Senin, 02 November 2015

Anak Bungsu, The Next Leader

  1. Selalu dianggap anak bungsu dengan konotasi anak kecil – anak paling kecil
  2. We get use to this sentence, “Aduh lu tuh kerja apa-apa nggak bener, sih.”
  3. Kena stereotip “Ceroboh”, “nggak bisa mandiri”, “selalu ngandelin orang”, “kelewat dimanja”, sampe, “nggak bisa apa-apa”.
  4. Nggak dianggap “pantas” memusingkan masalah-masalah yang ada.
  5. Dianggap nggak bisa megang tanggung jawab dan dipercaya
  6. Sampe-sampe orangtua lo kayanya mikir, “Yaudahlah, nih anak gue tanggung aja ampe gede daripada nggak jejuntrungan.”
  7. Padahal barangkali di luaran sana, elo lebih “dependable” dan lebih “kreatif” dibanding kakak-kakak lo. Mungkin softskill lo lebih ada, visi dan misi lo lebih jelas, dan leadership lo jauh lebih bagus.


Ada satu percakapan menarik antara gue dan satu teman (berjenis kelamin cowok) gue suatu hari (doi anak bungsu).

Intinya dia curhat, kalo dia itu stress banget perihal kerja praktiknya dia karena belum dapet-dapet. Dan seperti kebanyakan krisis mahasiswa seumuran gue, kita pusing soal masa depan. Abis kuliah mau kemana, mau jadi apa, dan sebagainya.

Karena orangtuanya (asumsi gue juga sama kaya orangtua gue), sering banget ngoceh-ngoceh. Misalnya karena hal kecil kaya dia nggak bisa benerin mobil yang mogok. Yang bikin anak itu, waktu suatu hari lagi berangkat les, mobilnya mogok, dia sampe nggak berani nelpon dan minta bantuan orangtuanya, karena takut dianggap “nggak bisa apa-apa”.

Gue bilang, “Nggak usah didengerin kalo orangtua lo ngomong gitu.”

“Iya, tapi kalo tiap hari diomongin gitu kan lama-lama gue jadi kepikiran juga. Masalahnya kerjaan gue juga ngabisin duit orangtua gue melulu. Contohnya les, gue minta les ini, les itu.”

“Ya tapi kan itu juga buat karir lo entar.”

“Iya tapi kok gue ga bisa loh, kaya orang-orang yang udah kerja segala macem.”

Then it hit me pretty hard.

Bahwa gue sering banget ngerasa kaya gitu.

Gue dan si temen gue ini sama. Insekuritas kita sama tentang diri kita sendiri. Takut jadi orang yang nggak guna.

Seperti pernyataan yang gue bilang di atas tadi, bahwa kita terlalu sering dianggap “nggak bisa apa-apa”. Tapi gue bersyukur, gue dan si teman gue itu nggak segampang itu pasrah sama stereotip yang diberikan. Gue selalu ngerasa bahwa gue spesial karena banyak hal. I can be a great person, gimanapun lingkungan keluarga merendahkan dan menjatuhkan dengan stereotip yang mereka punya.

Tapi tbh, gue emang ngerasa anak bungsu punya sifat naif, yang gampang dibegoin orang, dan nggak gampang ngelicikin orang, dibanding sama kakak-kakaknya yang jago kalo ngelicikin adeknya. Mungkin itu juga alasan kadang kita suka “salah ngambil keputusan”. Kita kurang lihai.

Karena ada beberapa sifat dasar (stereotip) anak bungsu yang sebenarnya ada di gue, ceroboh, impulsif, baper, keras kepala, dan gampang percaya sama orang (naif itu tadi). However, gue punya lebih banyak hal lain untuk ditawarkan. Gue bertanggung jawab, gue bisa jadi decision maker, gue ada bakat di leadership, tapi males nunjukin itu ke orang-orang rumah yang nggak ngerti dan nggak mau tau. Jadi gue sebagai orang yang selama 21 tahun hidup udah biasa banget dikata-katain kaya gitu, gue Cuma punya satu saran buat temen gue.

“Omongan orangtua lo, ambil aja yang bagus. Yang berguna buat elo nantinya. Tapi jangan kalah sama omongan negatif. Setiap kali orangtua lo ngatain lo nggak bisa apa-apa, atau apapun. Lo bilang aja dalam hati, suatu hari lo bakal buktiin lo bisa jadi hebat.”

Insekuritas ini juga jadi satu hal yang lucu, karena gue sebagai anak bungsu, yang nggak mau kalah sama stereotip ini berusaha keras untuk nggak terbuka soal masalah gue. Supaya nggak dianggap “lemah” dan “nggak mampu”. Biar nanti aja hasil yang berbicara keras. Kalo gue bisa jadi orang hebat. Action speak louder.

