Fengshui dan Arsitektur

Ini judul blog gue udah kayak mau nulis artikel majalah desain interior ya?

Nggak sih. Anda salah.

Kalo lagi nyari tips desain rumah dengan asas fengshui, close aja buruan. Gue mau bahas yang nggak penting.


Anyway. Karena sekarang gue sekosan sama Medi, lulusan arsitek yang bilangnya benci sama dunia arsitek, meskipun tiap dia ngomong gitu gue selalu senyum, akhir-akhir ini dia mulai balik ke kodratnya sebagai arsitek.

Gue pusing... hasrat desainnya yang ga terpenuhi karena kerja sebagai GA salah satu perusahaan swasta, bikin dia kemudian menyalurkan hasrat desainnya ke CV. CV udah dibikin ribuan kali, dibongkar lagi dibikin ulang segala nunjukkin carreer path aja pake gambar naga. Gue pusing... (lalu dia bikinin CV gue bagus juga sih. Ada peta indonesia segala sama titik2 projek gue. SECARA KERJAAN GUE KELILING ENDONESAH! #riya)

Oh btw. Dari yang gue liat, si Medi ini ngotot banget bilang benci dunia arsitektur sebetulnya karena beberapa hal:
1. Ada momen dia nggak pede sama desainnya
2. Dia trauma sama arsitek senior (bekas bos psikopatnya dia) yang jahatnya udah kayak dajjal kalo ngomentarin desain bawahannya.
3. Dia idealis. Bahwasannya arsitek junior yang kerja di konsultan arsitek itu mau nggak mau awal2 jadi drafter, cuma manggut2 ngikutin perintah desain upline-nya. Dia ngotot bilang, "ARSITEK ITU NGEDESAIN BUKAN NGEDRAFTING! Kalo kerjaan gue drafting doank ngapain gue jadi arsitek!" (Gue selalu usap dada di depan dia dan bilang dalam hati... "DASAR MANUSIA PONGAH!")

Lalu di satu titik, pas lagi hectic kerjaan kantor dia mengucapkan sesuatu yang menggelitik lemak2 di perut gue... "Gue kangen ngedesain..."

"Iya gue juga kangen nemenin lo ngedesain..."

Naaah. Pucuk di cinta nasi padang pun tiba. Managernya mau renovasi rumah dan butuh jasa dia untuk ngedesain. Tantangannya : budgetnya pas(pasan). Fee yang di offer kecil, but I think to myself. Nothing to lose sih. Bisa buat portofolio, nambah duit jajan di luar gaji, apalagi pasti beneran kebangun, kan bakal memenuhi checklist projek real dia untuk sertifikasi.

Di sini juga dia belajar menghadapi klien yang nggak ngerti apa-apa soal arsitektur, dan istri si klien yang, "Pokoknya ada tempat jemuran yah... sama dapurnya nggak mau gabung sama emak tiri aku yha. Bikin dapur dua!".

Hehehehe... (ketawa iblis). Lalu si Medi dengan pemikiran idealis baru lulus yang "Ruangan yang ga kena cahaya matahari itu nggak ada bedanya sama gudang!" Atau... "Gimana lo mau tinggal layak kalo space lo dibikin sesak gini? Gimana sih. Ga ngerti gue nih orang ga ada sense of space banget."

Padahal you tau kan... dalam kehidupan fana ini, kadang kita mesti ngikut maunya yang punya duit. Duit duit duit.

Dikasih desain dapur artistik, eh tau2 di whatsapp... "dapurnya bisa dibikin gini aja nggak?" Dikirim lah foto dapur eksisting yang udah kayak tempat kejadian perkara. Penuh insiden baku hantam minyak goreng, panci, sama kukusan. Lagian... MEDI KAN ARSITEKNYA BUKAN DESAINER INTERIOR. APA PEDULI HAYATI SAMA MODEL DAPURNYA!! HAHAHAHAHAHA.

