Minggu, 14 September 2014

I Hate People

Ada perubahan signifikan pada gue yang akhir-akhir ini baru gue sadarin. Adalah gue semakin sering ngomongin orang dari belakang, dimana itu sesuatu yang tidak pernah gue lakukan dulu. Biasanya, ketika gue gak seneng sama sesuatu, gue akan mikir, “Ah nanti deh gue ngomong aja sama orangnya.” Lalu kemudian diikuti dengan kenyataan bahwa “Nggak semua orang bisa nerima kritik,” bikin gue jadi makin mikir sebelum mau ngritik orang.


Keseganan ngritik orang itu akhirnya berubah menjadi, “Kalo dia ga mau dikritik, yaudah gue ngritik dia ke orang lain aja.” Iya, itu makna ngegosip buat gue.

Ketika kuliah, ada berbagai macam jenis orang yang gue temui. Ada cowok yang ga ada tit*tnya dan tingkahnya kayak cewek. (terbukti dari keegoisan dia mengutamakan dirinya dibanding temen cewek yang sekelompok sama dia). Duh, tuh kan gue ngomongin orang lagi. Ada yang berasa paling bener sedunia, ada yang mau menonjol dan eksis sana-sini dengan nginjek-nginjek eksistensi orang lain, ada yang lebih ngutamain dirinya sendiri, ada yang childish dan gak bisa nerima pendapat orang lain.

Oh enggak, kejelekan yang gue sebutin di atas ga berarti gue luput dari tingkah-tingkah menyebalkan itu. Bukan nggak mungkin ternyata yang gue sebutin itu adalah sifat gue sendiri.

Dulu gue nggak paham sama pernyataan, “Elo akan jadi gila kalau memusingkan dunia di sekitar lo.” Atau, “I don’t give a shit of what people say.” Karena semakin banyak orang yang gue temui di umur gue yang segini, makna “nggak ada yang sempurna” itu makin keliatan. Semua orang punya kejelekan masing-masing. Nggak jarang kejelekan itu jadi merugikan sekitarnya. Contoh aja si cowok gak berti*it tadi.

Ada dua pendekatan yang baru-baru ini gue temui:

  1. Kalau mereka adalah teman gue, maka hal yang baik dan buruk itu harus diterima satu paket. Nikmati hal baiknya, kritik dan maklumi hal buruknya.
  2. Cuekin aja ketika orang itu gak penting buat gue.


Pendekatan pertama itu akhirnya masuk ke dalam pertimbangan ketika suatu malam gue pergi bersama tiga orang teman ke kawasan gaul anak Jakarta. *iya najis banget bahasa gue. HAHAHAHA*. Waktu lagi ngobrol, tiba-tiba seorang teman nyeletuk, “Eh, kita ajak Bejo (nama samaran) pergi yuk kapan-kapan.” Bejo terkenal sebagai anak paling ga mau susah yang pernah ada. Maksud gue, Bejo nggak akan mau jalan ketika nggak pake mobil. Mobil atau nggak usah jalan sama sekali. Dan mobil di sini bukan mobil dia, tapi mobil temen-temennya.

Jadi kalo mau ngajak jalan Bejo, temennya harus punya mobil.

Teman gue yang lain menyahut (sebut aja Ningsih), “Dia nggak mau kalo ga pake mobil, loh.”

Semoga lo mengerti rincian yang gue jabarkan ya. Tapi Ningsih yang menyahut ini bisa dibilang adalah sahabatnya Bejo. Kalo gue pribadi, gue illfeel setengah mati sama tabiatnya bejo yang ga mau susah itu. Tapi nggak gitu dengan Ningsih, she’s just stating the fact bahwa Bejo Cuma mau jalan pake mobil, tanpa ekspresi jijik ataupun kesel waktu ngomong. Gue penasaran, jadi nyeletuk...

“Lo ga kesel ya ama tingkahnya yang ga mau susah itu?”

“Ya enggak lah. Ya emang dia orangnya gitu, mau gimana lagi.”

Gue diem bentar.

“Tapi kan nyebelin ya sifat gitu?”

“Selama dia asik jadi temen dan nggak ngerugiin gue yaudah. Santai aja.” Kata Ningsih dengan gayanya yang khas itu.

Itu sempet bikin gue mikir lama.