Fyi soal temen cowok gue tadi. Mobil dia yang mogok di daerah Jakarta Pusat itu ceritanya dia lagi otw ke kedubes Perancis, untuk les bahasa Perancis (setelah dia menyelesaikan les Jermannya beberapa minggu sebelumnya). Untuk ukuran anak seumuran gue, punya inisiatif untuk belajar banyak bahasa dan ambisius akan hal itu, sama sekali bukan “nggak bisa apa-apa.”

“You should know yourself better than other people... EVEN/ESPESCIALLY your family. Kalo lo yakin lo bisa, ngapain dengerin omongan orang yang belum tentu bisa sehebat lo nantinya.” – Pesan untuk anak-anak bungsu di luar sana.

We will become a leader.


Salam Roti!

5 komentar:

Fradita Wanda Sari mengatakan...

Keren deh temen lo niat banget untuk membangun diri dan keluar dari label yang biasa orang kasih. Mengenai sifat licik anak sulung, hmmm kayaknya aku juga gitu deh. Secara gak sadar sifat itu terasah dari kecil huhu.

Emha Firdaus mengatakan...

Haha. List yang kamu sebutin di atas juga hal yang aku alami sih sebagai "anak paling kecil".

Sebagai bungsu dari 4 bersaudara yang udah masuk dunia kerja, aku bisa bilang dari pengalaman kalau kemungkinan besar, salah satu kekhawatiran mereka sama kita adalah bahwa kita ini terlalu naif tentang bagaimana dunia ini bekerja, atau mungkin juga, terlalu sering berpijak di awang-awang.

In a perfect world, mungkin soft skills dan leadership kita akan sangat bermanfaat, tapi ini bukan perfect world dan nggak semua orang bisa sinkron dengan cara berpikir kita.

Okelah leadership kamu bagus, tapi apa kamu juga bisa bilang gitu untuk streetwise/practical/survival skill kamu? Andai orangtuamu meninggal dunia detik ini juga, apa yang akan kamu lakukan? Apakah kamu akan bertahan hidup dari warisan dan bantuan saudaramu, atau kamu emang bisa mengandalkan otakmu sendiri untuk mengatasi semuanya? Ini yang sepertinya jadi kekhawatiran orangtuaku sebelum aku bisa buktikan ke mereka kalau aku emang bisa "kerja beneran" kayak yang lain, bukan cuma "mengkhayal dan coret-coret".

Nggak yakin sih apa kamu sudah pernah berpikir kayak gini sebelumnya, but I think it helps to see things in their perspectives :)

Marisa Roti mengatakan...

Nah. Dasar!

Marisa Roti mengatakan...

Oh yes I have.

But from my perspective terlalu sering "menyepelehkan" dan "menjatuhkan" orang lain biarpun secara verbal bisa berfek buruk (mau sebaik apapun niat sebenarnya). Mungkin banyak remaja lain selain gue yang kemudian kalah sama stereotip dan tumbuh sesuai judgement keluarganya dari awal.

Untuk sekarang, gue udah mulai masuk dunia kerja "yang bukan cuma ketik2 dan coret2" (even its actually the most wonderful job ever exist) tapi gue survive dengan baik.

Yah, let's see. :')

Emha Firdaus mengatakan...

Ah! I guess you're right.

Nggak semua orang, khususnya anak bungsu, yang bisa mengenyahkan stereotip dari orang-orang berniat baik yang belum paham cara menunjukkan kekhawatirannya dengan tepat. Aku kasihan juga sih sama kedua pihak ini: orang yang tertelan sama stereotip dan orang yang berniat baik tapi nggak bisa mengutarakan niat baiknya dengan baik.

Komentar yang kutulis di atas sengaja kutujukan ke pihak pertama, karena mengubah diri sendiri jauh lebih mudah daripada mengubah orang lain. Alih-alih fokus pada kata-kata negatif yang orang-orang tujukan pada kita, akan lebih baik kita fokus pada niat baik mereka dan mulai mengembangkan diri dari situ.

Semacam bilang ke orang-orang itu, "Iya, aku tahu kok biarpun kalian ngomongnya nggak asyik banget, sebenernya kalian cuma khawatir kan sama aku?" dan dari situ bikin komitmen bahwa kita bakal jadi orang yang lebih baik lagi, di mana salah satunya adalah dengan menyiapkan skill dan mental untuk menghadapi worst case scenario semacam what do we do kalau orangtua kita wafat.

But, I get your point. The world needs more people like you who can stand up for people who can't stand up for themselves yet. And it's good to know you're building the skills to survive on this world. Good luck, Marisa! Dan good luck juga buat temenmu! Yang penting, sebagai anak bungsu, kita fokus aja untuk terus berkembang, biar kita bisa keluar dari stereotip yang dilemparin orang ke kita! :D

...

P.S. Eh, Mar, jadi inget deh obrolan kita soal labeling. Stereotip kan termasuk labeling juga. Wew :3