11 tahun gua mengenyam pendidikan formal, 11 tahun gua menghabiskan 12 bulan dalam setahun, 5 hari dalam seminggu, dan 9 jam dalam sehari di sekolah, meraba-raba tujuan pendidikan dan ilmu pengetahuan yang gua dapat dari sini. Dan sekarang, setelah gua mengerti apa tujuan hidup dan makna kehidupan gua, gua baru tau.
Tentu, blog gua ini akan seperti iklan-iklan yang di pasang di Koran, “Tuntutlah ilmu setinggi langit” karena tema yang gua angkat tidak akan lari dari topik serta judul yang itu lagi itu lagi. jangan bosen mendengar kalimat itu, karena gua menyadari bahwa kini gua baru mengerti makna sesungguhnya dari kalimat tersebut.
Kalau sekolah, itulah yang kita sebut sebagai tempat mengenyam pendidikan, tentu gua setuju. Karena memang benar. Bukan Cuma sekedar ketemu temen, belajar, menjilat guru, dan menggelapkan uang kelas. Karena di sekolah kita belajar banyak hal, salah satunya tentu aja ilmu pengetahuan.
Ilmu pengetahuan, bukan sekedar tentang matematika, ekonomi, fisika, biologi, ataupun akuntansi. Karena di sekolah, adalah cikal-bakal orang-orang yang akan menjadi berarti di kehidupan selanjutnya. Karena di sekolah, ada semacam sistem alamiah antar sesama manusia berpendidikan yang dikungkung oleh disiplinitas serta aturan yang berarti Menciptakan suasana dan zona tersendiri bagi murid-muridnya.
Satu sistem yang gua salah mengerti selama ini adalah, ilmu sama dengan nilai. Bersekolah artinya menuntut ilmu yang artinya menuntut nilai. Karena kalau bisa menuntut nilai maka kita akan berhasil dan sukses di masa depan. Karena kita menuntut nilai, maka kita akan takut sama nilai. Menurut gua itu suatu aksi reaksi. Saat gua menuntut, maka gua menjadi takut.
Dan keyakinan gua kini telah menyalahkan sistem seperti itu. karena saat sekolah gua takut pada nilai, maka saat bermasyarakat nanti gua akan takut dengan hal-hal ajaib lainnya. Seperti uang. Sekolah takut nilai, udah lulus takut uang. Orang takut uang, kapan kayanya? Orang menuntut nilai, serta-merta akan takut kehilangan nilai dan menghalalkan segala cara agar nilainya tetap bertahan di kepalan tangan, orang yang menuntut uang, maka akan memfokuskan seluruh perhatian dia untuk uang dan kekayaan, juga akan takut kehilangan uang. Jangan heran, kalau udah menuntut uang jadi menghalalkan segala cara agar mendapat uang. Mengingatkan gua pada pejabat-pejabat yang sering berorasi di tivi, ngomongin masalah rakyat ujung-ujungnya tidur atau lempar-lemparan bangku.
Karena mendapat nilai adalah hal yang sungguh mudah bagi gua. GA PERCAYA? MUDAH. Tapi apalah artinya kalo hanya 1 % ilmu yang masuk dari yang seharusnya lu dapat? Mengherankan, teman-teman sekelas gua yang termasuk dalam kategori “pintar” status anak IPA, jenius, mahir dalam fisika dll. Tapi takut debat sama guru. Karena takut nilainya di potong, karena takut mencari masalah. Meskipun, apa yang dia hendak pertahankan itu memang patut di pertahankan. Mengherankan. Pintar, tapi ga cerdas kalo kata Pak Gatot mah.
Di sekolah yang seharusnya menuntut ilmu, tapi mengandalkan cara-cara licik untuk menang. Menjilat guru, caper ke guru. Oh please? Memang siapa itu guru? Guru itu bagi gua adalah rekan. Rekan kerja sama dalam kegiatan belajar mengajar, di mana kita harus menghormati dia karena memang sudah sepantasnya. Karena dia adalah guru. Maka gua menghormati guru sepantasnya guru itu harus di hormati. Dan guru memang berjasa, dia adalah penyalur ilmu!
Karena dengan cara- menjilat dan mencari muka, akan dengan segera mencetak pejabat-pejabat dengan versi dan tampilan baru, tapi mental ga jauh berbeda. Lalu kapan generasi penerus bangsa yang bisa memajukan? Tentunya gua ga bisa berkomentar masalah ini, kalo ga mau di anggep sok tau dsb dsb.
Tapi menurut pengamatan yang gua lakukan, TERNYATA! Bukan kita murid yang menyebabkan hal seperti ini terjadi, tapi karena memang sistem pendidikan di Indonesia yang memaksakan murid untuk menjadi takut ini itu. takut nilai, takut guru, dan takut sebagainya. Bagi gue, menyalahkan sistem seperti ini memang termasuk penyimpangan. Kalau gua berani melawan guru matematika gua dianggap salah, maka silahkan kalian tetap dengan persepsi kalian. Bagi gua itu bukan sebuah kesalahan. Bagi gua itu sebuah tindakan yang patut gua lakukan, karena sebagai murid gua punya pandangan dan argumentasi buat mengkritik guru tersebut.
Suatu hari, gua matematika gua bertanya ke seluruh kelas “Siapa yang ga bisa ngerjain soal nomor sekian?” gua bisa. Bolehkah gua ulang pertanyaannya? Siapa yang GA bisa? Soal yang rumit itu memang rumit, tapi kalau kita tau celahnya kita bisa ngerjain. Gua liat temen-temen pintar gua yang juara, wow aneh. kok mereka angkat tangan? Sedangkan marisa si sedang ini bisa ngerjain. Beberapa faktor yang memungkinkan teman-teman gua mengangkat tangan adalah.
Satu, setengah kelas memang males mikir buat ngerjain soal rumit yang mudah ini. dua, minoritas yang pintar itu ga mau di anggap sok pinter hanya karena mereka udah bisa. Tiga, mereka yang bisa, takut kalo ga angkat tangan akan di tantang oleh sang guru.
Bukankah adalah sebuah keanehan, guru itu menjadi marah hanya karena gua bisa ngerjain? Dan gua dipanggil ke depan kelas, dia berusaha mempermalukan gua dengan nyuruh gua ngerjain soal itu di depan. Ternyata jawaban gua benar. Lalu kembali dia yang malu, kalau di kamus guru ga boleh ada kata kalah dia ngeles “Marisa, kamu pintar. Tapi saya ga suka kalau ada murid yang sombong.”
Nah, gua pikir itu udah bisa jadi satu contoh, betapa sistem guru-guru di Indonesia tepatnya pendidikan di Indonesia yang keliru menurut gua. murid tidak di tuntut untuk menuntut. Seharusnya murid di ajak untuk menuntut ILMU bukan nilai.
Kesimpulannya, tahun ini. gua ga akan ngejar ranking. Untuk apa gua ngejar ranking kalau untuk itu gua harus ngejar nilai yang berarti gua menuntut nilai. Lantas apa bedanya gua dengan pejabat-pejabat di Indonesia yang males berpikir dan mengejar kekayaan masing-masing dengan menguras hak-hak yang seharusnya bukan milik mereka? tuntutlah ILMU setinggi langit.
Kalau kita udah mendapat ilmu, nanti juga nilai yang ngejar. Kenapa harus pusing. Raihlah ilmu, otomatis jadi pintar. Pintar bukan sembarang pintar, tapi pintar juga cerdas. Kan lucu “Pintar-pintar kok ga cerdas??”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar