Minggu, 17 Januari 2016

Review: Tribute to Adinia Wirasti

Caca selalu bilang sama gue bahwa ada dua kriteria penting untuk define apakah sebuah film itu bagus  atau enggak: 1. Script. 2. Jalan cerita. Gue bilang, gue ga percaya. Karena menurut gue apa yang membedakan film dan buku adalah visualisasi itu sendiri. Itu kenapa efek visual dan teknik cinematografi penting. “Iya, tapi sekeren apapun visualnya, kalo jalan ceritanya pada dasarnya emang jelek, film itu bakal jelek kan? Cinematografi itu Cuma masalah teknologi, Mar.”


But it helps, a lot, right?

Anyway, gue lagi mau ngomongin soal artis favorit gue beberapa minggu belakangan ini sih. Adinia Wirasti, a gorgeous, exotic, indonesian girl who’s really good at acting. Obsesi gue pada Adinia sebetulnya berhasil menyelamatkan liburan gue (alias jadi ada kerjaan). Gue baru sadar sebetulnya dari dulu udah beberapa kali nonton film dia tapi ga sadar kalau itu dia.

So far gue udah nonton empat film dimana dia jadi pemeran utamanya, Tentang Dia (2005), Kapan Kawin (2015), Laura dan Marsha (2013), dan 3 Hari Untuk Selamanya (2007). Gue pengen banget nonton Selamat Pagi, Malam (2014) baru order dvdnya, so I’ll watch it soon. Post kali ini adalah review singkat gue tentang 4 film yang udah gue tonton tadi.

Tentang Dia 6,5/10

Tentang Dia adalah film yang menceritakan tentang perjuangan Gadis (Sigi Wimala) dalam menyembukan patah hati pasca diputusin oleh pacar. Lalu dia ketemu Rudi (Adinia Wirasti), cewe yang berasal dari kelas menengah ke bawah but makes Gadis really comfortable just by her presence.

Gue nggak begitu suka dengan film ini. But it maybe just me. Pertama, karena gue nggak terlalu suka puisi, sementara cerita ini berpusat pada rahasia perasaan kedua karakter yang dituangkan ke dalam karya-karya puisi mereka. However, gue harus kasih applause untuk kecantikan dan akting Sigi Wimala. Sementara Adinia Wirasti yang memerankan Rudi? Badass as ever.

Kedua juga pace cerita yang terlalu lambat. Menurut gue. But I like the chemistry between those two. Karakter Gadis, cewek introvert dan penyendiri yang sedang memasuki masa terpuruk di hidupnya karena patah hati, meskipun menurut gue deskripsi sakitnya dia ga natural dan terlalu berlebihan (dialog tiba-tiba teriak kalo lagi ngomong dan tiba-tiba nangis). While maybe ditujukan untuk menegaskan perasaan Gadis tapi gue sebagai penonton jadi ngerasa itu ga logis. Jatuhnya malah bingung dan ga ikut sedih.

Kehadiran Rudi cewek serampangan yang apa adanya dan menyimpan banyak rahasia can complement Gadis nicely. The point is, I like them. But  I don’t really like the movie or the storyline. Too cheesy and predictable.

Kapan Kawin (7/10)

Two words for this movie: Reza Rahadian.

Anjas tuh laki ganteng banget.

Btw, nonton film ini kaya ngerasain makanan sederhana katakanlah indomie goreng tapi dengan ingredient yang ga biasa. Spesial, yang bikin film ini juga jadi spesial buat gue. Ingredient spesial dalam film ini adalah Reza dan Asti (Iya gue sok kenal. Maksudnya Adinia Wirasti). Reza yang memerankan Satrio seniman jalanan idealis, nyentrik dan nyebelin serta Asti yang memerankan karakter Dinda, cewek perfeksionis tapi plegmatis parah. Selalu ngalah untuk orang-orang di hidupnya. Menurut gue pembawaan film ini sebagai romantic comedy udah berhasil banget. Lucu tapi romantis. Komedi tercipta karena situasi yang terjadi, dimana Dinda terpaksa harus nyewa Satrio untuk pura-pura jadi pacarnya agar bisa menenangkan keresahan orangtuanya karena Dinda belum nikah-nikah. Predictable? Very. Light? Of course. Cheesy? Yes! Actually itu salah satu alasan gue Cuma bisa kasih skor 7 untuk film ini. Its personal sih, emang dasarnya aja gue ga suka adegan cheesy.

Tapi... chemistry antara dua karakter ini keren banget. Unik juga karena tokoh Satrio yang nyentrik itu bersandingan sama Dinda si cewek yang mau segalanya sempurna. Seringan apapun film ini, sebetulnya ada isu keluarga yang cukup berat dibalik pertanyaan “Kapan Kawin” itu sendiri, alasan sebenarnya Dinda sendiri harus berusia 30 tahun dan belum menikah. Gue suka ketika bagian ini terbuka di pertengahan film, yes it is light, but not as light as I thought.

Laura dan Marsha (8,5/10)

Film ini bikin gue berhasil jatuh cinta lagi sama Prisia Nasution dan keindahan Eropa (bikin imajinasi gue melayang-layang bahwa suatu hari gue bisa menggagahi Denmark, Belgia, atau Austria). Btw, sebetulnya dari dulu Prisa Nasution ini emang udah menarik perhatian gue sejak mukanya muncul di FTV SCTV, beda dari artis FTV biasa. Entah gimana orang aslinya, tapi cewek cantik ini ngasih kesan dingin dan distant. Cantiknya dingin, duh gitu deh pokoknya.

