Sabtu, 12 November 2011

Membangkang *Lagi??*

Kita sama-sama tahu, gue bukan tipikal orang yang bisa menahan emosi meluap-luap dan keadaan diinjak oleh orang lain dalam waktu yang lama. Gue sendiri gak suka melihat teman gue diinjak oleh orang yang gak sepantasnya menginjak, atau menuduh dalam situasi orang tersebut gak sepantasnya menuduh. Itu satu dari beberapa alasan, gue sering ngelawan guru.




Banyak temen yang menasehati gue untuk gak seperti itu. karena bagi mereka, suatu hari sifat gue ini akan jadi masalah buat gue. Iya, gue yakin. Sayangnya, gue gak merasa ada yang salah dengan itu. maksud gue, apa salah kalo gue mengedepankan hati nurani gue untuk menyalahkan sesuatu yang memang “salah”?

Kemarin itu seperti biasa akhirnya gue menumpahkan kekesalan gue. Masalahnya karena seorang temen cewek sekelas gue dibikin nangis oleh seorang guru gue. Tanpa perlu gue sebut mata pelajaran apa yang dia pegang. Intinya dia mengusir teman gue ke belakang kelas, memang, teman cewek gue ini langganan ngobrol sama kayak gue. Jadi asumsi gue si oknum memang benci banget sama temen gue ini. kemarinnya, temen cewek gue sakit dan tidur di kelas, lalu di bentak dan mau di siram air oleh guru gue ini.

Setelah kejadian pengusiran itu, teman gue menelungkup di atas meja. Si guru masih berniat bentak dia. Sialan banget dalam hati gue. Waktu pertama kali temen gue di bentak, dia bangun gue udah prediksi temen gue ini nangis. Lalu akhirnya dia menelungkup lagi, dan di bentak lagi.

“Heh, bangun-bangun! Sekali lagi kamu ke kantor!” kata si guru dengan suaranya yang najis bikin pusing.

“Nangis pak, dia nangis..” temen-temen gue berusaha ngasih tau.

“Kenapa dia nangis?” si guru terlihat mikir bentar. “Kamu kan emang salah.. bla bla bla..” gue lupa dia ngomong apa lagi. Yang jelas, karena kekesalan yang menumpuk dari berhari-hari lalu. Gue langsung nyeletuk.

“Salah gimana, Pak? Tadi dia mau pindah ke depan bapak, bapak ngusir dia. Jelas aja dia sakit hati, Pak. Bapak introspeksi diri donk sekali-kali, jangan Cuma nyalahin murid..” suasana kelas mendadak tegang.

Si bapak senyum-senyum idiot.. “Itu strategi saya.” Man, dia masih ngelak. “Saya punya strategi.”

“Strategi apa yang bapak punya dengan ngusir dia kebelakang? Padahal dia pengen duduk di depan dan belajar?”

Si guru keliatan mikir banyak. Bagi gue, dia memang udah salah dengan ngelakuin itu.

“Kemarin, waktu dia tidur karena dia DALAM KEADAAN SAKIT, bapak mau nyiram dia pake air dan apa yang bapak bilang?”

“Bodo amat..” freak. Dia menjawab BODO AMAT di depan kelas pada saat itu.

“Dan bapak bilang bodo amat??” gue menegaskan ke dia sekali lagi.

“Iya bodo amat.” Kata dia. Gue langsung senyum-senyum karena tiba-tiba beberapa teman sekelas gue tepuk tangan. “Kalo sakit pulang aja. ngapain di kelas..” kata dia lagi.

Dan gue mendengar beberapa teman gue nyeletuk “Emang bapak yang punya sekolah?!” atau “Bapak mikir donk pak!” apa susahnya dengan minta maaf pada saat itu? see? Ternyata teman-teman sekelas gue pun benci sama dia.

Gue sebetulnya cukup kesian, karena pada saat itu, si Bapak terlihat gemetar. Gue perhatiin pipi dia yang gemeter. Iya, gue tauk. Gue menang. Telak. Dan dia kalah. Total. Ini belom selesai. Gue bertaruh, gue akan perpanjang masalah ini sampai gue anggap masalah ini selesai.

Dan ya, gue melapor ke ketua yayasan pas istirahat, gue merangkum kritik dan saran buat si guru di atas selembar kertas, setelah persetujuan teman-teman sekelas, gue serahkan keketua yayasan. Gue bukan mencari dukungan buat berantem-berantem murid dan guru, tapi gue punya tujuan. Gue mau suasana belajar yang kondusif, gue mau dia berubah menjadi pendidik yang sesungguhnya bukan guru abal-abal yang Cuma bisa tereak-tereak, ngajar gak terprogram, dan sumpah. Dia gak pernah menguasai materi di kelas. Itu najis buat gue.

Gue berhasil. Entah apa yang terjadi, pokoknya pas gue lagi gak masuk sekolah *buat endoskopi*, ternyata dia minta maaf di depan kelas. Dia benar-benar ngerubah cara ngajar dia, dan murid-murid langsung mengakui, mereka semua akhirnya ngerti juga apa yang dia ajarin. Si guru bahkan sempet nyariin gue karena gak masuk. Jadi untuk pertama kalinya, gue mengakui. Gue respek sama guru ini. gue menghargai usaha yang benar-benar dia lakukan untuk berubah di depan kelas. Buat gue itu satu kemajuan. Banget.

Dengan kemantapan hati, gue nyamperin si guru dan minta maaf atas kekurang ajaran gue. Untuk kali ini, gue mengakui masalah clear. Tujuan gue tercapai, dan gue sendiri juga akan komitmen untuk berubah dan menghargai si guru. Ini happy ending, meskipun ada beberapa teman gue yang menjadi pihak oposisi dan gak begitu setuju dengan perilaku gue, toh akhirnya suasana berubah. Bagi gue, kalau gue gak berani mengambil keputusan membangkang pada saat itu, kemungkinannya dua. Kita gak lulus ujian karena cara ngajarnya yang luar biasa aneh. Tiga, gue akan terus menyimpan kekesalan gue dan membikin diri gue sendiri yang gak lulus, karena gak bisa konsen pelajaran dia.

4 komentar:

Anonim mengatakan...

Mar, kayaknya ada yang salah ketik di paragraf ini:
"Bagi gue, kalau gue gak berani mengambil keputusan membangkang pada saat itu, kemungkinannya dua. Kita gak lulus ujian karena cara ngajarnya yang luar biasa aneh. Tiga, gue akan terus menyimpan kekesalan gue dan membikin diri gue sendiri yang gak lulus, karena gak bisa konsen pelajaran dia"

btw, cieee...

-Anonim-

Marisa Roti mengatakan...

ano: iya, gue ketik "tiga" padahal harusnya "dua"
perhatian banget lo ama ketikan gue. hebat.

yoedi mengatakan...

palingan si gendut.. siapa lagi.... ckckck

Marisa Roti mengatakan...

mehehehehehehehehe
ember
kemaren gue ketemu desi angkatan lo itu loh di bensol. trus ngobrol2in soal dia gitu

emang pas angkatan lo juga eror kan dia???