The Best Choice (or The Best Way?)

Salah seorang temen gue pernah berucap seperti ini, “Gua kadang ga tau. Kapan saatnya gua menemukan seorang soulmate gue, lu tau ga sih. mungkin saat pertama kali gua ngeliat dia, jantung gua bisa berdegup kencang, makan pun sulit. Tapi tunggu beberapa hari, semua efek itu akan hilang, dan ternyata itu bukan jatuh cinta.”

Dan gua pun berpikir sejenak. Adalah sebuah kemunafikan kalo gua sok-sok nasehatin dia bla bla bla, dan berasa ngerti betul masalah tersebut. karena permasalahannya adalah, gua sendiri juga sedang mengalami pergumulan yang sama. Gua ga ngerti sama otak gua.

Gua pernah berperang, mempertaruhkan harga diri, perasaan, serta pertemanan. Seperti prajurit nekat yang maju ke medan perang tanpa tameng ataupun tonggah. Tanpa rasa gentar ataupun takut, gua segera memulai peperangan dan hanya dalam waktu sekejap gua mengakhirnya. Ya, gua kalah. Lalu kenapa? gua berpikir saat itu, yang sudah tergores dalam-dalam adalah perasaan gua. gua ga kehilangan harga diri hanya karena kalah, apalagi hubungan pertemanan tesebut. Tapi perasaan gua tergores.

Gua tersenyum. Ya, gua senyum. Gua belaga seolah ga ada apa-apa, dan dalam sekejap juga gua mengambil kesimpulan berikutnya, bahwa itu bukanlah satu-satunya lawan berperang gua. masih banyak di luar sana. Pernah ga sih di gores sama silet? Dalam waktu yang cepat loh. Sreeett. Apa sih yang kita rasain pertama kali? Ga ada apa-apa tuh. Hingga darahnya mengalir deras dan tau-tau kulit kita udah robek. Beserta rasa sakit mendadak yang mendera tiada henti.

Seperti itulah rasanya. Kenapa sih gua jadi mellow begini? Enakan juga makan marshmellow. Ga tau, gua jadi berpikir lagi berulang-ulang. Apa sih sebenernya gua? apa sih yang ada di otak gua? dan yang paling penting, apa yang ada di dalam hati gua? Aneh. gua mengharapkan sesuatu yang jelas-jelas ga ada, ga bisa, dan ga akan pernah ada ataupun bisa.

Jadi menjawab pertanyaan temen gua itu gua akan bilang.. “sama gua juga bingung. Nah lu tau ga silh, saat gua berpikir gua jatuh cinta, hingga akhirnya gua mengambil kesimpulan, bahwa gua udah ga perduli dengan perasaan tersebut.dan ternyata itupun juga salah karena pada kenyataannya rasa itu ga ilang-ilang, Cuma gua aja yang baru menyadari.” Nah, malah balik curhat kan gue?

Teman gua pernah juga ngomong begini “Lu tau ga sih, penyesalan itu selalu datangnya terlambat. Semua ini salah gue, saat ada orang itu di samping gue, yang terus ngasih gua kekuatan. Membuat gua merasa ada serta hidup, gua malah mencari-cari sesuatu yang ga ada. Sesuatu yang membuat gua jadi ga nyata. Dan sekarang dia yang membuat gua hidup hilang juga. Jadi apa yang gua dapet?”

Gua juga jadi berpikir sejenak. Gua ga bisa sok-sokan dewasa apalagi nasehatin dia. Karena gua sendiripun (meski tidak mengalami pergumulan yang sama) memiliki pertanyaan yang sama, meskipun dengan versi yang sedikit beda.

Gimana kita bisa tau kalau orang yang ada di depan kita itu adalah seseorang yang kita butuhkan? Kalau orang itu rasanya ga nyata dan dijamin ga teraih punya? Bukankah semua manusia berhak untuk mengejar apa yang dia mau? Tentunya kita ga akan pernah tau hingga kita berhasil menggenggamnya dan menyadari, ini bukan milik kita. Lalu kita menoleh, dan orang yang membantu kita untuk melewati hari hilang. Seperti angin. Pada akhirnya kita ga mendapat apa-apa. Ini kasus dia bukan?

Tapi gimana, gimana kalau kita sedang menyia-nyiakan sesuatu itu. dan kita terlalu terbuai dengan apa yang ada di samping kita sekarang, padahal kita bisa mengejar dan mendapatkan apa yang ada di depan itu. kita bisa menggenggamnya. Dan itu memang milik kita. Sungguh berkebalikan dari pernyataan di atas bukan?

Teman gua pernah berkata begini “Satu langkah kecil yang kita ambil, kecil saja, itu akan mengubah kehidupan kita secara total.” Satu langkah kecil. Pilihan. Semua manusia punya pilihan, tinggal kita sebagai makhluk yang menjalaninya harus bisa mengambil pilihan yang terbaik. Oke, gua muak dengan kata “pilihan terbaik”.

Seperti membandingkan IPA dan IPS. Siapa yang terbaik? IPA kan? Semua orang menjawab IPA kan? Apakah itu menjamin? Enggak. Katanya kita harus bisa mempertimbangkan hal baik dan buruk yang kita ambil dari masing-masing pilihan.

Begini loh, kalau menurut gue, seperti apapun pilihan yang kita ambil, pasti sama. Akan membawa kita ke suatu tempat dimana kita akan bertumbuh.
Sama. Sekarang permasalahannya adalah kita, pilihan bukan hanya sekedar tentang “memilih yang terbaik” tapi juga, bagaimana kita menjalani pilihan-pilihan yang kita ambil. Saat kita bisa menjalani pilihan tersebut dengan langkah-langkah terbaik, maka sejelek apapun pilihan itu akan menjadi pilihan yang terbaik.

Gua punya satu moto begini. “Jangan melihat apa yang ada di belakang. Lihat apa yang bisa kita lakukan untuk di depannya.” Jadi itu sih sebetulnya Cuma cara gua mengexcuse kesalahan gue. Jadi waktu gua berbuat salah, dan semua orang berniat banget buat nelen gua bulat-bulat gua akan ngomong. “Oke begini. Gua udah terlanjur melakukan ini. yang sekarang perlu dipikirin adalah cara kita menyelesaikan sesuatu yang terlanjur terjadi bukannya mikirin gimana cara goreng gua sampe mateng.”

Pilihan yang pada akhirnya membawa kita menuju “tidak mendapat apa-apa” pun bisa menjadi pilihan yang terbaik kok. Hidup itu panjang, ga Cuma stuck di 23. Tapi masih ada kelanjutan kisahnya. Kita ga akan pernah tau, apa yang akan terjadi setelah mengambil pilihan ini. yang harus kita lakui adalah, jalanin. Gua bilang jalanin itu bukan maksudnya “jalanin aja” alias ngikutin air yang mengalir. Jalanin di sini adalah.. jalanin dengan SEBAIK-BAIKNYA. Dengan seluruh kemampuan yang bisa lu kerahkan untuk membuat ujung di sana menjadi sesuatu yang baik.

Intinya, ga perlu pusing untuk memilih. Seperti apapun pilihan itu bisa menjadi sesuatu yang baik. Tapi jadi pusinglah untuk memikirkan bagaimana cara menjalankan pilihan tersebut sehingga menjadi sebuah pilihan yang baik.

Jadi sekarang kalau gua ditanya IPA atau IPS. Gua akan tersenyum . “Semua pilihan sama baiknya. Tapi, untuk masa kali ini, gua memilih IPS.”