Jadi menurut gue, nggak ada yang lebih tepat untuk memerankan tokoh Laura selain Prisia. Oh, pardon me. Laura dan Marsha ini adalah cerita perjalanan dua sahabat yang berkeliling Eropa dimana konflik satu per satu terjadi selama perjalanan dan ngebuka rahasia dua sahabat ini kepada satu sama lain. Kaca tipis yang membatasi persahabatan mereka dan memang pasti akan pecah pada suatu waktu. (Terjadi di Eropa dalam film ini).

Laura adalah cewek yang sangat uptight dan well-organized. Pokoknya nggak bisa live to the fullest or savour the moment. Dia selalu merasa semua hal harus berada di dalam kendalinya, and when it doesnt. Then disaster. Sementara Marsha adalah penulis buku travelling yang ekspresif dan berjiwa bebas. Dia impulsif, spontan, nyentrik, tapi punya kemampuan bertahan hidup yang luar biasa.

Gue suka dialog filosofis dan mendalam antara mereka berdua. Natural but deep. Seperti waktu Marsha ngaku bahwa dia ngumpetin passport dan dompet Laura selama ini, she said...
“You’re free when you have nothing to lose.” While, personally, i think it’s stupid. I have to admit that she’s true. Terutama dengan karakter Laura yang digambarkan sangat kaku dan sebagainya.

Konflik yang terjadi antara dua sahabat ini juga bukan sesuatu yang dibuat-buat. This kind of thing often happens to our friendship but maybe never spoken. Menurut gue itu yang bisa bikin gue relate dengan konflik yang terjadi di antara mereka, logis. Gue ngerasain ketegangan dan kekesalan yang sama waktu puncak konflik mereka berdua di sebuah bangunan di Austria (if im not mistaken).

Hmn, however gue nggak terlalu suka dengan twist yang terbuka di akhir cerita. Too unusual, dan bikin gue pengen ngomong, “Apaan, sih? Kebetulan banget gitu?”. But yes, its really unpredictable.

Gue suka esensi yang dapet banget di film ini tentang sebuah perjalanan. That sometimes, it’s not really about the view, the circumstance, nor the place, but the journey itself. Ya, perjalanan. Asik atau enggak, ada hambatan atau enggak, nyaman atau enggak, its still a journey.

3 Hari Untuk Selamanya (7/10)

Gue belom pernah nonton AADC tbh (Iya, bunuh aja gue), jadi gue bukanlah pemuja Nicholas Saputra, apalagi gue dari dulu nggak pernah suka sama cowo gondrong, ya dia rambutnya nggak gondrong, sih. Cuma keriting-keriting gitu.

Btw, nggak berbeda jauh dari Laura dan Marsha, film ini menceritakan perjalanan Yusuf dan Ambar, saudara sepupu yang harus menghadiri pernikahan Andien kakak Ambar di Jogja. Karena Ambar yang ketinggalan pesawat, jadi harus berangkat bareng Yusuf yang sengaja naik mobil karena disuruh nganter perkakas dapur sama nyokapnya.

One sentence for this movie: Kebanyakan ngebaks sama nyebat!

Esensi utama dari film ini menurut gue Cuma dua. Pengenalan karakter Ambar dan Yusuf kepada penonton dan pengembangan chemistry serta ketertarikan antara Ambar dan Yusuf yang jadi obvious dalam perjalanan ini.

Gue suka banget ketika dalam satu adegan di sebuah pemakaman (lupa namanya apa), Ambar berdoa pada Bunda Maria, dan di situ keresahan seorang Ambar dibuka. Tokoh Ambar sendiri adalah cewek yang spoiled dan seumur hidupnya Cuma diisi sama dugem dan narkoba. Beda sama Yusuf yang pintar, baik, dan idealis. Nah, Ambar resah akan masa depannya sendiri. I can relate with that. We all have the same problem.

Budaya Jawa yang dilihatkan di film ini juga lucu banget. Mulai dari Bandung, Tegal, Pantura, Jogja. Seru deh. Lucu aja terutama karena gue udah pernah melewati tempat-tempat itu juga. Tapi apa, ya. Gue nggak ngerasa ada keterikatan emosional sama film ini despite banyak orang bilang film ini bagus. Yang ada malah keterikatan sama betis dan paha Asti. Hehe.

Oh anyway, penggambaran dan pengenalan akan dua karakter tadi cukup oke. Deskripsi keresahan dan struggle dua remaja berumur 19 tahun yang jauh berbeda secara karakter.

If you don’t like a  slow paced and anti-climax (semoga istilah gue tepat) movie, then it might not be your cup of coffee. But I still  recommend it.

Nah, sekian review gue tentang empat film tadi. Eh, tapi serius deh gue naksir beneran sama Adinia Wirasti. Senyumnya bikin kebawa mimpi, sis!

Oh iya, kesimpulan dari perdebatan antara gue dan Caca, I have to admit that she’s right. Bahkan sepanjang review tadi gue cenderung lebih banyak komen untuk konflik, jalan cerita, dialog, dan artisnya. So, I won’t debate her anymore about this.


Salam Roti!

1 komentar:

Anonim mengatakan...

eh rot, itu untuk film tentang dia bukan lulu tobing ..... klo gw boleh koreksi itu si sigi wimala. lu dpet info darimana tu orang namanya lulu tobing? ky nonton tersanjung aj lu.....