Aku mengingat pohon ini. Aku mengingat bangku taman ini. Aku hanya lupa kenangan apa yang kupunya dengan dua benda ini. Aroma jeruk dan mint yang berbaur, mengingatkanku pada aroma seseorang. Ah entahlah.. aku merasa mulai gila akhir-akhir ini. bangsal putih yang serupa penjara itu rasa-rasanya telah membuatku kehilangan diriku sendiri. Aku segan berbicara dengan orang lain, seperti hal yang sangat buruk telah terjadi padaku, menimbulkan trauma dan halusinasi yang mendadak muncul. Kadang aku merasa bahagia, dan kadang aku merasa sedih. Ya, seperti orang gila. tapi aku tidak gila.
OoooooO
“Danang, gimana rencana kita? Jadi kan, kita membagi-bagikan makanan ke bangsal yang baru dibangun?”
Serius. Kadang aku sangat membenci hidupku yang bekerja di sebuah lembaga sosial, teman-temanku selalu berasa sok pahlawan dengan mengadakan kegiatan untuk menopang kelangsungan panti-panti sosial yang membosankan dan errr, agak mengerikan buatku. Hanya tuntutan moral pekerjaan yang membuatku masih bertahan bergaul dengan mereka, dan dengan terpaksa mengikuti kegiatan sosial yang mereka adakan.
“Yeah..”
“Tidak begitu menghayati pekerjaanmu, ya?”
“Andaikan aku punya pilihan, aku akan segera meninggalkan semua omong kosong ini!”
Beno nyengir mendengar pernyataanku, dari seluruh orang-orang membosankan yang terjebak di tempatku bekerja ini, buatku Beno yang terbaik. Dia asik di ajak hang out dan have fun. Beno memang penakluk wanita, dengan latar belakang keluarga konglomerat, sampai hari ini aku belum mendapat jawaban jelas. Mengapa? Mengapa pekerjaan ini?
“Ayolah kita berangkat saja. Danang, Danang. Seharusnya kau tahu mengapa papamu menahan harta warisannya sebelum kau menunjukan jam terbangmu sebagai pelayan sosial selama lima tahun ini.”
Aku menimpuk Beno dengan kotak biskuit yang ada di dekatku, ya benar. Ayahku, seperti kebanyakan pengusaha lainnya sangat nyentrik. Dia juga sangat perduli dengan kegiatan-kegiatan sosial yang kerap kali di adakan oleh rekan-rekan bisnisnya. Ah orang-orang sok pahlawan akut! Lihat saja tingkahnya, alih-alih memberikan jabatan manajer buatku, dia malah memaksaku bekerja di tempat aneh ini.
OoooooO
Bangsal putih ini terlihat begitu angker, temboknya sudah terdapat retakan di sana-sini menyerupai urat nadi yang mengalirkan darah membuat orang-orang di dalamnya tetap hidup. Orang-orang gila itu terkurung di dalam sel-sel yang telah di siapkan, takut membahayakan para pengunjung. Dengan jijik aku membagikan kotak-kotak makanan satu-persatu untuk mereka. penampilan mereka tidak begitu baik dan sopan untuk menyambut kami. Benar-benar terlihat.. uhh.. gila.
Seorang wanita dengan rambut yang acak-acakan, dan seragam yang sudah compang camping, mendobrak sel itu dan hendak menyerangku. Sialan, aku sudah bilang, orang gila ini mengerikan! Aku ngibrit setelah melemparkan kotak makanan itu ke dalam selnya,
“Brengsek! Laki-laki brengsek!”
“Dasar orang gila.”
“Dia mantan sekertaris seorang pemilik perusahaan swasta yang besar, dan diperkosa habis-habisan oleh rekan-rekan bisnisnya. Uang mereka berhasil membungkam raungan keluarganya yang histeris, dan menjebloskan gadis itu ke tempat ini.”
OoooooO
Angin fajar berhembus membuatku sedikit menggigil karena cuaca akhir-akhir ini memang sedang dingin-dinginnya. Aku suka pagi hari, aroma embun yang menguar, burung-burung yang sudah siap menjalankan aktifitas, bahkan pohon-pohon yang berderak-derak kesana kemari tertiup angin. Hatiku serasa ringan setiap kali berdiri di atas rumput yang lembut dan menikmati dalam-dalam nuansa pagi.
Aku tidak tahu mengapa melakukan ini, tapi gadis yang kukenal bernama Rani sedang duduk di atas kursi rodanya menemaniku menikmati pagi hari. Dia tidak cukup gila untuk menyerangku lagi. dia duduk tenang dan bungkam, tidak mengucap sepatah katapun.
Kupetik setangkai bunga liar berwarna ungu, yang sering tumbuh di pinggiran jalan, lalu kuberikan bunga itu untuknya. Dia menatapku dingin, lalu mengambil bunga yang kuberikan dan menaruh benda itu di pangkuannya. Hanya setengah jam yang kupunya untuk bisa menemaninya jalan pagi, itupun setelah aku memohon-mohon dengan susah payah kepada si dokter.
