dagang-dagang-dagang. Cari duit, hidup nyaman. Kita terkurung di dalem kotak yang kita ciptakan sendiri. Temen cowok gue ini mengakui, dia gak dapet support penuh dari dua orang tuanya, bahkan kuliah ini pun dia yang tentuin sendiri, pergi seminar-seminar sendiri, tanpa orang tuanya tahu. Karena mungkin gue dan dia yakin, kalo kita utarain itu, paling bakal dibilang gini.

“Jangan muluk-muluk. Yang wajar-wajar aja kenapa sih? Ikut-ikut begituan buat apa? Mending lu dagang, cari duit, biar lu bisa hidup nyaman.”

Buat gue itu konyol. Membuat batas sialan di dalem hidup lo sendiri. Kurang konyol apa lagi coba? Gue muda, gue punya banyak waktu, gue punya banyak peluang dan kesempatan. Gue suka banget kata-kata dosen gue suatu hari..

“Kalo kamu gak punya mimpi yang tinggi, Marisa. Pabrik roti kamu Cuma akan jadi pabrik roti murahan yang gitu-gitu aja.”

Dan sekarang. Setelah gue kuliah, ketemu dosen itu, gue bener-bener merasakan arti penting dari bermimpi.

“Tahu apa yang seringkali orang gagal lakukan?” Tanya dia siang ini.

“Gagal mewujudkan rencananya, pak..” jawab beberapa temen sekelas gue.

“Gagal mewujudkan rencana itu hal lumrah. Tau gak apa yang seringkali gagal orang lakukan? Merencanakan mimpi-mimpi mereka.”

Damn.

Gue sekarang menemukan alasan. Kenapa ada orang yang sukses dan puas sama hidupnya. Kenapa ada orang yang terkungkung dalam keadaan ekonomi pas-pasan, keluhan tiada akhir, dan situasi yang stuck. Begini-begini aja. seperti gue sekarang.

Karena gue bahkan belom berhasil membuat rencana bagi mimpi-mimpi gue. Semuanya blur, gak ada ikatan emosional khusus dengan rencana-rencana yang gue buat. Oke. selain rencana gue untuk nulis dan nerbitin buku tentunya.

Sekarang waktunya gue berpikir, gimana gue bisa jadi orang yang baru, kreatif, dapet banyak pelajaran di hidup gue dari dunia kampus. Gimana gue berkarya di tengah keterbatasan dukungan keluarga yang menurut gue berpola pikir begitu sempit, dan realistis.

Dan honestly, gue bahkan sempat berpikir tolol, kalo gue akan memulai semuanya setelah gue keluar dari rumah ini. setelah gue punya kebebasan penuh atas diri gue sendiri. Nyatanya itu kelamaan.. sekarang masanya orang-orang muda sukses, kalo nunggu timing semacam itu……… gak jadi muda sukses, jadinya rada tua dan sukses, udah gak keren lagi.

Ternyata bener kata enci gue dulu, lulusan s1 desain interior. “Entar kamu liat deh, orang-orang pribumi itu jiwa seninya lebih ada dari pada orang keturunan kayak kita.”

And its true. Gue sudah mendapatkan bukti nyatanya.

Tapi gimana gue bisa refleksiin itu kedalam hidup gue sendiri, gimana gue bisa jadiin itu suatu gambaran untuk gue kedepannya. Its glad to know her by the way. Biarpun gue kadang suka keliatan idiot kalo lagi ngobrol sama dia, dan jujur gue memang ngerasa idiot kalo lagi ngobrol sama dia. banyak hal yang bisa gue ambil.

Sekarang. Waktunya gue bikin outline tentang hidup gue.

Sama kayak buat novel. Novel itu sama kayak hidup. Outline itu rencana cerita. Jalur kehidupan yang lo tentukan dari awal. That’s why. Gue butuh itu.

Sekian sharing hari ini.

Gue masih belom tau apa yang harus gue lakukan sih, minimal. Gue punya semangat baru. Yiha.

Salam roti!

1 komentar:

Anonim mengatakan...

ak tunggu buku'x dtoko buku terdekat :)
*tegebe*