Ini. Si Medi lagi jambak rambut sepertinya menyesali kembalinya dia pada kodrat. Mungkin dalam hati, "Tau gini gue masuk akuntansi aja, deh!"

Ga lama setelah dapet projek dari managernya... Datanglah cece gue yang beli apartemen udah lama dan belum ditinggalin sampai sekarang. Tiba-tiba mau dia tinggalin, dan mau di desain sekalian di kerjain semua furniturnya. Ini ranah di luar spesialisasi si Medi karena lebih ke desain interior (dan seinget gue dia bilang dulu benci mata kuliah interior). TAPI NAMANYA DUIT DUIT DUIT, YA... masa ditolak. Diambil, deh. Lumayan buat liburan ke Cirebon bareng gue. Ya gak ya gaaakkk! Ya gak Medehhh!

Meskipun ini cece gue... I have to talk bad stuff about her unwillingly. Karena... dia termasuk klien nyentrik yang permintaannya aneh (di mata Medi).

Masuklah kita pada topik yang akhirnya mulai nyambung sama judul...

Fengshui.

Keluarga gue itu... fanatik banget soal fengshui. Beli rumah itu, ngadep ke arah yang harus cocok sama unsur diri kita. Misal lo shio apa. Berarti harus cari rumah ngadap Timur. Sebagus Apapun lokasi rumah, semurah dan sebagus apapun harga, kalo nggak ngadep Timur. Nggak mau beli!

Nah... ada special case di apartemen cece gue yang sudah di beli ini. Pintu masuk itu berada dalam satu garis lurus dengan pintu balkon. Dalam ilmu fengshui, ini salah banget! Ga boleh banget! Ga bagus buat rejeki, buat energi baik dalam rumah. Nggak bagus! (Harus pake tanda seru ngetiknya, karena gue lagi ngebayangin emak gue yang ngomong soal ini).

Padahal menurut arsitektur, dua pintu berada dalam satu garis lurus, itu bagus buat perputaran udara. Namanya crossing circulation. Udara bisa muter. Gue setuju nih konsepnya. Karena gue pernah main ke rumah temen kantor gue yang arsitek dan ngedesain rumah sendiri. Rumahnya kecil, tp sumpah deh asik dan adem banget. Artistik meskipun nggak pake keramik. Tipikal rumah arsitek deh.

Jadi dengan space apartemen yang kecil itu, si klien (merujuk pada cece gue) minta dibikin partisi. Masif. Medi udah memohon dinego supaya partisinya jangan masif. Karena berat dan bikin sempit.

"Nggak bisa. Ga boleh ada celah di antara dua pintu itu."

Lalu ternyata... si klien udah punya kasur dan dipan. Double bed. Segede gaban. Terus kulkas dua pintu, mesin cuci, lalu... masih butuh meja makan, lemari, mungkin seisi toko furnitur mau dimasukin semua.

Tantangan : memaksimalkan space kecil, mengikuti aturan fengshui, dan memaksimalkan budget yang udah dipasang. Karena selain desain, si Medi bertanggung jawab sama pemasangan dan biaya furnitur.

Hahahahaha... (ketawa iluminati).

Gue jadi ga tega ini ngasih si Medi ke enci gue. Hmn. Buat belajar aja.

Si Medi di desain awal naruh dipan di deket pintu, karena gue udah hapal banget sama konsep "bagus nggak bagus" untuk tempat kasur, gue bilang, "Eh, itu ranjang di deket pintu sih ga bagus, luh."

"Yaah gimana lagi, Mar. Ini udah tata letak yang paling layak. Biar nggak deket kamar mandi."

Ternyata enci gue beneran ngomen soal hal itu. Jadi rombak. Dan deket kamar mandi, yang lagi-lagi, menurut Medi sebenernya tempat tidur itu nggak boleh sampai deket banget kamar mandi. Karena lembab. Its not good even for your own health and comfort. Terus gue bilang, "Udah lah. Gapapa, ideal orang lain ga setinggi ideal lo."