“Aku suka tinggal di sini.” Katanya dengan suara yang lembut. “Aku bukan orang gila.”
“Ya, aku tahu kau tidak gila.” tentu saja, kau tidak merasa gila jika tinggal bersama orang gila!
“Aku tahu gila itu apa..” lalu dia menghela nafas “…Gila itu adalah sebelum aku berada di sini.”
Kutaksir umurnya berkisar dua puluh hingga dua puluh lima tahun. Rambutnya ikal alami, dan berwarna hitam pekat. Matanya begitu jernih, dan selalu terlihat berair, mengingatkanku pada mata ibuku yang sering menangis. Hidungnya bangir, dan bibirnya tipis setiap kali mengulas senyum. Sayangnya, dia jarang tersenyum. Ehm.. padaku. Kadang kala, saat mengamatinya dengan teman-teman sebangsal, dia sering tersenyum dan tertawa terbahak-bahak.
Kuraih tangannya dan kuajak dia duduk bersamaku di bawah pohon angsana yang terlihat tua dan lebat. Rasanya begitu teduh dan menenangkan. Tangan Rani dingin dan pucat, jari-jarinya begitu kurus juga rapuh, membuatku merasa canggung saat menggenggam tangannya, takut tangan itu hancur remuk dalam genggamanku.
Intensitas pertemuanku dengan Rani semakin sering, bangsal itu sudah seperti rumah kedua bagiku. Beno bahkan sempat membuat lelucon bahwa aku berpacaran dengan gadis gila. Aku tidak mengenal Rani sebagai seorang gadis gila. Aku mengenal Rani sebagai gadis dingin yang tidak suka bicara. Dia… seperti langit malam yang pekat buatku. Langit malam yang menyembunyikan pagi dan matahari.
Hingga suatu sore, dia histeris dan meracau tak karuan. Aku hanya menangkap sebaris kalimat ini.. “Mereka akan membunuhku!! Mereka semua akan membunuhku!!” Suster-suster di dalam bangsal menjadi heboh menyiapkan suntikan bius agar Rani menjadi tenang, dan tertidur. Hingga aku meninggalkan sosok pucatnya yang terbaring kaku di atas ranjang. Kata-katanya membuat ngeri. Mereka menganggap itu hanya halusinasi orang gila semata. Tidak, aku tidak merasa begitu.
OooooO
Suatu malam kami duduk berdua di bawah pohon angsana tempat favoritku. Dokter sempat melarangku bertemu Rani dengan alasan, dia masih terlihat labil setelah insiden waktu itu. bagaimanapun, aku selalu berhasil membujuknya, kan? Rani hanya membungkam seperti biasa. Aku merasakan ketenangan yang lain malam ini. ketenangan yang tidak seperti biasanya terjadi di antara kami.
Tangannya meraih tanganku, dan hari ini dia yang menggenggam tanganku. Kucoba memeluk tubuhnya yang semakin ringkih. Harumnya seperti buah-buahan dan gula yang manis. Kadang kala, dia beraroma seperti jeruk dan mint. Dia memiliki berbagai aroma yang menyenangkan buatku.
Sudah dua bulan aku rutin menjenguknya di dalam bangsal ini, hingga rasa-rasanya aku sudah lupa dengan kehidupanku yang biasanya. Rani membuatku tergila-gila. membiusku dengan keheningan yang akhir-akhir ini menjadi nuansa kesenanganku, menyihirku dengan aroma malam yang kadang menenangkan seperti embun pagi. Aku merasa berada di dekat matahari saat kedinginan setiap bersamanya. Wajah yang pucat dan tirus kini menjadi hal pertama yang kuingat setiap pagi.
“Aku akan jadi gila jika kau benar dibunuh..” ucapku pelan, hingga hanya menyerupai bisikan.
Rani menggeleng, “Kau bukan orang gila. Kita bukan orang gila..”
“Sudah larut, pasti si kumis itu sibuk mencarimu. Ayo kembali..”
OooooO
Bangsal terlihat begitu ramai siang ini, tidak seperti biasanya. Entah bagaimana, aku mendapat firasat yang tidak enak. Kakiku berderap masuk menelusuri keramik putih yang sudah menjadi cirri khas tempat yang buatku angker ini. Suster dan Dokter berlalu lalang ke sana-kemari. Kulihat pria-pria berseragam polis berdiri sambil meminta keterangan beberapa suster. Perasaanku semakin gundah. Derap kakiku makin cepat hingga aku setengah berlari, dan aku tahu tempat apa yang kutuju.
Seorang polisI berseragam berdiri di dalam sel Rani yang kini kosong. Tidak, tidak kosong. Sel yang putih itu di nodai oleh darah yang mengering. Baunya anyir dan busuk, menyengatku hingga aku mengernyit jijik. Kenapa? apakah ada yang bunuh diri di dalam sel Rani? Apa Rani di deportasi ke bangsal lain? Iya, pasti Rani di deportasi ke bangsal lain.