Jadi meskipun sifat jelek Bejo itu menyebalkan di mata orang-orang, Ningsih yang adalah sahabatnya seharusnya bisa menerima hal itu. Karena meskipun Bejo gak mau susah, dia anaknya asik dan nggak perhitungan sama temen.

Sekarang mengenai poin kedua ketika orang itu gak penting.

Karena serius, gue baru menyadari bahwa kesel sama orang itu buang energi dan pikiran. Gue tipikal yang dendam dan kepikiran. Nggak dendam yang ngeri-ngeri banget sih. Cuma kadang meskipun masalahnya udah kelar dan udah maaf-maafan, gue masih keingetan hal-hal buruk yang pernah kejadian. Kalo dipikirin gue bisa sebel lagi sama orangnya.

Ada momen ketika gue ngeliat orang, lalu gue sebel karena dia mengeluarkan satu tabiat yang menjijikan buat gue (caper, pengen diliat, pengen dapet kredit, dsb). Di hari berikutnya, ada orang berbeda yang melakukan hal yang sama, lantas gue jadi sebel juga sama dia. Di hari berikutnya orang lain ngeselin dan egois, lalu gue sebel juga sama dia.

Setelah gue pikir-pikir lagi, maka secara statistik gue akan membenci semua orang yang gue kenal setiap harinya, karena tbh semua orang memiliki sisi yang gue benci.

Dan kalau dipikir lebih dalam lagi, tanpa pernyataan denial “bahwa gue gak menyebalkan” adalah, gue juga menyebalkan. Berarti kalo semua orang kayak gue yang sebel sama semua orang, maka satu dunia akan sebel sama gue. (Semoga pernyataan gue bisa dicerna).

Intinya adalah, semakin banyak gue ngurusin kejelekan orang lain maka gue akan menghabiskan waktu senggang gue sibuk membenci orang-orang di dunia. Selama gue masih belum punya kemampuan untuk bikin bom nuklir dan ngebunuh semua orang yang gue sebel, lebih baik gue belajar mengabaikannya dan terfokus pada hal baik yang ada pada setiap personal.

‘Dan kalimat, “I learn something new about myself everytime i write in my blog.” Is true.


Salam Roti!

6 komentar:

TF mengatakan...

"Ada dua pendekatan yang baru-baru ini gue temui:
Kalau mereka adalah teman gue, maka hal yang baik dan buruk itu harus diterima satu paket. Nikmati hal baiknya, kritik dan maklumi hal buruknya."

Jadi maksudnya gue nggak punya sisi buruk, atau gue bukan temen lo? Haha

Marisa Roti mengatakan...

Kan pendekatannya gue ketemunya baru-baru ini, Fan sebelum ketemu ama elo. HAHAHHA
Kemarin gue ktemu sama mantan gebetan lo dan dia makin sukses sekarang..

TF mengatakan...

heheh.
mantan gebetan gue, hmm? Yang lo bilang di-line? Chat gue cuma dibaca...

emha mengatakan...

hmm. aku mau curcol nih. menurutku jumlah orang yang kita benci bakal berbanding lurus sama jumlah hal yang kita benci dari diri sendiri. makin kita lihat negatifnya orang lain, makin kita lihat negatifnya diri sendiri.

orang lain itu ibarat cermin buat kita. soalnya, yang kita lihat dari orang lain kan sebenernya kumpulan atribut2 yang pengen kita punya dan yang nggak pengen kita punya. aku sendiri sih, daripada mikirin atribut2 yang nggak pengen aku punya, mending fokus sama apa yang pengen aku punya, biar aku bisa jadi orang yang lebih oke lagi ke depannya.

dengan mindset itu, tiap kali lihat orang lain, yang aku tanyain adalah: atribut apa sih yang pengen aku copy dari orang ini? misalnya aku nggak suka sifat antisosial dia tapi kagum sama kemampuan programming dia. ya udah, aku fokus aja mengcopy kemampuan programming dia. selagi antisosialnya nggak merugikan aku secara langsung, relasi kita bakal tetep lanjut.

gitu sih, mar :D

kukukaka mengatakan...

nah loh waktu kita PDKT itu masuk k point yang mana? hihhihi

Anonim mengatakan...

Wah gue tau nih yang bagian "ada yang mau menonjol dan eksis sana-sini dengan nginjek-nginjek eksistensi orang lain" hahahahahahahahaha