Sebenernya menarik sih masalah ideal-idealan ini. Karena sudut pandang klien dan arsitek itu bisa beda 180 derajat. Sebagai contoh. Medi itu mendewakan banget efisiensi ruang. Ada klien yang pokoknya rejeki bagus, sempit gapapa. Padahal menurut Medi, itu space nggak layak banget buat manusia tinggal dan bergerak karena harus ini dan itu. Sementara klien lebih nyaman kayak gitu.

Mungkin ini yang orang-orang bilang, mau jadi arsitek yang idealis atau ngikutin pasar.

Gue bahkan baru paham standar tempat tinggal yang layak sejak nyari kosan bareng sama dia. Sebelumnya dikasih kandang cicak asal ada AC sama kasur bisa gue tidur nyenyak. Jadi proses nyari kosan sama si Medi itu... memakan waktu berbulan-bulan karena selain nyari layak, kita nyari MURAH! Dimana lagi di kota Jakarta kita tercinta ini bisa dapet kosan layak dan murah.

Eh akhirnya dapet sih. Mayan. Niat tidak membohongi hasil.

Preferensi kita dalam menentukan layak nggak layak itu kadang tergantung sama apa yang kita dapet dan alamin selama ini. Kalo dari kecil selalu tinggal di rumah yang kotor dan sempit, rumah bersih dan besar itu mungkin bukan kriteria ideal. Nggak semua orang butuh. Karena sudah terbiasa dengan apa yang mereka dapet. Kadang nyaman berangkat dari rasa familier. And it is very personal, vary for every individual.

Personally, gue seneng orang yang passionate sama apa yang mereka kerjakan. Sengedumel apapun elo, segimana bilang bencinya elo, when you are passionate about it, you always try to do your best and it shows in your work and your effort. Jadi tiap si medi bilang, "Gue nggak mau jadi arsitek, Mar..."

Gue tetep senyum aja.

Gimana caranya dia bilang nggak bakat, kalo dosen-dosen di kampusnya selalu suka sama hasil desainnya dia. Gue tau, nilai itu nggak menentukan bakat, tapi... SERIUS LO 4 TAHUN KULIAH C NYA CUMA SATU, TRUS SISANYA A OR B+????

GUE BENCI BANGET LIAT TRANSKRIP NILAI SI MEDI.

Hmn... *tarik napas* *tarik kancut*

Ya. Itu maksud gue. Dosen-dosennya pun somehow admit hasil kerjanya bagus. Nilai memang ga menentukan... di jurusan lain, dimana lo ujian bisa nyontek temen sebelah atau nyontek buku.

But this is architecture, man, setiap hasil tugas itu ada perjuangan dan usahanya. Ada pemikiran yang rumit, detil, logis, sekaligus harus "nyeni" di baliknya, dan lo bisa mengimpresi dosen lo setiap kali lo desain. It means something. Kecuali lo pake joki. Dosen tau lah mahasiswa yang pake joki.

That's why tiap si Medi bilang benci arsitektur gue senyum aja. Mungkin dia sempet ikutan tren dan hype anak2 kampus yang ngerasa "salah masuk jurusan".

Kesimpulannya, I support her fully! Karena tiap Medi dapet projek dia mau traktir gue all you can eat. HAHAHAHAHA. KAPAN LAGI MAKAN ALL YOU CAN EAT DIBAYARIN TERUS????

Btw, sedikit pemikiran dari gue yang nggak ngerti apa-apa soal dunia arsitektur ini.
Menurut gue, architect is an artist. A repressive one. Yang terkekang oleh hierarki perusahaan dan terbatas kebebasan berpikirnya karena berbagai faktor. They are an artist that have so many boundaries and require intense logical thinking. They need to be rational and imaginative, considerate and defensive. Mereka mengimajinasikan sesuatu yang akan jadi nyata. Menciptakan ruang untuk orang hidup dan beraktivitas.

How important their field is.

Meskipun menurutku dokter tetap lebih mulia karena kuliahnya lebih mahal.

Intinya satu ya gaes...

DUIT DUIT DUIT!!!

Salam Roti!