Ranjang yang kutahu dipakainya tidur setiap malam kini menyerupai gumpalan kain kecoklatan yang busuk. Begitu menjijikan.
“Rani…” aku berkata lirih. Aku ingin mencari Rani ada di mana. kakiku berbalik dan hendak berlari mencarinya, sebelum seorang suster yang sudah kukenal menghentikan langkahku.
“Rani di mutilasi kemarin malam. Aku hanya melihat…”
Tubuhku mendadak dingin dan kaku. suara suster itu kini hanya berupa dengungan di telingaku, lututku lemas, dan aku terjatuh di atas lantai. Kepalaku kini berputar-putar melihat orang-orang berwajah aneh mengelilingiku dengan pandangan yang ganjil.
OoooO
Sore yang jingga, matahari hendak beristirahat dan menyempil di antara langit yang menguning. Aku terduduk di bangku taman yang rapuh termakan rayap. Hanya tersisa beberapa bongkah kayu agar menopangnya tetap berdiri. Rumput yang basah terselip di antara sandalku, jari-jariku tertusuk oleh ujung-ujungnya yang tajam.
Aku mengingat pohon ini. Aku mengingat bangku taman ini. Aku hanya lupa kenangan apa yang kupunya dengan dua benda ini. Aroma jeruk dan mint yang berbaur, mengingatkanku pada aroma seseorang. Ah entahlah.. aku merasa mulai gila akhir-akhir ini. bangsal putih yang serupa penjara itu rasa-rasanya telah membuatku kehilangan diriku sendiri. Aku segan berbicara dengan orang lain, seperti hal yang sangat buruk telah terjadi padaku, menimbulkan trauma dan halusinasi yang mendadak muncul. Kadang aku merasa bahagia, dan kadang aku merasa sedih. Ya, seperti orang gila. tapi aku tidak gila.
“Danang, sudah cukup waktu jalan-jalanmu, ayo kita kembali.”
Suster cantik ini bernama Mischa, dia selalu hadir dengan seragam yang sama setiap harinya, pakaian kebangsaan para suster yang berwarna putih, dengan suntik bius yang kutahu di sembunyikan di balik kantungnya. Dia selalu perhatian padaku, dia yang selalu mendengarkan ceritaku. Aku tidak segan berbicara dengannya, rasanya setiap bersama dia nyaman seperti bergelung di dalam pelukan Ibuku. Wanita yang baik.
“Sus, kenapa aku harus selalu kembali ke kamar itu?”
Mischa terdiam.
“Aku tidak gila kan? Aku tidak gila.”
“Kau tahu gila itu apa? Orang-orang di bangsal inilah orang-orang terwaras. Kau pasti bisa mengingat betapa gilanya orang di luaran sana. Membunuh, mencaci, menusuk, menginjak kepala satu sama lainnya.”
“Tapi mereka tidak harus merasakan sakitnya suntikan Si Kumis itu setiap hari.” Kataku, tidak mencoba menyebutkan nama Dokter Rangga yang berkumis tebal. Aku lebih suka memanggilnya si kumis.
“Ya, mereka merasakannya. Bagi kita di sini, itu vitamin. Agar kalian tetap waras…” aku menoleh kebelakang menatap wajah Mischa yang tersenyum, sembari mendorong kursi rodaku. Kami semakin mendekati bangunan itu, bangunan putih yang kupikir di bangun dengan konsep klasik. Atau bangunan ini memang peninggalan Belanda beratus-ratus tahun yang lalu? Tak mengherankan atapnya bocor setiap kali hujan, dan kadang kala keran airnya tidak berfungsi.
Kehangatan teman-teman dari dalam bangsal inilah yang membuatku selalu merasa nyaman. Tawa mereka yang tak beraturan, kediaman yang suka terjadi tiba-tiba, Roni yang sering berkelahi dengan Bejo. Ah mereka seperti anak kecil! Selalu memperebutkan barang apapun yang ada disini. Sambutan tawa mereka yang membahana memenuhi bangsal mengerikan ini yang membuatku merasa di rumah. Ya, aku tidak gila. Aku berada di rumah.
END
aih, ternyata membuat cerpen dibatasi dengan hanya 1500 kata lebih susah daripada gue kudu bikin 6000 kata. betewe, sebetulnya ini hasil kolaborasi gue yang SEHARUSNYA gue publish di kompasiana, dengan Citra Rizcha Maya *serius, lo harus membaca karya diaaa!! klik aja di situ* karena gue ketiduran sampe pagi. DAN kompasiana itu lemod banget waktu gue pengen publish jem 8 malem, jadinya ketelatan gara-gara gue ketiduran nunggu loading. aihssss... gapapa, karena karya ini lumayan aja buat gue, toh masih bisa gue publish di sini..